Dari Moral dan Etika Menuju Teologi Ekonomi Islam

“Dari Moral dan Etika Menuju Teologi Ekonomi Islam”

Oleh: Sucipto
Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia telah di mulai di tahun 1992 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, dengan berdirinya bank muamalat, maka bank-bank yang tidak menerapkan sistem bagi hasil dalam transaksinya mulai beralih membentuk bank yang berbasis syariah ini, fhenomena ini mulai tanpak diakhir dan awal tahun 2000-an.
Tanggapan positifpun datang silih berganti hingga BI sebagai lembaga regulasi perbankan nasional yang pada awalnya “wait and see“ mulai serius dengan membentuk biro syariah di bank Indonesia.
Dalam praktek sehari-hari secara formal memakai pakaian yang islami dan ini wajar sebagi service bagi pelanggan namun sisi yang lain soal etika dan moral dalam ekonomi apakah juga sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Hal ini penting sebab Islam tidak hanya mementingkan lahiriyah tetapi harus juga sejalan dengan bathiniah, sebab hal ini menyangkut soal keadilan dan ihsan dalam perilaku ekonomi kita.
Soal moral dan etika awal kita berpijak dalam mengembangkan ekonomi Islam baik di dunia perbankan ataupun dalam aktivitas ekonomi sehari-hari, karena kita saat ini sedang berada pada zaman industrialisasi yang pondasinya adalah kemajuan ekonomi, mungkin tanpa pertimbangan (menyangkut) moral dan etika apalagi agama, sebab semenjak keynes mengembangkan teori of interest maka dunia telah mengalami kegagalan ekonomi.
Lalu bagaimana dengan ekonomi Islam? sangat penting untuk menguji alternatif Islam dalam sistem perekonomian saat ini, dengan kreatifitas untuk menginterpretasikan doktrin dan prinsip tertentu yang ditentukan oleh Islam yang berkenaan dengan masalah sosial ekonomi, jika Islam dapat menyelesaikan problem ekonomi yang telah terwarisi selama ribuan generasi akan dapat memecahkan berbagai kesulitan ekonomi dalam zaman industri itu. Satu kata kunci di sini adalah Al-Quran, sumber dari prinsip Islam yang mengajarkan kita dengan memberi petunjuk yang luas mengenai aspek spritual dan aspek sosial. Dan juga memberikan suatu konsep tentang masyarakat di mana konsep masyarakat tersebut diilhami dari prinsip dasar Islam: dengan merestrukturisasi dan reformulasi konsep, jika perlu, yang tentu secara sah diterima oleh ahli ilmu agama di sepanjang zaman.
Moral dan etika ekonomi Islam dalam Al-Qur’an terbentuk dalam dua hubungan yaitu kontektual dan transendental. Dimana Islam secara kontektual di dalam Al-Qur’an menekankan pada perdagangan (tijarah) yang baik, jujur, dan syahid kepada Allah. Dengan mengecam praktek yang tidak jujur dan tidak adil dalam usaha untuk mendapat kekayaan.
Kejujuran dalam melakukan transaksi ekonomi dan mengutuk ekploitasi atas tenaga dan skill manusia. Karena itu Al Qur’an memberi kita konsep masyarakat bebas dari ekploitasi, ekploitasi adalah bagian dari kezhaliman dan bertentangan dengan keadilan, dimana dalam ekploitasi terdapat ketidakadilan.
Sedangkan Aspek Islam yang transendental concern terhadap prinsip–prinsip ekonomi. Baik transaksi perdagangan ataupun produksi harus bebas dari ekploitasi, karena konsep al-'adl dan al-ihsan (kebajikan dan keadilan) telah ditegaskan di dalam Al-Qur’an katakan: “Allah menyuruh kamu untuk berbuat keadilan dan kebajikan”. Konsep ini akan mengantarkan kita dalam meminimalisir ketegangan sosial antara kaya dan miskin, karena apabila keadilan dan ihsan tidak ditegakkan akan terjadi social-chaos.
Konsep ‘adl dan ihsan tidak bisa terjadi bila kekayaan masih terkonsentrasi pada minoritas masyarakat. Sebab dengan terkonsentrasinya kekayaan itu pada kalangan minoritas akan membuat orang lain semakin terjerat oleh hutang dan defisit keuangannya berlanjut. Bahkan secara ekonomis kesenjangan kekayaan antara orang yang surplus of goods and money akan mengekploitasi dan menzalimi masyarakat yang mengalami defisit sedangkan masyarakat yang defisit cenderung konsumtif dan tidak produktif, sebab faktor-faktor produksi dikuasai oleh segelintir masyarakat.
Masyarakat yang minoritas itu akan menahan asset kekayaaan jangan sampai terjadi kerugian dan akan hanya menginvestasikan kekayaannya pada suatu daerah yang akan meminimalisir tingkat cost yang harus dibayar misalnya apakah upah buruh di Indonesia misalnya lebih murah bila dibandingkan dengan negara lain, apakah buruh tidak akan melakukan mogok bila terjadi pemanjangan jam kerja yang berkonsekuensi pada penaikan upah seharusnya, namun upah minimim buruh tidak di naikkan. Yang berkaitan dengan stabilitas investasi si pemilik modal, sehingga penambahan keuntungan dari modal produksi suatu barang yang diproduksi akan menghasilkan keuntungan yang signifikan. Modal akan diinvest bila keuntungan akan dapat diukur secara fix, sehingga wajar al-Qur’an benar-benar mengecam terhadap praktek konsentrasi kekayaan dan menganjurkan untuk tegaknya keadilan dan kebaikan dalam level sosial ekonomi suatu masyarakat hal ini juga ditegaskan oleh Allah dalam surah Al-Hasyr ayat 7.
Dalam sisi lain biaya kompensasi terabaikan sebab tidak kuatnya ikatan hukum pengelolaan dan sumber daya alam yang berbasis pada ekonomi rakyat, sehingga dampak sosiologis-ekonomis sangat terasa pada masyarakat sekitar daerah ekploitasi.
Banyak ayat Al-Qur'an yang menyiratkan, yang harus dapat dipahami secara kontekstual karena Nabi SAW, menurut Asghar Ali telah mampu mengadakan revolusi kebudayaan, struktur masyarakat dan politik pada masa itu. Sehinggga yang patut dikaji adalah kemiskinan umat Islam bukanlah disebabkan karena peluang kerja yang minim, tidak mempunyai sumber daya atau memang kemiskinan kultural. Tapi lebih disebabkan tidak seimbangnya kehidupan social-ekonomi dan tidak berlakunya pendistribusian kekayaan secara Adil.
Sejak awal perjuangan Nabi telah menggerakkan proses perubahan yang mendalam dalam kehidupan social ekonomi pada masa awal Islam, yang berakibat pada tumbangnya kelompok vested interest yang ada di Mekah, secara serius beliau sangat prihatin terhadap nasib kaum tertindas di Mekkah, sampai-sampai keprihatinannya itu diabadikan dalam Al-Qur'an yang turun pada masa itu. Oleh karenanya, sebagian besar istilah yang digunakan di dalam Al-Qur'an haruslah dipahami dalam kontek perubahan sosial ekonomi masyarakat Arab waktu itu.
Dalam struktur sosial yang banyak melahirkan kendala baik bagi kemajuan ekonomi seperti yang terjadi dewasa ini, yaitu struktur yang represif dan hanya melestarikan keterbelakangan, pandangan rasional tentang agama dengan berbagai kompleks transendentalnya, tidaklah menarik perhatian masyarakat, apa yang menarik bagi mereka dalam suasana keterbelakangan itu adalah agama kerakyatan dengan segala perangkat ritualnya. Agama adalah untuk melayani kebutuhan psikologis bagi kesengsaraan duniawi mereka. Dalam persoalan ekonomi misalnya agama kerakyatan merupakan wujud nyata dari bangkitnya ekonomi kerakyatan yang berbasis prinsip-prinsip ekonomi Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, kesejahteraan, keadilan, kooperatif, persaudaraan dalam mewujudkan perannya sebagai khalifatu fil al-ard.
Bagaimana khutbah-khutbah awal Islam yang disampaikan oleh Nabi, apakah khutbah-khutbah beliau merupakana refresentasi dari penguatan terhadap system yang membelenggu kreatifitas umat namun justru kreatifitas dan kreasi umat manusia yang tidak berseberangan dengan prinsip dasar Islam akan direduce, dapat dilihat bagaimana Al-Qur'an mengecam praktek yang kontraproduktif bagi kemajuan kehidupan umat yang berkwalitas seperti penimbunan kekayaan dan kemegahan duniawi dikutuk secara sangat keras, perdagangan dengan riba, eksploitasi terhadap budak, jual beli ijon dan sebagainya masih banyak lagi praktek ekonomi yang dilarang oleh Nabi.
Sehingga Alasan inilah yang membuat para pedagang Mekkah itu kemudian menentang Nabi, dan menjadikannya sebagai musuh sejati mereka. Ini karena vested interest mereka terganggu secara serius. Kaum kaya Mekkah mula-mula menawarkan bujukan bersifat material kepada Nabi untuk menghentikan khotbah tentang dokrin egalitariannya itu. Tapi beliau menolak untuk berkompromi dengan kaum kaya itu sehingga mereka terus melakukan tekanan-tekanan dan mereka tidak begitu gelisah pada dokrin-dokrin keagamaan yang dikhotbahkan Nabi. Nampaknya lebih digelisahkan oleh konsekuensi-konsekuensi sosio-ekonomi dari ajaran-ajaran itu, serta oleh serangan Nabi yang sangat tajam terhadap kekayaan.
Al-Qur'an menunjukkan bahwa yang mereka peroleh itu adalah sebagai akibat konsentrasi pemilikan dan monopoli perdagangan yang tidak sah. Alasan mengapa Nabi mengecam para saudagar-saudagar kaya di Mekah adalah karena mereka akan menganggu keseimbangan sosial (Sosial Balance). Maka dalam Islam untuk mengurangi konsentrasi kekayaan itu terdapat ajaran zakat dan sedekah, yang berfungsi sebagai ritual-sosial dan bahkan zakat dan sedekah itu sangat tinggi nilainya dan arus diimbangi dengan keikhlasan (ridho), sebab dalam memberikan sedekah tidaklah boleh menghardik atau menyebut-nyebut sedekahnya baik ketika memberi atau tidak memberi. Di sinilah filosofi dasar konsep martabat Manusia (human dignity) dalam Islam. Memberi sedekah bukanlah memberi apa yang menjadi milik kita namun merupakan pemberian hak peminta dan hak si miskin yang telah bercampur dengan harta yang kita miliki sebagaimana Al-Qur’an menegaskan “Di dalam harta-harta kalian ada hak si miskin dan si minta-minta.
Dalam konsep Zakat, seharusnya zakat tidak dibatasi 2,5 %, sebab kesenjangan antara kaya dan miskin yang terjadi saat ini sangat jauh sekali dan juga problem ekonomi moderen sangat kompleks di mana industri kapitalis telah membedakan upah buruh (wages earners) dan keinginan para pemilik modal (capitalists) yang tentu berbeda kepentingan para buruh bertahan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sedangkan para pemilik modal bertahan dan terus mencari legitimasi kebenaran dalam mengeruk keuntungan, sehingga wajar bila pemilik modal diharuskan untuk mempraktekkan prinsip konsep human dignity yang mana pemilik modal telah diuntungkan oleh kaum buruh tanpa mereka produksi tidak berjalan namun ini hanya menjadi kerangka kosong karena pemilik modal lebih mementingkan pada self interestnya daripada kesejahteraan manusia seluruhnya.
Manusia yang menjunjung tinggi persaudaraan, dan menjalankan fungsinya selaku hamba Tuhan dan keyakinannya pada hak miliknya yang hanya merupakan titipan sementara dan kepemilikannya terhadap harta bukanlah kepemilikan yang bersifat mutlak. Pemahaman seperti ini jarang kita temui dalam kehidupan para pemilik modal tersebut entah dikarenakan economic power justru bukan pada masyarakat muslim atau pemahaman ilmu ekonomi kesejahteraan yang menurut Amartya Sen itu berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan sehingga tidak ada jalan bagi ilmu ekonomi kesejahteraan itu untuk bertempat. Akibat yang terjadi adalah mengeruk keuntungan dengan jalan meminimalkan upah buruh dan mengandakan uang dengan jalan bunga atau riba, atau prinsip cooperatif dalam ekonomi tidak dipraktekkan secara benar namun lebih banyak dalam pertimbangan-pertimbangan laba dan rugi sehingga pengelolaan resiko yang sangat tinggi dengan melupakan asset ekonomi menjadi idle dan berputar pada sector keuangan dan perbankan saja.
Apalagi Konsep riba dalam ekonomi modern, bukanlah bertujuan semata-mata membangun bank bebas bunga, namun larangan riba adalah merupakan wujud agama yang menjawab semua problem sosial ekonomi dalam ekonomi kapitalis, sebab ekonomi kapitalis mendapatkan keuntungan dari produksi dan ekploitasi. Essensi riba seharusnya dipahami atas dasar ekploitasi tersebut, bukan semata-mata dari perubahan suku bunga yang tetap. Pelarangan riba tidak bisa direalisasikan selama masih terdapat tindakan ekploitasi dalam segala bentuknya.
Islam telah memberikan visi suatu masyarakat yang baik dengan memberikan kriteria utamanya, termasuk di dalamnya institusi yang dapat kita lihat dalam perjalanan sejarah. Namun demikian, institusi ini sendiri bukanlah merupakan tujuan dari ajaran Islam, namun hanya merupakan suatu instrumen yang bisa berubah dan menurutnya harus berubah ketika instrumen tersebut telah menyimpang dari nilai yang dibawa oleh al-Qur’an.
Sebagai usahawan swasta dalam skala kecil dalam suatu masyarakat komersil seperti Mekkah tidak bisa disamakan dengan usahawan swasta pada zaman sekarang ini. Usahawan swasta sekarang ini terkumpul dalam bentuk kartel besar, kelompok monopoli dan koorporasi internasional, sehingga potensi merugikan kepentingan masyarakat lebih besar. Maka dalam situasi ini, sektor nasional dan sosial harus mampu melayani kepentingan masyarakat secara umum, karena – sesuai dengan prinsip yang dikemukakan oleh ash-Syatibi – menjaga kepentingan masyarakat luas di atas kepentingan pribadi akan lebih menjaga spirit dan sistem nilai yang dibawa oleh Islam. Wallahu A’lam