LAGI TENTANG EKONOMI SYARIAH

Oleh: Sucipto
Penulis Adalah dosen Ekonomi Islam IAIN STS Jambi

Indonesia Sejak dulu kala
Sejak awal kelahirannya Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berdaulat telah berkomitmen pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya yang terbukti dengan masuknya pasal-pasal yang berintikan pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Awal berdirinya hingga kini sejarah panjang telah terjadi, baik erosi nilai-nilai moral dalam ekonomi maupun manipulasi oleh minoritas kelompok atas prinsip keadilan sosial padahal justru berseberangan dengan apa yang termaktub dalam pancasila dan UU tahun 1945.
Landasan awal tentang prinsip ekonomi kerakyatan misalnya telah di usulkan M.Hatta, namun disisi lain minoritas anak bangsa yang berimpikan pada perwujudan keadilan ekonomi, menentang penindasan dan ekploitasi kaum kapitalis atas resourches bangsa ini. Dengan melihat fakta sejarah, timbulnya pergerakan untuk merebut kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, yang ini juga ditunjukkan oleh banyak perkumpulan anak bangsa ini yang berkomitmen pada keadilan sosial dan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat. Menurut mereka keadilan tidak akan terwujud bila tidak direbut, mereka menentang semua bentuk kolonialisme ekonomi yang bersembuyi dalam kolonialisme politik.
Bisa dilihat dalam sejarah bangsa yang besar ini bahwa bangsa ini gandrung akan keadilan menginginkan kesejahteraan ekonomi dan kemakmuran hidup. Perlawanan atas Belanda adalah bukan saja perlawanan pada kolonialisme itu namun juga adalah perlawanan atas diktatorisme ekonomi dan ekploitasi atas bangsa ini secara keseluruhan. Makanya pahlawan-pahlan kita memberontak untuk membangun bangsa yang beradab, adil dan makmur.
Awal-awal terbentuknya bangsa ini memiliki Visi ideal sebagai sebuah bangsa yang ingin besar dalam menjunjung nilai-nilai dan moral ekonomi bagi kesejahteraan bangsa. Namun dalam perjalanan sejarahnya cita-cita suci dan ideal itu hanya menjadi isapan jempol, kesejahteraan masyarakat tak terwujud malahan kesenjangan sosial menjadi-jadi di sana-sini.
Sejak kemerdekaan hingga tumbangnya rezim orde lama, tidak kelihatan Indonesia sebagai bangsa yang besar, secara ekonomi sejahtera, yang ada hanya intrik politik yang terus berkembang, padahal bila melihat pada sumber daya alam yang tersedia, adalah cukup untuk mewujudkan cita-cita ideal itu.
Bahkan setelah orde lama datanglah orde baru dengan banyak komitmen ekonomi, namun yang terjadi asset negara dikuasai oleh minoritas orang saja, tidak terjadi pemerataan, rakyat menjadi lemah dan terkulai dalam jeruji besi kemiskinan, tak mampu keluar, apalagi melawan, yang terjadi adalah sosial-gap, jobless dan kemiskinan, padahal bangsa yang besar itu adalah bangsa yang mayoritas muslim, muslim yang memahami nilai-nilai syariat Islam. Nilai zakat untuk keadilan sosial, infak, sedekah, dan pajak yang dalam pemikiran ekonomi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat menuju kemakmuran bangsa.
Apa yang salah? Bila kita merujuk pada pemikiran Rasulullah SAW, yang mana pada awal-awal Islam tampil dalam upaya memerangi kemiskinan, ketidak adilan dan kejujuran dalam sosial ekonomi, bahkan dalam khutbah-khutbah awalnya berisi kecaman pada para kapitalis mekah saat itu, yang cenderung jual beli dengan riba. Peran zakat pada awal-awal Islam telah berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan, kesadaran umat pada saat itu dalam memerangi kemiskinan sangat jelas sekali apalagi dukungan pada sikap tolong menolong sesama muslimpun menjadi kebiasaan bangsa Arab kala itu.
Pandangan yang khilaf atau Keliru.
Beberapa kelompok intelektual muslim mengatakan semua ini terjadi karena distorsi terhadap makna agama. Benarkah? Kalau ya kita semua harus beristighfar, Karena agama itu suci. agama yang mana agama yang suci itu ? Agama yang bermazhab “logika” atau agama logika rasa?
Agama yang mesti dijunjung tinggi itu adalah agama yang “membumi”, agama yang sangat diharap dan dinanti-nantikan adalah agama yang mampu menjawab problem-problem pasar dan dapat membuka diri terhadap persoalan-persoalan pasar tersebut, tapi ke depan, kita harus take a care bukan pada negara yang totaliter atau kembalinya militer ke dalam pemerintahan atau pada negara adidaya Amerika tetapi yang harus dipikirkan bagaimana membendung pasar bebas dengan berbagai effectnya bagi kehidupan sosio-ekonomi-politik bangsa ini. Disini akan terlihat agama kaum-kaum borjuis baru menguat dengan perilaku moral yang jauh daripada sentimen moral, berwatak penindas dan ekploitatif, penindas dan ekploitasi terhadap apa saja, bisa menindas dan ekploitasi atas hak-hak ekonomi, agama dan juga bisa menindas dan mengekploitasi atas kebebasan ekonomi dan ketidaksadaran ekonomi politik kita, logika rasa kemanusian kita didistrosi oleh logika lain yang memiliki implikasi ekonomi bukan bagi rakyat negeri ini namun cenderung opurtunity atas semua hak-hak kita yang telah dilindungi oleh UU.
Bukan lagi pertentangan antara pemahaman yang satu dengan pemahaman yang lain, hal ini lumrah karena terus akan lahir sepanjang sejarah perkembangan pemikiran manusia, tapi pertentangan kita ke depan adalah pertentangan pasariyah dan ghoiru pasariyah. Yang akan terkebelakang adalah mereka yang tak memiliki akses ekonomi bukan persaingan yang harus ditakuti atau budaya dari pasar itu.
Tapi dengan bahasa lain masyarakat ditakut-takuti dengan dampak dari pasar itu adalah globalisasi budaya, yang mesti di filter adalah globalisasi ekonomi, globalisasi pasar dan globalisasi kapital pada sekelompok minoritas? Agama pasar tak akan terlawankan bila tak di filter dengan cara pengguatan pasar yang memiliki etika dan moral politik ekonomi Islam. Bagaimana bangsa yang besar ini akan keluar dari kungkungan penjara kapitalis, bila kita takut untuk menyatakan perang terhadap pasar. Perang bukan berarti mengangkat senjata perlawanan, atau menutup kran investasi atau mungkin boikot atas produk asing. Namun perang adalah melawan dengan meningkatkan produktifitas investasi dalam negeri yang Islami, membangun enterpenuer-enterprenuer Islami, perang atas semua bentuk bunga, menguatkan manajemen zakat dan banyak lagi yang dapat diperbuat untuk memerangi Agama Pasar.
Oleh karena itu tak akan dapat dilawan agama borjuis itu bila yang dipertentangan umat hanya soal-soal pemikiran bukan soal nilai-nilai dasar yang akan menguatkan cara ritualisasi pasar.
Berangkat daripada Asumsi para ilmuwan bahwa bila menguatnya rakyat peran politik masyarakat maka ke depan masyarakat mudah untuk dipasarbebaskan pemikiran dan pemahaman mereka, lewat ketidaksadaran kolektif mereka, melalui menguatnya kelompok-kelompok masyarakat yang telah tersadarkan oleh demokrasi, keadilan ham, dan banyak lagi atas nama keadilan social, yang apakah keadilan yang mereka anggap itu memang Islami.
Bila bangsa ini terus larut dalam permasalahan klasik Maka yang akan muncul di tengah masyarakat adalah kelompok yang kuat menindas yang lemah, kekuatan baru yang akan menindas itu adalah kaum-kaum borjuis baru, karena yang akan berkuasa pada saat pasar bebas itu adalah agama yang difahami kaum borjuis. Yang menjunjung tinggi Demokrasi, Ham dan sebagainya, yang saat ini terus diwarisi lewat banyak program, yang intinya adalah untuk menghantarkan masyarakat Indonesia ke dalam penjara besar pasar bebas yang tak memiliki rasa kemanusian terhadap delapan asnaf dan bahkan umat manusia seluruhnya. Akan berada dalam lingkaran imprealisme ekonomi, liberalisme ekonomi dan neo-kolonialisme.
Negara-negara berkategori negara terkebelakang (Underdevelopmentalisme) akan menjadi negara jajahan dan kekayaan alamnya akan di rampas, dan utang-utangnya harus dibayar dengan bunga besar, bahkan negara-negara berkembang secara politik terus diintervensi. Baik soal perencanaan program negara. Bahkan kebijakan-kebijakn ekonomi akan diatur dan sekarang kita telah diatur oleh pasar.
Maka disini apakah kita harus takut pada budaya barat yang masuk ke sendi-sendi jantung kita atau pada ancaman kefakiran yang merajalela? atau kenapa tak pernah disadari bahwa tranformasi budaya akan hanya terjadi dalam masyarakat yang tak memiliki peradaban yang lemah, hanya sekedar isapan jempol bila perkataan saidina Ali : “kada al-fakru aiyakuna kufran”, yang dapat diartikan bahwa yang mesti diantisipasi itu adalah kefakiran yang akan menjadikan orang kufur.
Walau dalam banyak tafsiran tentang fakir, apakah fakir ini fakir harta atau fakir ibadah? ya dapat dibenarkan keduanya, tapi yang terpenting dalam tulisan ini fakir dapat membuat orang menuhankan harta sehingga ia menjadi lupa pada kewajiaban agamanya..
Borjuisasi Agama, Pasar dan rakyat
Agama borjuis, akan melahirkan kendala yaitu pertentangan kelas antara proletar dan borjuis. Sebahagian teman-teman yang berfaham sosialisme sangat menolak faham kapitalis yang cenderung mengekploitasi tenaga manusia, akal manusia, dan bahkan agama manusia lewat kapital atau kekayaan yang mereka miliki. Karena dalam pemahaman kaum kapitalis, yang berkuasa hanya kekayaan. Kekayaanlah yang memiliki nilai. Manusia, alam, sumber-sumber ekonomi dan tenaga manusia hanyalah alat untuk menuai kekayaan.
Dengan kekayaan akan dapat membeli apa saja, agama dalam masyarakat kapitalis hanya symbol saja, sekapitalis apapun manusia akan mengekang manusia untuk melakukan perubahan, karena perubahan tidak dapat terjadi sebab kekayaan yang ada hanya beredar di dalam komoditas kaum borjuis saja. Kesejahteraan tidak akan terwujud, apalagi keadilan distributive dan keadilan ekonomi hanya lift service saja, yang pada akhirnya rakyat menjerit karena utang, kelangkaan sumber ekonomi, masalah social-ekonomi gap dan monopoli kekayaan menjadi kewajaran dan lumrah terjadi, tak ada yang dapat mengeluarkan masyarakat dari penjara besar koloniliasime baru.
Borjuisasi sudah merupakan faham-plus sebahagian besar manusia. Bahkan saat ini separo penduduk dunia menganut kapitalisme sebagai “agama”. Watak sifat karakter dalam style of life yang cenderung konsumeris, dalam krisis melanda duniapun mereka semakin mewah gaya hidupnya bahkan daya beli masyarakat pun meningkat. Tidak peduli krisis melanda yang penting mereka bisa mengkonsumsi apapun yang mereka suka, mereka menganggap dengan kekayaan yang dimilikinya mereka bebas pergi keluar negeri untuk sekedar rekreasi. Tanpa mempedulikan sekelilingnya masyarakat menjerit untuk hidup.
Kapitalisme itu telah membudaya dan diwarisi terus menerus bahkan budaya itu telah menjadi ideology masyarakat. Mungkinkah satu saat nanti ideology itu kan mengalami perkembangan yang pesat sampai menjadi sebuah agama baru yaitu agama kaum borjuis, Apakah justru menjadi akhir dari kapitalisme?

Ekonomi Islam di Indonesia
Sejarah di Indonesia mencatat bahwa pada tanggal 3 November 1991 di halaman belakang Istana Negara di Bogor, telah ditetapkan sebagai hari bersejarah dalam pembentukan Bank Islam di Indonesia yang kemudiannya disebut dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kesaksian sejarah ini diperkuat oleh hadirnya H. Mohammad Soeharto, Kepala Negara/Presiden Republik Indonesia berserta Menteri Kabinet Pembangunan VI dan para Ulama dan Masyarakat yang sejak awal telah merintis pemikiran tentang perlunya Bank Islam di Indonesia. Operasionalisasinya bertumpu pada Undang-undang Perbankan Nomor. 7 Tahun 1992, dan didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil. Sejarah ini membuktikan bahwa tatanan baru untuk landasan bekerja dan berkarya bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam telah memperoleh landasan hukum yang memadai. Bagi mereka yang tidak beragama Islam, juga akan memperoleh manfaat yang besar karena Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Dan lingkungan strategis ini telah diketahui oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang berhasrat untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu dan sistem ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita kini dapat menyaksikan hadirnya Bait al Maal wa at Tamwil (BMT) yang tumbuh dengan cepat dan berhasil menolong kaum duafa. Oleh para pakar ekonomi dan sosiologi BMT dipadukan dengan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Lembaga ekonomi ini kemudian diperkaya dengan Asuransi Takaful. Tahap berikutnya, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), dibahaslah Reksadana Syariah melalui suatu Lokakarya di Jakarta dalam bulan Juli 1997. Reksadana (mutual funds) dianggap sebagai suatu komponen dalam sistem ekonomi Islam secara keseluruhannya yang bertugas untuk memperkaya lembaga ekonomi Islam yang kini telah ada, yakni Bank Islam, yang disebut dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Asuransi Takaful.
Giliran pertanyaan berikutnya ialah tentang peranan pendidikan dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu ekonomi Islam dan Bank Bagi Hasil tersebut. Apa yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar, tentunya berbeda dengan apa yang seharusnya diajarkan kepada siswa Sekolah Menengah Umum. Akan sangat berbeda apabila hal itu dikaji dan diajarkan kepada mahasiswa di Perguruan Tinggi. Keterpaduan peran antara dunia pendidikan dan peran masyarakat sehari-hari, terutama dalam berekonomi, merupakan tantangan tersendiri yang perumusan jalan keluarnya tiada lain melalui proses belajar.
Jatuhnya tampuk pemerintahan Presiden Soeharto 21 Mei 1998 sebagai akibat dari runtuhnya sistem perekonomian rezim Soeharto, merangsang kita semua untuk mengkaji ulang sistem perekonomian kapitalis dan menggantikannya dengan sistem ekonomi alternatif. Ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa sistem perekonomian yang berlangsung selama 30 tahun itu bisa runtuh begitu cepat? apa rahasianya?
Ke enam pertanyaan itu melatari tumbuhnya hasrat masyarakat untuk mempelajari ilmu dan sistem ekonomi Islam dan peluang ini harus diisi oleh mereka yang berkesempatan untuk menulis dan mengajarkannya kepada mereka yang sedang haus belajar itu. Wallahul A’lam

“MENGURAI TEOLOGI EKONOMI ISLAM”

Oleh: Sucipto, MA
Dosen Ekonomi Islam IAIN STS Jambi

Teologi dan tauhid
Teologi berasal dari kata theo berarti tuhan dan logi berarti ilmu. Logi atau ilmu memiliki tiga arti knowledge, skill dan ability. Theo dan ke tiga makna logi berpadu menjadi pemahaman yang comfrehensif, pertama, theo dan Knowledge yang satu merupakan pengetahuan basic berbentuk teori. Ke dua, theo dan skill merupakan kecakapan, kepandaian, ketrampilan untuk menunjukkan (to show something in) keahlian yang dimiliki pada diri seseorang tentang Tuhan, talenta dalam menafsirkan makna believing god dalam konteks sosial, ekonomi dan politik dan ke tiga, theo dan ability sebagai kecakapan, bakat, kemampuan, ketangkasan dan kesanggupan merujuk pada inner beauty seseorang yang berasal dari fua’da, lubba dan qolb, untuk sampai pada inner tersebut maka diperlukan knowledge, skill, ability dan logi, karena beberapa dalil atau petunjuk tentang makna-makna tersebut jelas adanya semisal sebuah petunjuk yang diimani oleh teolog man arafa nafsah faqod arafa rabbaha (barang siapa yang mengetahui tentang dirinya maka dia akan mengetahui siapa tuhannya).
Oleh karena itu Teologi ekonomi Islam berbasis pada Al Quran sebagai filsafat fundamental dari ekonomi Islam (39:38), hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi (taqdiri), baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dalam konteks ini Masudul ‘alam Chudury, tauhid adalah unity dari sebuah repleksi ketuhanan dimana manusia dalam ekonomi syariah harus mengamalkan relasi di antara manusia sekaligus manifestasi relasi dengan Tuhan. Tidak boleh tidak secara Praktis tauhid ekonomi atau teologi ekonomi islam itu didasarkan pada prinsip social justice.
Makanya prinsip teologi ekonomi Islam itu menghubungkan kewajiban kita kepada manusia juga merupakan kewajiban kita kepada Allah SWT. Allah Swt sebagai Tuhan memiliki banyak hak, sebagai hamba Tuhan, manusia memiliki kewajiban memenuhi hak Tuhan atas kita. Tuhan memiliki hak ekonomi, memenuhi hajat hidup orang banyak, meningkat taraf hidup, melawan setiap monopoli asset-aset ekonomi Tuhan pada sepasang tangan.
Dalam tradisi klasik bertuhan adalah hubungan makhluk dengan sang khalik, “hubungan yang privacy”, antara seorang hamba dengan Tuhannya lebih dekat dari “urat leher” saat berada dalam bilik sempit, gelap dan sepi. Dalam bahasa arabnya dikenal dengan berkhalwat, sebuah metode untuk saat ini perlu improvisasi, sehingga praktek teologis dalam kehidupan modern sarat dengan masalah yang kompleks dan paradok, maka bertuhan bagi manusia modern proxy semua aktivitas mampu memberikan nuansa spritualitas, bukan hanya dalam dasar kognitif saja namun mungkin dalam tataran teologis.
Teologi ekonomi atau Tauhid ekonomi
Dalam konteks ini Ismail Al-Faruqi mengatakan, Tauhid-lah sebagai prinsip utama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” yang pertama, dan Islam yang melembagakan gerakan sosialis pertama. Islam (dengan konsep tauhid) telah melakukan lebih banyak keadilan sosial dan pengembalian martabat manusia. Konsep dan pengertian yang canggih ini ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini.
Di antara pemikiran tentang konsep tauhid menjadi dasar ekonomi, ia bermakna kesatuan (unit), dalam konteks ekonomi yang diringkas hal yang terpenting dari seluruh essensi, basis dan dasar ekonomi Islam itu mengajarkan manusia bagaimana berhubungan dan mengadakan usaha dengan orang lain dalam cahaya dari hubungan dengan Allah SWT.
Dalam tataran ini yang disebut teologi ekonomi Islam. Sebagaimana Agustianto teologi ekonomi Islam yang berbasiskan tauhid tadi, mengajarkan dua pokok utama : Pertama, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam pandangan teologi Islam, sumber daya-sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bias menghitungnya”. (QS. 14:34). Sehingga sumber daya tersebut tidak akan terjadi kelangkaan (scarcity). Kelangkaan-kelangkaan sumber daya yang kita alami tidak dapat disimpulkan dari kelangkaan dari sumber-sumber daya yang ada tetapi kelangkan tersebut terjadi karena mismanage, salah kelola potensi sumber daya alam yang ada. Salah kelola sumber daya yang ada bisa saja terjadi dikarenakan supplayless, unbalanced distribution, bearing sources dan monopoly.
Amartya Sen, peraih nobel dalam bidang ilmu ekonomi kesejahteraan dalam bukunya on ethic and economic menjelaskan ilmu ekonomi itu memiliki dua asal usul yang keduanya terkait dengan politik, meskipun dengan cara yang berbeda, pertama etika, dan kedua berasal dari rekayasa. Asal usul yang kedua dari ilmu ekonomi adalah pendekatan rekayasa, pendekatan ini ditandai dengan usaha manusia dalam melakukan pencapaian untuk memodifikasi suatu model ekonomi demi tujuan mencapai kesejahteraan social. Baik bersifat teknis yang digunakan dalam policy Negara atau pun analisis matematika statistika ekonomi memiliki peran dalam perkembangan ilmu ekonomi itu sendiri. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah pendekatan etis dan rekayasa yang menjadi asal usul ilmu ekonomi tersebut dapat mencapai suatu masyarakat ideal.
Dalam hal ini etika yang menyangkut perilaku-perilaku rasional manusia akan berhadapan dengan kepentingan diri, apa yang didahulukan antara perilaku rasional etis atau kepentingan diri?
Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu melakukan pembenaran dengan jargon bahwa sumber daya alam terbatas (limited). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidak adilan sumber daya (ekonomi).
Secara teologis Islam memiliki tatacara muamalah, dimana muamalah didasarkan pada prinsip tauhid, bahwa kekayaan alam ini adalah anugrah dari sang pencipta dan bukanlah mutlak milik manusia, sehingga ada anjuran lain yang lebih penting yakni bermuamalah dengan moral etika yang diinterpretasikan dari teologi.
Tak terhitung banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan bahwa alam dan seluruh isinya disediakan untuk kepentingan manusia. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif juga untuk kehidupan manusia.
Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan (QS. 17:35) dan serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan generasi mendatang. Misalnya mengeksploitir sumber minyak lalu meninggalkan sumurnya kering sepanjang satu generasi, atau menjadikan lahan kering kerontang dan menguras habis barang-barang tambang yang menjadi jatah generasi mendatang karena alasan kemakmuran saat ini atau mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perbuatan memutlakkan waktu sekarang, tanpa memikirkan masa depan, termasuk bentuk hubungan dominasi dan eksploitatif. Hal itu sama saja dengan melupakan prinsip bahwa setiap individu dan masyarakat adalah bagian dari keseluruhan umat manusia.
Tidak seorangpun, bahkan pemerintah sekalipun, berhak mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan satu generasi tertentu.
Kedua, Tauhid sebagai landasan ekonomi Islam bermakna bahwa semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Hanya Allah yang mengatur segala sesuatu, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, sistem dan perolehan rezeki. Realitas kepemilikan mutlak tidak dapat dibenarkan oleh Islam, karena hal itu berarti menerima konsep kepemilikan absolut, yang jelas berlawanan dengan konsep tauhid.
Selanjutnya, konsep tauhid mengajarkan bahwa Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk dan semua makhluk tunduk kepadanya. Salah satu makhluk yang diciptakannya adalah manusia yang berasal dari substansi yang sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama (musawat) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukkan oleh Allah bagi manusia sebagai sumber manfaat ekonomis (QS 6: 142-145), 16: 10-16).
Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia, yang merupakan implikasi dari tauhid. Konsep persamaan manusia, menunjukkan bahwa Islam mengutuk manusia yang berkelas-kelas. Maka, implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh, dan mudharabah (profit and lost sharing). Dokter egalitarian seperti itu, jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang individualistis.
Meskipun sumber daya yang tersedia untuk manusia adalah pemberian Tuhan dan manusia hanyalah sekedar pihak yang diberi amanah karena pemilik mutlak adalah Allah, hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan kepemilikan pribadi. Islam tetap mangakui kepemilikan pribadi, tetapi tidak bersifat absolut (hakiki), karena pemilik sebenarnya adalah Allah SWT. Manusia hanyalah pemilik relatif.
Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pertama, bahwa sumber daya di peruntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (QS. 2:29). Sumber-sumber itu harus digunakan dengan adil untuk kesejahteraan semua orang secara meenyeluruh. Penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir orang tertentu, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Dalam prinsip Islam, kesejahteraan bukan hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain secara menyeluruh. Dengan demikian, seseorang sebagai pengemban amanah, tidak akan menjadi egois, rakus, jahat, dan bekerja untuk kesejahteraan dirinya sendiri.
Kedua, setiap orang harus memperoleh sumber-sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan hasil kolusi dan cara-cara curang lainnya. Bertindak secara tidak fair adalah melanggar fungsi kekhalifahan manusia.
Keempat, tidak seorang pun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber-sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al Quran disamakan dengan fasad (kerakusan, kejahatan dan korupsi) yang dilarang Tuhan (QS. 2:205). Karena itu ketika Abu Bakar, mengirim Yazid bin Abi Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh-tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah musuh. Wallahu ‘alam

TA’RIF EKONOMI ISLAM

1. Pada mulanya istilah ekonomi memiliki arti mengatur rumah tangga. Menurut etimologi, ia berasal dari oikonomeia (Greek atau Yunani). Kata oikonomeia berasal dari dua kata : oikos yang berarti rumah dan nomos yang berarti aturan. Kita kini dapat mengatakannya sebagai ilmu ekonomi, yang berarti ilmu mengatur rumah tangga, yang dalam bahasa Inggris disebutnya sebagai economics. Secara terminologi, oleh Samuelson (1973), ilmu ekonomi didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Pada uraian selanjutnya kita akan menggunakan kata rumah tangga dalam rumah tangga somah, rumah tangga masyarakat, dan rumah tangga negara. Ini berarti bahwa kegiatan itu melibatkan anggota keluarga yang mampu dalam menghasilkan barang dan jasa, pada gilirannya seluruh anggota keluarga yang ada ikut menikmati apa yang mereka peroleh. Kegiatan ini kemudiannya menyebar ke seluruh populasi rumah tangga yang kemudian menjadi suatu kelompok yang diperintah oleh pemerintahan suatu negara. Karena itu yang dimaksud kata “Ekonomi” di sini bukanlah makna bahasa yang berarti hemat. Juga bukan berarti kekayaan. Akan tetapi dimaksudkan sebagai makna istilah untuk suatu sebutan tertentu, yaitu kegiatan mengatur urusan harta kekayaan. Pengaturan urusan rumah tangga ini mencakup tiga sub sistem yang secara keseluruhannya disebut sistem ekonomi. Urusan memperbanyak kekayaan dan memelihara peng-adaannya disebut sub sistem produksi, tata cara mengkonsumsikannya disebut sub sistem konsumsi, dan yang berhubungan dengan tata cara pendistribusiannya tercakup dalam sub sistem distribusi.
2. Apa yang dapat dicermati apabila definisi (ta’rif) ekonomi tersebut di atas kita kaitkan dengan pengertian agama (dien; religion). Agama menurut Reville didefinisikan sebagai The determination of human life in accordance with a bond between the human soul and a mysterious Soul, whose domination over himself and the world man recognizes and to Whom he likes to feel attached. Sedangkan Michel Mayer mendefinisikan agama sebagai The set of beliefs and precepts which must guide us in our conduct toward God, other people and toward ourselves. Singkatnya, menurut M. Abdullah Draz agama dapat dikatakan sebagai a chart of conduct (peta aturan perbuatan).
Dari definisi tentang agama, kita kini dapat mencermati bahwa bidang-bidang pembahasan dalam ekonomi yang mencakup produksi, konsumsi dan distribusi merupakan sub-gugus dari agama (dien). Oleh karena itu kita dapat memaklumi apabila ada yang berpendapat bahwa setiap agama seharusnya mempunyai cara-cara tentang bagaimana manusia mengorganisasi kegiatan ekonominya.
3. Niat untuk memajukan ekonomi, memproduksi barang dan jasa dalam kegiatan produksi, dan mengkonsumsi hasil-hasil produksi serta mendistribusikannya, dengan demikian, seharusnyalah berpijak kepada ajaran agama. Artinya, apabila kita mengacu pada ajaran Islam, tujuan hidup mardatillah harus mendasari (mengilhami dan mengarahkan) konsistensi antara niat (li Allah ta ala) dan cara-cara untuk memperoleh tujuan berekonomi (kaifiat). Dalam kaitan ini, M.M. Metwally mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai, ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al-Quran, as-Sunnah, Qiyas dan Ijma.
Ia memberikan alasan bahwa dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat dikendalikan kearah bagaimana memenuhi kebutuhan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Dalam Islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan oleh karena itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia yang sekaligus sebagai amal ibadah setiap individu kepada Tuhannya. Ekonomi dengan demikian, merupakan ilmu dan sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan berkecukupan itu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks kemaslahatan bersama.
Tak jauh berbeda dengan M.M. Metwally, Muhammad Abdul Manan berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam. Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Dari uraian tersebut di atas, agaknya kita dapat merangkumkan ta’rif ilmu ekonomi Islam, juga di sini kami sebut dengan Ekonomika Islam (Islamic Economics), yang akan lebih sering digunakan dalam buku kecil ini, ialah bahwa Ekonomika Islam adalah ilmu yang mempelajari tata kehidupan kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridla Allah.
Tarif ini mencakup tiga domein, yakni domein tata kehidupan, domein pemenuhan kebutuhan, dan domein ridla Allah. Semuanya ini diilhami oleh nilai-nilai Islam yang bersumberkan al-Quran, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Tar’if ilmu ekonomi Islam yang memadukan tiga domein itu menunjukkan konsistensi antara niat (li Allah), kaifiat (cara-cara) dan ghayah (tujuan) dari setiap insan.

HAYALAN KAYA

Hayalan Kaya (cerita)
skebanyakan cerita yang berdasarkan fiksi, sering dijadikan motivasi, kreasi dan inovasi sseorang dalam berkarya.cerita ini juga sebenarnya menginginkan hal ini..semoga bermanfaat dan anda bisa
Baca selengkapnya di sini

Beberapa Cara Agar Blog Anda Terkenal

Beberapa Cara Agar Blog Anda Terkenal

http://www.sxc.hu/browse.phtml?f=search&w=1&txt=internet&p=3

Banyak cara agar blog Anda dikunjungi banyak orang. Mulai dari yang beradab hingga yang menipu. Cara beradab, Anda harus rajin menulis, membuat jaringan dengan blog lain dan sebagainya. Cara yang lain misalnya dengan menulis artikel yang bertentangan dengan pendapat orang, menulis soal seks, krimininalitas, atau berita soal penerimaan pegawai. Cara lainnya masih banyak.

Oleh Rusdi Mathari

SEORANG teman wartawan protes kepada saya suatu hari dan bertanya, kenapa saya hanya menulis di blog dan tak menulis di media cetak. “Sampean itu onani,” kata dia. Saya tertawa mendengar pertanyaannya tapi tak mencoba menjawab.

Blog bagi saya adalah “dunia yang baru” karena saya baru mengenalnya sejak pertengahan November lalu. Sebuah pengenalan dan pengetahuan yang menurut saya sangat terlambat. Mungkin benar teman wartawan tadi melalui blog saya sedang onani, karena saya bisa menulis apa saja tanpa khawatir tulisan saya disunting apalagi takut tidak dimuat seperti lazimnya ketika kita mengirim tulisan ke media cetak. Saya menulis di blog memang untuk aktualisasi karena pekerjaan dan profesi saya penulis.

Selama ini bukan tak ada usaha saya untuk misalnya menulis dan kemudian mengirimkan tulisan itu ke media cetak. Saya misalnya secara rutin mengirim resensi buku, cerpen atau sekedar esay. Namun jarang sekali tulisan saya dimuat oleh media cetak. Alasannya macam-macam. Mulai dari jumlah karakter saya yang terlalu banyak, hingga substansi tulisan saya yang dinilai tidak ada isinya. Maklum saja, media cetak yang saya kirimi tulisan adalah media cetak yang sudah punya nama besar. Namun saya percaya dari semua alasan redaksi media cetak itu, pastilah alasan utamanya karena tulisan saya memang tidak bermutu. Seorang teman wartawan lain pernah membesarkan hati saya dengan berkata, “Media cetak besar itu, lebih memilih ‘singer’ ketimbang ‘song’.”

Blog kemudian sangat membantu saya, meskipun saya sendiri juga menggawangi dua majalah agama sebagai redaktur pelaksana. Ketika pertama kali menulis, saya heran sendiri, blog saya yang relatif baru dikunjungi banyak orang, meskipun jumlah pengunjungnya sangat jauh dibanding blog-blog yang sudah bertahun-tahun ada dan sudah mapan. Saya menulis apa saja, sepanjang saya menguasai persoalan. Mulai dari ekonomi, agama, buku, ilmu pengetahuan, maupun politik.

Belakangan saya mengerti, saya tidak mungkin hanya menjadikan blog sebagai sarana aktuliasasi. Ketika membaca bahwa Wael Abbas dari Mesir mendapat penghargaan jurnalistik dari Pusat Wartawan Internasional (ICJ) akhir tahun lalu karena blognya dianggap sebagai media alternatif (lihat “Wael, Blog dan Produk Jurnalistik”, 17 November 2007), saya lalu bertekad meniru Wael: harus membuat blog berita bukan blog keluh kesah. Saya harus menjadi wartawan blog apapun risikonya, saya kemudian berikhtiar menulis berita dan opini dari sisi yang mungkin diabaikan banyak media cetak. Dari standar jurnalistik, tulisan-tulisan saya itu memang sangat jauh dari memadai meskipun saya terus berusaha untuk memenuhinya. Responnya luar biasa karena semakin banyak orang yang mengunjungi blog saya.

Jumlah pengunjung blog saya meningkat di luar dugaan saya ketika saya menulis soal penangkapan Ahmad Albar dengan mewawancarai Jockie Suryoprayogo (lihat “Cerita di Balik Penangkapan Ahmad Albar“, 28 November 2007). Dalam sehari pernah dikunjungi 1.600-an pembaca. Saya memilih Jockie, karena saya mendengar antara Jockie dan Albar sering terjadi ketidakcocokan. Jockie blak-blakan kepada saya tapi tidak semua keterangannya saya muat demi kepentingan Jockie dan Albar sendiri. Keterangan Jockie kepada saya bahkan dikutip persis oleh Koran Tempo, meskipun media itu tak menyebutkan sumbernya dari blog saya.

Jumlah pengunjung yang mencapai jumlah di atas seribu orang perhari juga saya dapati, ketika saya menulis soal penangkapan Roy Marten (lihat “Empat Hari Sebelum Roy Marten Ditangkap“, 29 November 2007). Saya mengontak Chris Salam adik Roy dan Alex Asmasoebrata sahabat Roy untuk kepentingan penulisan itu. Dari dua orang itu saya mendapat kronologis bagaimana Roy ditangkap karena Alex ikut bersama Roy saat pergi Surabaya. Alex juga bercerita banyak soal di balik penangkapan itu, tapi saya juga tidak mengungkapkannya semua dalam tulisan.

Kunjungan dari lebih seribu pengunjung setiap hari pun saya dapati saat saya menulis soal kematian Benazir Bhutto (lihat “Benazir Bhutto Tewas Ditembak“, 27 Desember 2007). Saya mendapat berita itu dari Yahoo! hanya beberapa menit setelah Bhutto ditembak. Saya lantas mencoba menerjemahkan berita itu menjadi sebuah berita singkat dan ditampilkan di blog malam itu juga. Esoknya ketika saya membuka blog saya, sungguh saya kaget karena tidak menyangka tulisan itu mendapat perhatian luar biasa dari banyak orang. Selama dua hari, berita bahkan menempati urutan teratas Top Post di blog WordPress Indonesia.

Saya lantas berpikir, rupanya nama seseorang memang sanggup menyihir orang untuk ingin tahu. Artis, para tokoh dan sebagainya adalah obyek berita yang bagi sebagian orang terlalu sayang untuk dilewatkan. Saya akhirnya maklum kenapa acara infotainment di televisi selalu menempati rating tinggi karena rupanya sebagian orang berkepentingan dengan berita soal para artis. Tulisan saya tentang Albar dan Roy yang direspon banyak direspon orang –meskipun saya berusaha menuliskannya secara berbeda dengan yang ditulis atau dibahas oleh media infotainment—terbukti tetap dibaca oleh banyak orang.

Saya kemudian teringat “teori’ jurnalistik bahwa artis dan tokoh adalah salah satu obyek berita yang bisa menjadi daya tarik, selain soal seks dan kriminalitas. Seorang fotografer lalu meledek saya,”Wah cak Rusdi sekarang jadi wartawan seleberitas.” Saya tersenyum mendengarnya.

Apakah hanya karena menulis soal artis dan tokoh sebuah blog bisa dikunjungi banyak orang? Tidak. Ada banyak cara agar blog Anda dikunjungi banyak orang. Seorang blogger pernah menulis, agar blog kita banyak banyak dikunjungi oleh pembaca maka yang harus dilakukan adalah banyak menulis. Menulis apa saja. Semakin banyak menulis sehingga karena itu tulisan di blog semakin beragam dan banyak pilihan, kata dia, akan semakin banyak orang yang datang berkunjung dan membaca. Soal kualitas, kata dia, adalah nomor sekian, yang penting menulis dan menulis. Namun saya tak percaya dengan teori itu.

Saya akui blogger tadi memang produktif menulis. Namun dia bisa berteori seperti itu, karena dia sendiri memang sudah punya “massa” sendiri yang tak lain adalah mahasiswanya sendiri. Di kampusnya, boleh jadi dia adalah dosen idola sehingga para mahasiswanya akhirnya juga rajin membaca tulisan dia di blognya. Anda bisa saja meniru atau mengikuti kiat pak dosen itu, namun Anda harus punya stamina tinggi untuk selalu menulis dan tentu saja untuk membayar tagihan ongkos berinternet.

Cara lain agar blog banyak dikunjungi orang adalah dengan menulis tulisan sensasional yang bertabrakan dengan opini publik. Jika pendapat umum mengatakan A maka Anda cukup menuliskannya sebagai A’ atau bahkan X. Misalnya ketika ramai orang berpendapat Seoharto harus diadili, Anda cukup menulis bahwa Soeharto adalah pahlawan atau sebaliknya.

Bisa juga Anda menulis soal seks. Seperti soal kriminalitas soal seks adalah naluri manusia yang entah kenapa selalu menyita perhatian banyak orang. Misalnya dengan menulis judul posting, “Foto-foto anak SMA diperkosa berjamaah” meskipun isinya sama sekali tak ada unsur seksnya. Hasilnya blog Anda akan dikunjungi banyak orang yang ketipu. Anda misalnya juga dapat membuat tulisan tentang pengumuman yang berkaitan dengan hajat hidup sebagian orang. Contohnya tentang pengumuman penerimaan PNS atau karyawan, meskipun isinya kemudian adalah “maaf sampai sekarang belum ada pengumuman penerimaan PNS di instasi anu.”

Tentu ada risikonya. Jika posting Anda selalu bombastis apalagi kemudian menipu, blog Anda tidak akan lagi dipercaya oleh orang dan karena itu akan semakin sedikit orang yang berkunjung ke blog Anda. Anda bisa-bisa dikategorikan orang iseng dan bisa dikeluarkan dari komunitas blog.

Paling gampang adalah menulis soal teknologi komputer atau blog. Jika Anda menguasai bidang yang satu ini dan kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan dan diposting di blog Anda, dipastikan blog Anda akan ramai dikunjungi. Sebabnya adalah banyak blooger yang masih awam soal blog sehingga membutuhkan panduan untuk ngeblog. Anda bisa lihat, blog-blog yang membahas soal teknologi komputer dan tentang blog, tak pernah sepi dikunjungi orang.

Cara lain Anda harus mengunjungi blog lain dan menitip alamat blog Anda di blog yang Anda kunjungi. Ini yang disebut memperbanyak jaringan (link). Dengan semakin banyak alamat blog Anda tampil di bog lain, kemungkinan orang untuk mengklik Anda juga akan semakin besar.

Jika semua cara sudah dicoba namun blog Anda tetap sepi pengunjung, Anda tak usah berkecil hati. Ingatlah tujuan Anda pertama membuat blog untuk apa: apakah untuk aktuliasasi atau ingin dibaca banyak orang. Saya percaya, tujuan awalnya adalah untuk aktualisasi. Saya sendiri tak terlalu memikirkan apakah pengunjung dan pembaca blog saya banyak atau tidak karena saya hanya sekedar menulis dan memberitakan, setelah arus utama media cetak main stream jarang sekali bersedia memuat tulisan saya. Terlalu banyak informasi di luar sana, yang tidak dimuat oleh media cetak dan sayang untuk tidak ditulis.

Metode penelitian

METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi adalah pengetahuan tentang cara-cara (science of methods). Dalam kontek penelitian, metodologi adalah “totalitas cara” untuk meneliti dan menemukan kebenaran.
PENDEKATAN PENELITIAN

PENELITIAN KUANTITATIF
PENELITIAN KUALITATIF
PENELITIAN KUANTITATIF

Kuantitatif adalah pendekatan dalam penelitian atau biasa disebut dengan model atau nuansa penelitian dengan pengolahan dan penyajian data mempergunakan metoda statistika yang memungkinkan peneliti untuk menetapkan secara eksak (exact).
CIRI-CIRI PENELITIAN DENGAN PENDEKATAN KUANTITATIF :
Memiliki variable, sub variable serta indikator-indikator sub variable yang jelas;
Memiliki hipotesis penelitian;
Memiliki populasi dan sample penelitian;
Memerlukan instrument dan teknik pengumpulan data;
Memiliki angka-angka sebagai data penelitian untuk dianalisis;
Memerlukan analisis data secara statistik.
PENGERTIAN VARIABEL PENELITIAN

AVARIABEL ADALAH SUATU YANG MENJADI OBJEK PENELITIAN.
SECARA UMUM VARIABEL TERBAGI 4 MACAM YAITU : VARIABEL BEBAS, VARIABEL TERIKAT, VARIABEL MODERATOR DAN VARIABEL PENGACAU.
VARIABEL BEBAS (VARIABEL PENGARUH) ADALAH VARIABEL INDEPENDENT YANG MEMUNGKINKAN MUNCULNYA VARIABEL-VARIABEL LAIN.
VARIABEL TERIKAT (VARIABEL TERPENGARUH) ADALAH VARIABEL DEPENDENT YANG MERUPAKAN AKIBAT DARI VARIABEL BEBAS.


Variable moderator adalah variable penengah antara variable satu dengan variable lainnya. Contoh : Kita ingin mengetahui apakah hasil test bahasa Inggris (variable pengaruh) mempengaruhi hasil test matematika (variable terpengaruh). Jika kita masukkan variable lain (misalnya jenis kelamin, atau sosio ekonomi dari siswa yang diteliti), maka ini disebut variable moderator.

INDIKATOR VARIABEL

Satu konsep lain yang sangat penting dan pasti berhubungan dengan variable adalah “Indikator”, yaitu sesuatu yang diteliti atau diukur, sama dengan variable. Perbedaannnya adalah pada derajat empiriknya. Jika variable terletak pada derajat yang abstrak dan konseptual, maka indicator terletak pada derajat empiric dan operasional.


Indikator harus diturunkan dari variable, akan tetapi apabila suatu variable sudah cukup bersifat empiris dan operasional, maka kita tidak lagi memerlukan indicator untuk variable tersebut. Contoh. Mengukur berat badan seseorang, maka cukuplah ditimbang.
SUB VARIABEL
Sub Variabel adalah bagian-bagian atau hal-hal yang terikat dari variabel yang dapat diteliti, yang memungkinkan dapat dibuat dalam bentuk angket atau intrumen wawancara.
Sub Variabel dapat terdiri dari beberapa item yang dibuat dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan.

CONTOH-CONTOH VARIABEL JUDUL PENELITIAN
Judul Penelitian AKTIVITAS GURU PAI DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR SDN 1 SINGKAWANG
Ini adalah variabel tunggal atau hanya satu variabel (yang bisa diteliti) yaitu Aktivitas Guru PAI dalam Proses Belajar Mengajar.
Judul Penelitian HUBUNGAN AKTIVITAS GURU PAI DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PAI SDN 1 SINGKAWANG

Judul Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) variabel yaitu : Variabel bebas (Aktivitas Guru PAI) dan Variabel Terikat : Hasil Belajar Siswa.

POPULASI dan SAMPEL
Populasi adalah objek utama dari penelitian yang direncanakan. Populasi bisa terkait dengan manusianya serta tindakannya maupun objek lain yang ada di alam. Apabila populasi dalam jumlah banyak, maka diadakan sampel disesuaikan dengan kaedah keilmuan.
Ada beberapa teknik menentukan sample, antara lain :
1. Random sampling/sampling acak
- Sampling acak sederhana yaitu dengan menggunakan lotre terhadap populasi;
- Sampling acak beraturan (ordinal sampling); mengambil nomor subjek dengan jarak yang sama. Cont. Dengan kelipatan : 3,5,10 dst.
- Sampling acak dengan bilangan random; yaitu dengan membuat tabel yang disusun dengan urutan tertentu dari subjek. Cont. dibuat dengan grafik atau prosentase tertentu.


Sampling kelompok /cluster sampling, yaitu mengambil sampel dengan membuat ciri dari kelompok populasi. Cont kls 1 SMP dengan latar belakang pekerjaan atau pendidikan orang tua,
Sampling berstrata atau bertingkat, yaitu apabila dalam populasi terdapat strata. Cont. ada kelas 1,2 dan 3.
sampling bertujuan/purposive sampling,
sampling daerah atau wilayah,
sampling kembar,
sampling berimbang.

TEORI PENENTUAN JUMLAH SAMPEL DARI POPULASI
Pada dasarnya tidak ada rumus tertentu dalam penarikan sampel dari populasi;
Pada prinsipnya semakin besar jumlah sampel yang ditarik dari populasi maka kemungkinan kesalahan penilitian semakin kecil;
Penarikan sampel harus dapat mewakili populasi.
HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MENENTUKAN SAMPEL DARI POPULASI
Menentukan objek penelitian
Menentukan populasi penelitian
Menentukan ukuran dan teknik sampling
Mengambil sampel.
HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian. Jawaban sementara tersebut diperoleh melalui kerangka berpikir yang didasarkan pada kajian secara analisis dan konklusif. Jika dalam kajian teoritik diambil teori-teori yang sudah mapan, maka peneliti memiliki landasan berpijak yang kuat untuk menyusun kerangka berpikir bagi perumusan hipotesis.


Hipotesis seperti ini disebut hipotesis asumsi yaitu hipotesis yang dapat dirumuskan sebelum data terkumpul. Jika teori-teori mengenai variabel penelitian masih baru atau belum mapan maka peneliti belum memiliki dasar yang kuat untuk menyusun kerangka berpikir bagi perumusan hipotesis.
JENIS-JENIS HIPOTESIS
Hipotesis nol (Ho ) : yaitu tidak terdapat hubungan antar variable;
Hipotesis alternative (Ha) : yaitu terdapat hubungan antar variable.

Catatan :
Untuk penelitian dengan metode deskriptif, histories, filosofis, pelacakan, evaluasi, dan tindakan tidak memerlukan hipotesis. Adapun untuk penelitian yang menggunakan satu variable boleh menggunakan atau tidak menggunakan hipotesis.
OBJEK dan WILAYAH PENELITIAN
OBJEK PENELITIAN disesuaikan dengan Lembaga STIT Syarif Abdurrahman Singkawang

1. Siswa Muslim (SMP ke atas) dan Mahasiswa;
2. Guru Agama Islam dan Dosen Mata Kuliah Keislaman.
3. Majelis-majelis Ta’lim

Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini menjelaskan secara rinci bagaimana instrumen dirancang, disusun dan dijadikan alat untuk memperoleh data penelitian.
Kisi-kisi intrumen penelitian dirumuskan mengacu pada sub variabel yang telah ditetapkan.
Item-item instrumen dinyatakan dalam bentuk angket.
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA MENGGUNAKAN ANGKET.
Angket merupakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain dengan tujuan responden dapat memberikan respons sesuai dengan permintaan pengguna.
Angket dibedakan menjadi 3 Jenis, yaitu :
1. Angket Terbuka;
2. Angket Tertutup
3. Angket Gabungan (Terbuka dan tertutup).
ANGKET TERBUKA
Adalah angket yang disajikan dan diisi oleh responden sesuai dengan kehendak dan keadaannya. Contoh :
Penataran apa saja yang pernah anda ikuti yang menunjang tugas anda mengajar ? Tuliskan penataran apa, dimana dan berapa lama………………………………………………………………………………………………………………………………

Jawaban dari pertanyaan ini sulit untuk peneliti nominalkan apabila peneliti belum mempunyai standarisasi jawaban.
ANGKET TERTUTUP
Angket yang disajikan dalam bentuk dimana responden hanya memberikan tanda centang (v) pada kolom yang sesuai. Contoh :
1. Pernahkah anda memperoleh penataran yang menunjang tugas anda mengajar ? A. pernah B. tidak pernah
2. Jika pernah, penataran tentang apa saja (dapat memberikan centang lebih dari satu). A. materi bidang studi. B. Metode mengajar. C. Menggunakan media. D. Menyusun alat evaluasi

Menggunakan angket model ini bisa peneliti nominalkan hasilnya dengan catatan standarisasi katagori penilaian harus jelas.

ANGKET CAMPURAN. Contoh :
Pernahkah anda mendapat penataran yang menunjang tugas anda mengajar ? Jika pernah berapa kali ?
a. Tidak pernah (langsung ke nomor 3)
b. Pernah, yaitu …. (teruskan ke no. 2)
Penataran apa saja yang anda ikuti dan berapa lama ?
a. Materi pelajaran…………………..hari
b. Metode mengajar…………………hari
c. Penggunaan media……………….hari
d. Penyusunan alat evaluasi………..hari

ANGKET DENGAN MENGGUNAKAN SKALA LIKERT.
Yaitu angket yang telah menyediakan alternatif jawaban dengan ketentuan katagori. Contoh untuk 5 katagori.

A nilai (5). B (4) C (3) D (2) E (1) untuk pertanyaan Positif.
A nilai (1). B (2) C (3) D (4) E (5) untuk pertanyaan Negatif.




Contoh pertanyaan dengan Skala Likert




Dalam upaya meningkatkan kualitas guru dalam melaksanakan tugas belajar mengajar, maka setiap guru diberikan pendidikan dan pelatihan secara berkala setiap tahun.
CONTOH KISI-KISI INSTRUMEN PENELITIAN.
Metode/ Teknik Pengumpulan Data
Metode/Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data disertai alasannya perlu dijelaskan. Data yang terkumpul dari setiap variabel harus jelas skala pengukurannya, sehingga dapat membantu penditeksian kecocokan skala data dengan teknik analisis.
ANALISIS DATA
Teknik dan prosedur analisis data yang digunakan peneliti beserta alasannya perlu dijelaskan. Analisis data dilakukan sesuai dengan kebutuhan penelitian dan metode penelitian, apakah memerlukan normalitas data, linieritas data, deskripsi data, dan sejenisnya sebelum melakukan analisis ( Chi Kuadrat, Korelasi, Regresi, dsb).
Analisis data dapat dilakukan secara manual maupun komputer dengan program-program statistik yang telah diakui, baik skala nasional maupun internasional.
FORMAT PENELITIAN KUANTITATIF
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Perumusan Masalah
E. Tujuan Penelitian
F. Manfaat Penelitian
BAB II : KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Kajian/ Landasan Teori
1. Konsep Variabel
2. Teori – Teori yang Mendukung
B. Kajian/ Hasil Penelitian Terdahulu
C. Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis Penelitian

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Wilayah Penelitian
B. Populasi dan Sampel
C. Definisi Operasional
D. Instrumentasi Penelitian
E. Metode/ Teknik Pengumpulan Data
F. Analisis Data

BAB IV : HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
B. Pengujian Persyaratan Analisis
C. Pengujian Hipotesis
D. Diskusi/ Pembahasan
E. Keterbatasan Penelitian

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Implikasi Hasil Penelitian
C. Saran – Saran

DAFTAR KEPUSTAKAAN

BAHAN UJIAN KOMPREHENSIF

BAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH
IAIN STULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI


1. surah Al-Baqaroh ayat 282-283
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلُُ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَآءُ إِذَا مَادُعُوا وَلاَ تَسْئَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبُُ وَلاَ شَهِيدُُ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقُُ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمُُ {282}* وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمُُ قَلْبُهُ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمُُ {283}.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendak orang yang berhutang itu mengembalikan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika orang-orang yang berhutang itu orang-orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau ia sendiri tidak mampu mengembalikan, maka hendaklah walinya mengembalikan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi orang-orang lelaki ( di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh) orang yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya; maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Baqarah : 282-283.)
2. Surah Al_baqarah ayat 275
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275}
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
3. Surat an-nisa ayat 29
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَتَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.


4. Surah shad ayat 24
وإن كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات (ص : 24)
… Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh … (RS. Shad : 24)
5.Surah an-nisa ayat 58
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها (النساء : 58)
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (QS. al-Nisa’ : 58)
6. Surah
وما أتيتم من ربا ليربوا في أموال الناس فلا يربوا عند الله
Dan suatu riba (kelebihan) yang kami berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
7. Surah al-maidah ayat 8
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ للهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. Al Ma’idah:8)
8.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ اْلأَنْعَامِ إِلاَّ مَايُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَايُرِيدُ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya
9. Qur’an Surah An Nahl:91)


وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَتَنقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَاتَفْعَلُونَ {91

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu..” (Q.S. An Nahl:91)

10.Surah An Najm 38-40)

أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى {38} وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّمَاسَعَى {39} وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى {40}

. “Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain yang telah diusahakannya. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian (kelak) akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (Q.S. An Najm 38-40)

THE ECONOMIC SYSTEM IN CONTEMPORARY ISLAMIC THOUGHT (SISTEM EKONOMI MENURUT PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER)

THE ECONOMIC SYSTEM IN
CONTEMPORARY ISLAMIC THOUGHT

(SISTEM EKONOMI MENURUT PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER)



Sejak akhir tahun 1940, khususnya pada pertengahan tahun 1960 banyak sekali selebaran berupa pamflet, artikel dan buku yang memperlihatkan kecenderungan meningkatnya bentuk kumpulan tulisan tentang sesuatu yang sekarang dikenal dengan istilah Ekonomi Islam. Literatur tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli yang menyebut dirinya dengan Ahli Ekonomi Islam, dimaksudkan sebagai format cetak biru sistem ekonomi yang sesuai dengan sumber-sumber Islam yang asli. Adapun dasar gagasan utama dari sistem tersebut adalah bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktrifitas ekonominya senantiasa disesuaikan dengan tatanan norma perilaku yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan dua dasar gagasan utama lain yang ditawarkan adalah zakat -sejenis pajak yang dianggap sebagai dasar kebijakan fiskal dalam Islam-, dan larangan bunga (riba) yang dianggap sebagai centerpiece (titik sentral) kebijakan moneter dalam Islam. Dan sebagian besar ahli ekonomi islam banyak mencurahkan pemikirannya ke dalam tiga hal tersebut –yaitu norma perilaku, zakat dan larangan bunga- sebagai sokoguru (pilar) sitem ekonomi islam.
Ada beberapa orang pengamat telah menyatakan keberatannya bahwa klaim dan rancangan para ahli ekonomi islam hanya berbasis pada wahyu Tuhan yang tidak terbantahkan, dan yang demikian telah dibantah oleh Timur Kuran dengan menyatakan bahwa para ahli ekonomi Islam sebagaimana halnya dengan para ilmuwan sosial sekuler, senantiasa membangun pemikiran-pemikiran yang ditunjang atas dasar logika, teori keilmuan dan bukti-bukti empiris. Maka tidak benar, jika semua konsep pemikiran ekonomi islam yang telah dirancang oleh para ilmuwan muslim hanya semata-mata didasarkan pada wahyu Tuhan tanpa ditopang dengan logika, teori keilmuan ataupun bukti-bukti empiris.



NORMA-NORMA TINGKAH LAKU

Dalam kerangka pikir sistem ekonomi islam, setiap individu senantiasa diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma tingkah laku yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Pendidikan islam telah menjamin standar istimewa perilaku setiap orang dengan beberapa norma aturan yang cenderung dipaksakan, utamanya adalah yang didasarkan pada suara hati (kesadaran) setiap individu yang sesungguhnya. Aturan prinsip dari norma-norma tersebut adalah membentuk setiap individu sebagai anggota masyarakat muslim menjadi homo islamicus (manusia yang islami), yaitu memiliki tanggungjawab sosial dan berjiwa altruistik (senantiasa mengutamakan orang lain). Sikap dzolim dan sikap tamaknya homo economicus (manusia ekonomi) para ahli ekonomi neoklasik tidak serupa dengan sikap kedermawanan homo islamicus dalam melindungi dan memelihara keinginan seseorang dari godaan dan bujukan orang lain. Oleh karenanya, Afzal-ur-Rahman, pengarang buku “A Trilogy on The Islamic System” menyatakan bahwa norma-norma atau aturan-aturan Islam telah memberikan solusi praktis dalam menghadapi problematika ekonomi modern.
Norma-norma Islam di bidang ekonomi dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu norma produksi, termasuk di dalamnya aktifitas perniagaan dan norma konsumsi. Adapun mengenai kategori pertama, sistem Islam telah menjelaskan bahwa seorang muslim bebas berproduksi dan berniaga untuk mendapatkan keuntungan pribadi, namun kebebasan yang diberikan bukan tanpa batas melainkan harus senantiasa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Di samping itu, yang bersangkutan juga dituntut sedini mungkin untuk tidak berlaku sewenang-wenang dalam usahanya. Artinya harus senantiasa memperhatikan upah yang adil bagi pekerja, harga yang rasional dan keuntungan yang normal, dan artinya juga yang bersangkutan dilarang melakukan tindakan spekulasi dan monopoli atau melakukan transaksi-transaksi lain seperti kontrak asuransi atau transaksi lain yang tidak jelas yang mengandung unsur perjudian, ketidakpastian dan eksploitasi.
Sedang dalam hal aturan aktifitas konsumsi, setiap individu muslim dibatasi oleh tiga hal, yaitu pertama, setiap individu muslim tidak boleh melakukan aktifitas pemanfaatan sumberdaya terlarang (baca : berbuat maksiat) seperti perzinaan atau komoditas lain seperti anggur yang mana kesemuanya dianggap terlarang oleh agama; kedua, setiap individu muslim harus bersikap hemat dan tidak berlebih-lebihan, karena salah satu dampak yang ditimbulkan dari perilaku hemat dalam mengkonsumsi adalah eliminasi problematika kelangkaan yang langsung dapat menurunkan agregat permintaan dan di sisi lain dapat mencegah terjadinya inflasi; ketiga, setiap individu muslim harus dapat bersikap dermawan terhadap sesama anggota masyarakat muslim lainnya yang kurang beruntung (baca : kaum dhu’afa). Dalam hal ini, seorang ahli ekonomi islam telah memberikan catatan khusus, bahwa idealnya dari sikap tersebut bukan hanya terletak pada pemberian dari mereka yang memililki kelebihan…penghasilan daripada pengeluarannya melainkan juga semangat untuk sama-sama berkorban dan saling berbagi atas apa yang dimiliki jika ada yang lebih membutuhkan.
Singkatnya adalah bahwa prinsip mendasar keseluruhan bentuk norma adalah menghidupkan sikap altruisme, karena segala problema sosial akan dapat dipecahkan manakala setiap individu dapat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadinya.

ZAKAT
Aspek mendasar dari adanya pemberlakuan kewajiban zakat sebagaimana dinyatakan oleh para ahli ekonomi islam adalah bahwa zakat diambilkan dari sebagian harta kekayaan dan sumber penghasilan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Dalam prakteknya, penerapan zakat ini dibarengi pula dengan pemberlakuan berbagai macam pajak seperti ushr, dan lainnya yang dikumpulkan dengan menggunakan beberapa istilah.
Adapun harta kekayaan yang dikenai kewajiban zakat adalah terdiri dari barang logam berharga dan ternak dengan nisab (ketentuan minimum) yang berbeda. Sedangkan orang-orang yang berhak memperoleh zakat ada beberapa kategori, yaitu kaum fakir, miskin, pengangguran, anak yatim piatu, budak, musafir, orang yang terlilit hutang, muallaf dan amil.
Fungsi zakat sangat dominan dalam mempengaruhi penghasilan masyarakat dan menjadi pusat layanan jaminan sosial. Lain daripada itu, zakat juga dapat merangsang permintaan selama para ashnaf (yang menerima zakat) relatif dapat membatasi kecenderungan hatinya dalam mengkonsumsi. Dalam hal ini pula, zakat dapat dijadikan sebagai pajak alternatif, hanya saja para ahli ekonomi islam memandang bahwa yang demikian kurang tepat karena zakat dominan dengan aspek fitrah agama. Dan dalam hal ini Afza-ur Rahman berpendapat bahwa pada kenyataannya zakat dibayarkan adalah untuk mencari ridho Allah semata sehingga mereka dapat memanfaatkan hartanya dan meningkatkan daya produktifitasnya dalam berusaha dengan sebaik-baiknya sehingga jika mereka dapat memiliki harta kekayaan yang mencukupi maka mereka tidak akan lalai membayar zakat sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan.

LARANGAN BUNGA (RIBA)
Sebagaimana kita ketahui, sepanjang sejarah, permasalahan institusi bunga sebagai sumber potensial masih menjadi perdebatan di mana-mana, bahkan sampai detik ini juga. Dunia Barat dengan kecerdikannya telah memisahkan kedudukan moral dengan bidang ekonomi dan mempergunakan jasa bunga. Dan sekarang, penerapan konsep bunga telah meluas dan bersifat permanen, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi global, meskipun banyak hal-hal controversial yang ditimbulkan dalam mengatasi factor yang menentukan di bidang perekonomian sehingga dapat menjaga optimalisasi nilai harga.
Dalam hal ini, sekolah-sekolah ekonomi islam lebih banyak memiliki pandangan bahwa konsep bunga adalah bukan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan bukan tidak dapat dimusnahkan, dan al-Qur’an secara tegas melarang bunga. Ada beberapa masalah yang timbul berkaitan dengan hal bunga, antara lain adalah adanya perolehan uang atau modal tanpa adanya usaha, proses pemindahan harta kekayaan dari si miskin kepada si kaya melalui penambahan yang tidak berimbang dalam distribusi kekayaan dan bunga telah merubah perilaku seseorang menjadi cenderung mencintai uang secara berlebihan serta gemar menimbun harta sehingga menjadi orang yang egois, keras hati, kikir dan berpikiran sempit.
Lain daripada itu, bentuk keburukan lain yang ditimbulkan oleh konsep bunga adalah terampasnya akses masyarakat dalam bekerja, maraknya usaha-usaha kaum lintah darat (rentenir) dan menyebabkan dunia perbankan melakukan tindakan-tindakan yang tidak produktif dalam penggunaan modal.

BEBERAPA KRITIK DAN SARAN DARI TIMUR KURAN
Dari beberapa tulisan Timur Kuran tentang tiga pilar utama dalam sistem ekonomi Islam, yaitu norma-norma perilaku, zakat dan larangan bunga (riba) ada beberap kritik dan saran yang patut kami sampaikan, antara lain adalah sebagai berikut :

A. Norma-norma Perilaku :
1. Implikasi norma-norma dalam sistem islam cenderung mendua dalam beberapa sumber tekstualnya yang sering dijadikan sandaran dalam tataran praksis, hal ini disebabkan adanya perbedaan interpretasi terhadap norma-norma yang relevan dalam suatu kondisi dan ketidakjelasan norma yang baku telah mempengaruhi sikap dan persepsi mereka ketika terjadi perubahan sewaktu-waktu. Oleh karenanya harus ada rancang bangun prinsip-prinsip keadilan yang sama dan efisien berikut aplikasinya;
2. Penerapan norma-norma islam dalam masyarakat modern harus senantiasa memperhatikan hubungan timbal balik antara ukuran besar-kecilnya komunitas dan efektifitas norma altruisme. Untuk itulah diperlukan adanya rintisan pembentukan jaringan tim kerja yang solid dalam membangun tatanan dan jalinan antara daerah-daerah kediaman masyarakat yang tersebar luas dengan memulai dari masing-masing individunya;
3. Meningkatkan peran negara dalam penerapan dan sosialiasasi norma-norma sistem ekonomi islam, khususnya dalam melegitimasi kegiatan-kegiatan bisnis yang sesuai dengan syari’at atau yang bertentangan dengan syari’at.

B. Kewajiban Zakat :
1. Distribusi zakat bukan dari orang miskin kepada orang kaya;
2. Cakupan zakat sangat terbatas, hanya sesuai pada zaman Rasulullah saw. Padahal kehidupan perekonomian senantiasa tumbuh dan berkembang, maka penerapan kewajiban zakat harus dapat mencapai seluruh sumber penghasilan yang riil di kalangan masyarakat dan tidak terbatas pada apa yang telah ditentukan oleh kitab-kitab fikih terdahulu, artinya ada ijtihad tentang harta yang dikenai kewajiban zakat selain dari yang sudah ada;
3. Nisab zakat sebaiknya dengan prosentase uang, studi kasus di negara Malaysia dan Arab Saudi.

C. Larangan Bunga :
1. Larangan bunga dapat diterapkan secara efektif di kalangan komunitas yang besar dan heterogen;
2. Penerapan pola hitung bagi hasil melalui prinsip mudharabah sebagai alternatif bank yang meniadakan bunga;
3. Setiap ahli ekonomi islam harus mampu menjabarkan secara kontekstual isi kandungan al-Qur’an sebagai kitab prinsip-prinsip moral dalam Islam;
4. Harus ada keseriusan dari kalangan ahli ekonomi islam dalam menggali cetak biru nilai-nilai ekonomi islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah kemudian direalisasikan secara komprehensif dalam kerangka ekonomi.

Pilkada Jambi dan harapan masyarakat miskin kota Jambi

Pilkada 2005 dan harapan kaum miskin di perkotaan Jambi.
oleh :Sucipto, MA

Pilkada  walikota jambi akan telah dimulai, bagaimanapun kaum-kaum politisi mulai melakukan gerilya politik bervarian, mulai dari medesak untuk bersumpah bagi siapa yang terlibat dalam team sampai ke para voter-voter yang akan  meilih nantinya.. tetapi tulisan ini akan melihat the other side of interest dari masyarakat jambi yang masih perlu untuk di kembangan.

Tulisan pheni khalid tentang polisi cepek (2001) yang menginsipirasi tulisan ini, Sopir angkot adalah sebuah pekerjaan di sector informal, pekerjaan ini yang dalam kesehariannya lebih ditujukan pada pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Hampir dapat dipastikan bahwa pembicaraan tentang sopir angkot sering dikaitkan dengan kemiskinan. Dengan kata lain, potensi ekonomi mereka lemah dan kurang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kondisi dan lingkungan hidup. Ada kecendrungan mereka pasrah serta apatis menghadapi masa depan dan menyerah pada nasib (lewis, 1969). Oleh karena itu, dalam perencanaan penataan ruang perkotaan keberadaan mereka cenderung diabaikan, sehingga kepentingan mereka sering dikorbankan untuk kepentingan masyarakat kota yang lain.
Kaum miskin di kota bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan motivasi untuk memperbaiki nasib. Upaya yang mereka lakukan adalah menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan berusaha memperbaiki nasib dengan berupaya beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain (Sethuraman, 1981: 198; breman, 1985: 1740). Golongan miskin, meskipun sebagian besar mencari nafkah di sector informal, penghasilan keluarga mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok bawah pekerja sektor formal. Atas dasar pandangan ini maka potensi ekonomi mereka perlu dipertimbangkan dalam proses pembangunan perkotaan.
Struktur Pekerjaan.
Pekerjaan merupakan variabel paling sulit diterangkan dan dikelompokkan karena begitu beranekaragam, terutama bagi masyarakat miskin yang urban di perkotaan.
Ada dua hal yang perlu dijelaskan dalam tulisan ini dengan mengklasifikasi pekerjaan. Pertama, klasifikasi ISCO tidak membedakan antara pegawai negeri dan pegawai swasta untuk jenis pekerjaan yang sama. Kedua, status pekerjaan diperhatikan secara khusus dalam analisis. Dalam hal ini dibedakan antara mereka yang bekerja untuk pemerintah atau perusahaan.
Sopir taksi dan sopir angkot (yang bekerja untuk seorang majikan dengan system pembayaran berdasarkan setoran) dan sopir mobil, bis atau truk yang bekerja untuk perusahaan dengan gaji yang dibayar menurut setiap perjalanan atau secara tetap setiap minggu atau bulan. Kedua kelompok sopir ini diduga mempunyai tingkat dan stabilitas penghasilan serta jam kerja yang berbeda. Sopir angkot agak cocok dikelompokkan sebagai sector informal daripada formal. Dapat ditambahkan bahwa karena pentingnya tukang ojek di kota-kota, kelompok ini diberikan kode khusus sebagai pekerja angkutan.
Masalah social-ekonomi sopir
Sebuah tradisi yang selalu dirasakan dalam dunia sopir, dimana komunitas sopir ini lebih suka berkumpul dalam lingkup etnis masing-masing, sifat kedesaannya yang dibangun membuat mereka sering tertutup dengan masyarakat lain, pergaulan atas dasar kepentingan ekonomi semata bila mereka bergaul dengan kelompok yang lain.
Kaum miskin di perkotaan biasanya timbul, tumbuh dan berkembang disebabkan secara politik terpinggirkan, seringkali mereka dianggap sebagai sebuah penyangga dalam system kekuasaan, bangunan sistem jauh sekali dari nilai nilai kemanusian namun terkadang apakah dapat dianggap adil jika kita telah memberi 0,00..% kekuasaan dan kekayaan kita, jauh lebih kecil nilainya dari apa yang pernah kita dapatkan dari mereka, dan pendapatan itupun terkadang kita lupa.
Dampak industrialisasi di pedesaan beberapa decade ini membantu akselarisasi urbanisasi, akan juga berpengaruh pada pembentukan struktur ruang kerja informal tidak sah dengan peningkatan ruang kerja tersebut telah melampaui batas dan mengkhawatirkan.
Peningkatan untuk beberapa tahun terakhir ini, mengakibatkan pada permintaan bursa kerjanya, yang dalam hal ini telah menciptakan kesulitan yang mendalam bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan sector ini. Kesulitan ini berkaitan masalah penangganan dengan pendekatan memberikan peluang kerja, PKT, JPS dan maupun dari instansi-instansi social lainnya ternyata belum mampu menciptakan bursa kerja informal baru yang sah.
Apalagi berkenaan dengan upaya pengembangan dan penguatan masyarakat, lemahnya pilihan taktis dan strategis dalam upaya pemecahan problem kaum miskin di perkotaan, sehingga yang terjadi justru penegakan kepentingan elit dan lebih mengejar target sisal-ekonomi-politik saja dan pemecahan masalahpun terkesan setengah hati.
Kaum-kaum miskin di perkotaan, dengan beberapa masalah, cita-cita atau impian mereka, di antara masalah dan impian itu adalah ;
1. Kelembagaan di tingkat mereka yang masih lemah dengan kemampuan personal yang belum mengerti arah, tujuan, harapan dan cita-cita hidup dan sulit mengangkat martabat dan status social mereka.
2. Kaum miskin kota belum mampu mandiri untuk mengangkat status social-ekonomi mereka sehingga cenderung ketergantungan pada pihak-pihak pemilik modal, sedangkan para pemilik modal memiliki kecenderungan mendiskriminasi, melecehkan, memaksa yang jauh dari nilai-nilai kemitraan dan kemanusian dimana yang seharusnya antara pemilik modal dan pihak pekerja adalah mitra.
3. Kebutuhan akan Penguatan komunitas secara lembaga dan personal bertujuan agar di masa yang akan datang masalah-masalah diskriminasi kebijakan yang terjadi di komunitas ini akan berubah dan masyarakat miskin di perkotaan bisa berdaya dan mandiri.
Masyarakat miskin diperkotaan itu unik dengan berbagai problematika sosialnya, perlu untuk dikupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka, mengembangkan system nilai solidaritas sosial sebagai agenda terpenting para candidat yang terpilih nantinya pasca pilkada.
Pasca Pilkada ini diharapkan dapat memberi nuansa baru dalam gerakan pemberdayaan masyarakat akar rumput, lihat saja salah satu yang kita anggap masyarakat akar rumput yaitu komunitas sopir angkot.

kentang asli berkualitas dan terbaik se asia

Kentang Atlantik Potensial Daerah
Kabupaten Kerinci sebagai daerah agraris yang subur, perlu dilakukan upaya peningkatan basis ekonomi melalui pengembangan sektor pertanian. Demikian dengan komoditi kentang atlantik yang dapat tumbuh baik didaerah ini.
Bahkan Pemkab Kerinci bertekad melakukan pengembangan kentang atlantik diberbagai areal pertanian yang dianggap berpotensi, seperti Kayu Aro, Renah Pemetik dan berbagai daerah lainnya.
Pengembangan dilakukan dengan memberikan kemudahan dalam fasilitas bibit kepada masyarakat. Dengan adanya keseriusan masyarakat petani dan bantuan bibit kentang atlantis dari pemerintah, kebutuhan kentang bagi daerah dan luar daerah akan terpenuhi, jelas Wabup Kerinci H. Hasani Hamid kepada Singgalang Selasa 1/6.
Menurutnya, baru ini dibeberapa dikawasan pertanian telah dilaksanakan peninjauan oleh pemkab dan sesuai dengan kebutuhan dilakukanlah penyerahan bibit kentang atlantis.
Jika adanya kerjasama antara masyarakat petani dan pemerintah, maka program yang telah dicanangkan untuk masa depan Kerinci dapat terwujud. Justru itu diperlukan informasi yang jelas dari masyarakat tentang berbagai kendala dan hambatan, serta perkembangan dilapangan.
Bila pengembangan kentang atlantis dapat berhasil, maka secara spontanitas akan berimbas positif bagi sektor lainnya. Hal ini cukup memberikan arti dalam mengimbangi pembangunan yang sedang digalakkan oleh pemerintah.

amal sholeh dengan ekonomi Islam

capital struktur

Capital Structure and Risk in Islamic Financial Services*

Wafik Grais and Anoma Kulathunga

























*The findings, interpretations, and conclusions expressed in this chapter are entirely those of the authors. They do not necessarily represent the view of the World Bank, its Executive Directors, or the countries they represent.




1. Introduction: Information, Risks, and Capital

Financial intermediation is a critical factor for growth and social inclusion. One of its core functions is to mobilize financial resources from surplus agents and channel them to those with deficits. It thus allows investor entrepreneurs to expand economic activity and employment opportunities. It also enables household consumers, micro- and small entrepreneurs to expand their own welfare and earnings opportunities, and seek to smooth their lifetime outlays. In all cases, financial intermediation drives economic growth and contributes to social inclusion, provided it is conducted in a sound and efficient way.
A financial intermediary’s ability to process information on risks and returns of investment opportunities will have a bearing on the soundness and efficiency of its resource mobilization and reallocation function. Conventional financial services (CFSs) process information through institutions or markets, and have generally evolved from the former to the latter. In both cases, markets and agents provide alternative ways of processing information on risks and returns of investment opportunities. In the first form, the intermediary raises capital to set up business to collect generally liquid deposits from surplus agents and reallocates these resources, now in his trust, to ones with deficits in generally less liquid assets. In the second form, surplus agents buy directly financial assets that represent a debt of a deficit agent or an ownership share in its business. In either approach, both categories of agents engage in transactions on the basis of trust and of expectations about the degree of liquidity that would provide the option to re-contract at a reasonable cost. In the case of banks, the trust can be seen as based on proprietary information. In the case of markets, the information is more commoditized and widely available.
Efficiently processed information can support the efficient allocation of capital. It can help a financial intermediary to better define the capital it would need to achieve the returns sought, while maintaining its ability to face the financial consequences of unexpected events that may endanger its stability. Banks engage in gathering and processing information on clients and markets, which allows them to manage different risks by unbundling them and reallocating the components. By performing these services soundly and efficiently, banks can manage to calibrate their capital requirements and receive diversified income streams. Thus a bank’s investors and customers can gain comfort as to its reliability in allowing them to access liquidity and maintain stability. In parallel with banks, financial markets can also convey the same sense of access to liquidity and stability based on disclosed and broadly available information on market participants. Markets can provide deficit and surplus agents a direct role in processing information to facilitate the unbundling and reallocation of risks and the efficient use of capital. Thus, banks and markets compete and complement each other in financial intermediation. The competition puts pressure on individual agents to use capital at their disposal efficiently, and results in a system-wide improved allocation of capital resources.
Institutions offering Islamic financial services (IIFSs) also process information on risks and returns of investment opportunities while complying with Shari’ah principles. Thus, in principle, they can be expected to increase competition in financial information processing by inducing better risk management and capital use. Such competition can be expected over time to lead to an efficient use of capital at the level of each financial agent, whether they practice conventional or Islamic finance, and in aggregate, system-wide across all modes of financial intermediation. Efficient use of capital is thus a challenge which competition imposes on all financial intermediaries, whether offering Islamic financial services or conventional financial services. At the same time, Islamic financial intermediation needs to comply with Shari’ah principles, notably those of risk sharing and materiality of financial transactions. Shari’ah compliance, social responsibility, and the discipline of competition compound IIFSs’ challenge to process information efficiently in order to manage the risks they may face and use their capital endowments. Thus, by their very nature and the environment in which they generally operate, IIFSs need to be well equipped with the information and skills that can allow them to identify their capital resources and use them efficiently.
This chapter argues for the need for Islamic financial services to strengthen risk management practices in the process of defining their own capital requirements in accordance with their loss tolerance. It suggests that IIFSs could invest in the collection of loss information and adoption of loss data management systems. IIFSs would benefit from implementing risk management methodologies and adapting their staffing skills accordingly. The chapter starts in Section 2 by outlining views on the relationship between risk management and capital for financial intermediation. It then overviews risk categories as an initial step in risk management in Section 3. Section 4 discusses regulatory and economic capital, introducing risk occurrence frequency as a distribution probability. Section 5 concludes with suggestions on steps that may help with risk management and improve the competitiveness of IIFSs.

2. Bank Capital and Risk Management

Bank capital may be considered as consisting of (a) equity capital and (b) certain non-deposit liabilities or debt capital (see Section 4). It is both a means of funding earnings-generating assets and a stability cushion. From the perspective of efficiency and returns, capital is part of a bank’s funding that can be applied directly to the purchase of earning assets, as well as being used as a basis for leverage to raise other funds for expanding assets with the net benefit accruing to shareholders. From a perspective of stability, bank capital is a cushion for absorbing shocks of business losses and maintaining solvency, with benefits accruing to depositors and other stakeholders. Both financial intermediaries and regulators are sensitive to the dual role of capital, as a means of funding earnings-generating assets and as a cushion for dealing with unanticipated events. Financial intermediaries may tend to be more focused on the former role and regulators on the latter.
A bank’s capital structure decision relates to the ratio of capital to deposits and to the ratio of debt capital to equity capital. Its performance, in terms of return on equity capital, will be influenced by its ability to calibrate the level of capital it requires. Through efficient risk management, it can reach a sense of which capital structure can best help it to: (a) achieve profitability while maintaining stability; (b) reassure markets as to the quality of its business conduct; and (c) have a constructive dialogue with regulators.
Efficient use of capital will help IIFSs to achieve profitability and stability. Allocating capital resources to low-performing or excessively risky assets is bound to drag down performance, endanger stability, or both. Equally, leaving capital idle entails at best forgoing earnings opportunities. For instance, overly cautious approaches that lead financial intermediaries to maintain larger amounts of capital than warranted by their risk profile may not allow them either to obtain the full potential of their capital or to contribute effectively to the development of the communities they serve. At the other end of the spectrum, a financial intermediary overly eager to achieve returns may allocate resources to highly risky assets that offer high returns but endanger stability. Explicit risk management practices can help in the selection of assets to which capital and other resources are applied and calibrate the level of capital that best suits business objectives and stability tolerance.
The size and composition of the resources that capital enables financial intermediaries to raise are likely to affect their profitability and stability. In a frictionless world where full information is available and markets are complete, the value of a firm would be independent of its capital structure, and so the focus should be on capital level and not structure. Under such circumstances, the method by which a financial intermediary raises its required funds would be irrelevant. However, financial intermediaries do not operate in a frictionless world; they face imperfections such as costs of bankruptcy and financial distress, transaction costs, asymmetric information, or taxes. They also operate within the framework of a governing regulation possibly with a deposit insurance scheme that is expected to provide a safety net. In fact, one may contend that these market imperfections are the very reason for the successful existence of banks as financial intermediaries. Accordingly, not only a financial intermediary’s level of capital but also its structure is likely to bear on its market valuation, its business conduct, and its stability. Effective risk management strategies should contribute to a financial intermediary’s ability to assess not only the level of capital it would need in relation to assets and deposits, but also the extent to which its structure affects its value.
Market discipline contributes to responsible corporate behavior. Markets’ reactions to perceptions of a financial intermediary’s business conduct and capital strength may be unforgiving. It is thus in the interest of financial intermediaries to develop approaches to defining capital resource requirements that take into account the institutional environment in which they operate. The market’s perception of market imperfections is likely to influence views on the appropriate level of capital and the capital adequacy of financial intermediaries. For example, the availability of a safety net may lead market participants to be less demanding as to the need for capital in relation to bank assets. Conversely, anticipation of high costs of financial distress to depositors and other stakeholders may induce market participants to require the holding of more capital proportionally to assets. Similarly, wherever the institutional environment is weak and contract enforcement is uncertain and costly, markets may expect financial intermediaries to adapt the capital they hold.
The management of capital structure should in principle mitigate the risk of bank failures. When comparing a highly leveraged bank and a bank that is well capitalized, the leveraged bank will likely experience a greater loss of value during times of financial distress when the asset quality deteriorates, due to the increased risk of bankruptcy. To cope with downturns, in most countries banks hold a minimum amount of capital, based on the risk embedded in their asset holding. Accordingly, banks with relatively risky assets would hold a higher amount of capital than those banks with less risky assets. However, fearing the harshness of market discipline, many banks maintain a higher level of capital than the minimum required to allay the perception that they may be undercapitalized and avoid the losses this may induce, as witnessed in the 1980s. The key capital adequacy ratio provides an assessment of just how adequately the capital cushions such fluctuations in the bank’s earnings and supports higher assets growth.
Finally, efficient risk management should allow financial intermediaries to have a constructive dialogue with regulators. It would help them to articulate their views with respect to capital needs. The regulators’ rationale for regulating capital stems from the perception of the public-good nature of bank services, their potential macroeconomic growth and stability impact, and experience with costly bank failures. According to some estimates, such costs have varied between 3% and 55% of GDP. Thus, regulators’ concerns with possible systemic risk resulting from the contagion effects of bank runs lead them to seek to mitigate risks of financial distress with regulatory requirements on banks’ capital. Regulators’ concerns may be compounded by the presence of deposit insurance schemes. The moral hazard that may result from deposit insurance may lead to additional regulatory requirements such as linking the level of insurance premia to the risk embedded in assets and captured in associated risk weights. Indeed, deposit insurance may induce banks to lever up capital by expanding their own funding with liabilities, thus placing more risk on their capital and increasing their vulnerability. Efficient risk management practices would allow banks to improve their dialogue with the regulator and convey more convincingly their views on their soundness and capital requirements.
Regulators would generally also be concerned with the overall impact on the economy of the resources raised by the financial system under their purview. From an economy-wide perspective, banks may be viewed as firms’ competitors in raising capital on financial markets. The outcome of this competition has a bearing on economic performance and financial stability, and points to a cost–benefit tradeoff in holding capital. For instance, Gersbach (2002) suggests that a benefit of bank capital is the equity acting as a buffer against future losses, thereby reducing excessive risk taking of the banks. At the same time, raising bank capital may lead to a crowding out of industrial firms, limiting their access to equity and other market funding and also impacting their access to funding from banks and its cost. Furthermore, raising equity on markets may increase the cost of banks’ resources, inducing them to seek to invest in higher-yielding but more risky assets and thereby increasing their risk exposure. Thus, while potentially providing a cushion against unforeseen events, a higher level of equity may actually induce more risk taking, notably through raising the cost of funds to banks and their clients. Efficient risk management can provide inputs to both banks and regulators to better calibrate capital needs and deal with the foregoing type of tradeoff.
The level of a financial intermediary’s capital may also have a bearing on its ability to provide liquidity. The financial intermediary provides liquidity by funding assets that may be less liquid than the deposit resources it collects. There is a view that requirements for higher levels of capital may have a negative impact on liquidity creation. On the liability side, a higher capital requirement may lead to a corresponding reduction in the level of deposits, thus constraining the ability to provide liquidity. Also, higher capital requirements may induce financial intermediaries to be more restrained in extending financing, thus constraining their ability to provide liquidity. However, according to another view, higher capital would allow the financial intermediary to create more liquidity since its risk-absorptive capacity would be improved. In this regard, an empirical study concluded that for larger banks capital has a statistically significant positive net effect on liquidity creation, while for small banks this effect is negative. Accordingly, each financial intermediary would need to evaluate carefully the level and composition of the capital it needs, since the latter plays a significant role in its ability to function as a liquidity provider. Equally, regulators would need to pay attention to the impact which capital requirement would have on the funding of the economy.
IIFS’s risk management arrangements will bear on their ability to calibrate capital to their business objectives and risk tolerance, to deal with market discipline, and to maintain a dialogue with regulators. The IIFS’s characteristic of mobilizing funds in the form of risk-sharing investment accounts in place of conventional deposits, together with the materiality of financing transactions, may alter the overall risk of the balance sheet and, consequently, the assessment of their capital requirements. Indeed, risk-sharing “deposits” would in principle reduce the need for a safety cushion to weather adverse investment outcomes. Similarly, the materiality of investments is likely to modify the extent of their risk and have a bearing on the assessment for the overall need for capital; asset-based modes of finance may be less risky and profit-sharing modes more risky, than conventional interest-bearing modes. Nevertheless, IIFSs would operate within a regulatory framework that is likely to impose on them capital requirements with a view to promoting stability and limiting contagion risks. However, besides regulatory and market demands for IIFSs to hold capital, IIFSs need to put in place risk management assessments for their own purposes of returns and stability in accordance with the requirements of Shari’ah, their own mission statements, and the protection of their stakeholders.

3. Risk Identification and Risk Management

Efficient risk management capability is necessary to enable IIFSs to strategically position themselves in the global market by using their capital efficiently. Weak risk management systems may deprive IIFSs of the ability to hedge risks, and undermine their potential contribution to the communities they aim to serve. Adequate resources need to be devoted to risk identification and measurement, as well as to the development of risk management techniques. In this respect, there is a pressing need to combine solid understanding of Shari’ah law with a good knowledge of modern risk management techniques so as to be able to develop innovative risk mitigation and hedging instruments.
An initial step is a clear identification of risks that may arise in the conduct of Islamic financial intermediation. In carrying out their function, banks manage portfolios of assets and liabilities as well as their capital. Accordingly, each asset, each portfolio, and the intermediary as a whole are subject to risks. Exhibit 4.1 outlines the main risks intermediaries face under four broad categories. Each risk category captures the occurrence of some event that would affect the performance of an asset, a portfolio, or the whole balance sheet.


Exhibit 4.1 Outline of the risks facing financial intermediaries
Type of risk Rationale
Financial risk
Credit risk
The risk of counterparty failure to meet their obligations in a timely manner.
Interest rate risk (a) Risk of a reduction in the value of a fixed-interest asset (e.g. bond) due to a rise in interest rates (part of market risk, unless the asset is in the “banking book” – see (b)). (b) Risk of an interest rate mismatch between fixed-rate assets and floating-rate liabilities, or vice-versa, resulting in a profit and cash flow “squeeze.”
Market risk Risk common to entire class of assets or liabilities due to economic changes or external events (systemic risk, e.g. changes in stock market sentiment, interest rates, currency or commodity markets).
Liquidity risk Risk that arises from the difficulty of trading an asset (asset liquidity risk) and difficulty in obtaining funding at a reasonable cost (financing liquidity risk).
Settlement risk Risk that a counterparty does not deliver security or its value in cash as per agreement when the security is traded after other counterparty (ies) have delivered security or cash as per agreement.
Prepayment risk The risk of loans (especially mortgage loans) being prepaid before maturity due to a drop in interest rates.
Operational risk Risks associated with the potential for systems failure in a given market; usually resulting from inadequate internal processes and strategies, people, and systems, or from external events.
Business risk
Legal and regulatory risk Due to changes in the law and regulations that adversely affect a bank’s position.
Volatility risk Fluctuations in the exchange rate of currencies.
Equity risk Depreciation of investments due to stock market dynamics, etc.
Country risk Potential volatility of foreign assets due to political or financial events in a particular country.
Event risk
Unpredictable risks due to unforeseen events such as banking crises, contagion effects, and such other exogenous factors.

In extending financing and raising resources, IIFSs face risks similar to those encountered by their conventional counterparts, but with variations due to specific requirements to comply with Shari’ah. The requirement of materiality of the financing transaction and the prohibition of interest shape the nature of the instruments IIFSs can use and their embedded risk. The foregoing features also put constraints on IIFSs’ ability to manage liquidity, as they may not have recourse to repo facilities and interest-bearing instruments characteristic of money markets. In addition, the prohibition of gharar constrains the use of hedging instruments useful for asset–liability management. Furthermore, there may be operational risks in failing to ensure Shari’ah compliance. Exhibit 4.2 outlines the specific risks facing IIFSs.

Exhibit 4.2 Risks specific to Islamic financial services
Type of risk Rationale
Commodities and inventory risk Arising from holding items in inventory either for resale under a Murabaha contract, or with a view to leasing under an Ijara contract.
Rate of return risk Similar to interest rate risk in the banking book. However, IIFSs are not exposed to interest rate risk as such, but to a “squeeze” resulting from holding fixed-return assets such as Murabaha that are financed by investment accounts, the holders of which (investment account holders) expect a rate of return risk in line with benchmark rates. An increase in benchmark rates may result in investment account holders having expectations of a higher rate of return (see also mark-up risk).
Legal and Shari’ah compliance risk Risks associated with the potential for systems failure in a given market; usually resulting from inadequate internal processes and strategies, people, and systems, or from external events. This includes legal and Shari’ah compliance risk.
Equity position risk in the banking book Arises from the equity exposures in Mudaraba and Musharakah financing contracts.
Mark-up risk
(benchmark risk) Since IIFSs do not use interest, they use market rates as benchmarks in pricing their products. Hence, there is a risk associated with the changes to the benchmark rate (see rate of return risk).

Credit risk for IIFSs arises in connection with accounts receivable in Murabaha contracts, counterparty risk in Salam contracts, accounts receivable and counterparty risk in Istisna’a contracts, and lease payments receivable in Ijara contracts. On average across IIFS balance sheets, Murabaha appears to be the dominant mode of financing (41%), followed by Musharakah (11%), Mudarabah (12%), and Ijarah (10%). Thus the bulk of the financing may still essentially be trade financing, with more limited engagement in profit-sharing assets and leasing. Accordingly, it may still be the case that credit risk is the dominant risk IIFSs need to contend with.
A major cause of serious financial intermediaries’ potential distress continues to be lax credit standards for borrowers and counterparties, poor portfolio risk management, or a lack of attention to changes in economic or other external circumstances that can adversely impact the credit standing of a bank’s counterparties. It is notably the predominance of this credit risk that underlines the Basel II Accord’s recommendations of the three approaches to credit risk assessment for capital adequacy purposes: the Standardized Approach, the Foundation Internal Rating-Based (IRB) Approach, and the Advanced IRB Approach. In various degrees, these approaches provide banks with the opportunity to have their own credit risk assessment methodology contribute to the identification of capital needs. The better equipped a financial intermediary is in risk management, the more opportunity it would have to calibrate its capital needs and use its resources most efficiently, thus strengthening its competitive position. Accordingly, the quality of IIFSs’ risk management plays a critical role in determining their competitiveness.
In contrast to the foregoing, there may be a perception within IIFSs that the most critical risk they face may be the mark-up risk or rate of return risk. In order of importance, it would be followed by operational risk and liquidity risk. While credit risk is the predominant risk most financial intermediaries (whether CFS or IFS) deal with, surveyed IIFSs do not perceive it as being as severe as most other risks they identify. IIFSs appear to consider market risk as the least serious (see Exhibit 4.3).

Exhibit 4.3 Risk perception: Overall risks faced by Islamic financial institutions


Number of relevant responses Average rank*
Mark-up or rate of return risk 15 3.07
Operational risk 13 2.92
Liquidity risk 16 2.81
Credit risk 14 2.71
Market risk 10 2.50
* The rank has a scale of 1 to 5, with 1 indicating “Not Serious” and 5 denoting “Critically Serious.”
Source: Adapted from Khan and Ahmed (2001).




A clear identification of the event and its translation into a measurable variable would be a prerequisite to render the notion of risk operationally relevant, in the sense of guiding actual business conduct. For example, an Ijarah contract on a movable asset may not be serviced according to the signed agreement. Assuming, for simplicity, that the contract may be only either serviced or not (that is, there is either no default in payment by the lessee, or there is default), then the risk variable becomes the occurrence of the event of default. It is an observable variable that may take a value of one if there is default and zero otherwise. Over time, observations on the risk profile of various instruments extended to various categories of IIFS clients can be developed. These statistical observations can be used to strengthen risk management and guide the extension of financing. Thus for each identified risk, there is a necessary step to translate it into an observable variable and set up a system to collect and maintain the relevant information, as well as to develop methodologies to process the information to guide decision making. Admittedly, not all possible risks may be anticipated and translated into an observable variable capturing the occurrence of an event. Furthermore, events may not be mutually independent, pointing also to the need to focus on their possible correlation, its observation and measurement. Experience with risk identification and management practices can only be helpful.


4. Regulatory and Economic Capital

Progress in risk management and evolving regulators’ and market participants’ views are prompting changes in the determination of capital requirements. Regulators may have been initially concerned mainly with depositors’ protection, stability and contagion issues, while financial intermediaries’ focus would have been essentially on business profitability and expansion. Accordingly, in initial approaches, regulators set a general rule, applying to all without much differentiation, requiring financial intermediaries to hold a minimum amount of capital. Regulators’ caution had led to what could be qualified as a relatively blunt capital adequacy rule. Flaws in the rule and a convergence of concerns between regulators and financial intermediaries led to other approaches better adapted to specific conditions of markets and intermediaries. Over time, regulators’ awareness of their role in market development expanded at the same time as financial intermediaries’ sense of corporate responsibility in promoting market stability. Progress in risk management approaches facilitated the evolution. Accordingly, regulation is evolving from rule-based, relatively blunt capital requirements to risk-based assessments of capital needs, or economic capital.

4.1 Regulatory Capital

From one perspective, capital is viewed as the funding source to be used to protect the parties who have claims on banking assets, such as depositors, against unexpected losses. In order to ensure that banks are sufficiently funded for that purpose, or adequately capitalized, regulators have come up with regulatory minimum capital requirements under Basel Capital Accords. The focus of the initial 1988 accord was on a cushion for credit risk. This was amended in 1996 to include capital requirements to cover market risks. However, during the late 1990s with the growth of securitization and credit derivatives some financial intermediaries resorted to regulatory arbitrage using regulatory inconsistencies to increase profitability (the return on capital) at the expense of capital adequacy. Another development was the resort to the rolling over of short-term loans whose risk weight was nil or negligible, thus increasing financial corporate fragility. Concerns about the evolving nature of risks and these developments prompted a review of the Basel I framework and motivated the development of the Basel II Accord. A major thrust was an emphasis on taking better account of the risk profile of the intermediary and its ability to manage risks in reaching a sense of its capital requirement. In addition, in the course of developing the Basel II framework, attention was given to operational risk and a related requirement for a capital cushion.
The capital adequacy pillar of the Basel II framework (Pillar I) proposes three alternative approaches (as mentioned above) to assessing the capital requirement to associate with credit risk. Risk weights to be used in respect of credit risk are obtained based on one of three models that rely more or less on the financial intermediary’s own internal risk rating. In the simple model, or standardized approach, the risk weighting system relies on external agency ratings of the borrowers. In a more elaborate model, the financial intermediary uses its own risk management model to obtain internal ratings. Whether externally or internally derived, the risk weights are used to obtain a value of the assets that incorporates credit, market, and operational risk. The banking institution would be expected to maintain a minimum capital to risk-weighted assets ratio of 8% at all times. Hence, regulatory capital requirement is linked directly to an assessment of the degree of risk of the assets a bank holds. Thus, to improve its capital adequacy ratio, a bank would have the option either to increase its capital or to reduce the risky assets it holds, or a combination of both. A contribution of the new Basel Accord is to insert alternative ways of assessing the risks associated with the assets held, with a larger role given to a bank’s own risk assessment if the regulator is satisfied with its ability to make such assessments. Salient features of the Basel II Accord are highlighted in Exhibit 4.4.








Exhibit 4.4 Salient features of the Basel II Accord







Capital requirement standards have been developed for IIFSs adapting conventional Basel approaches. A first guidance was given by the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) recommending not including the risk-sharing account deposits in capital. Recently, the Islamic Financial Services Board (IFSB) issued a capital adequacy standard based on the Basel II standardized approach with a similar approach to risk weights. However, the minimum capital adequacy requirements for both credit and market risks are set out for each of the Shari’ah-compliant financing and investment instruments. The IFSB standard (IFSB, 2005b) calls for supervisory discretion in determining a share “α” of risk-weighted assets funded by risk-sharing investment deposits that can be deducted from the total risk-weighted assets for the purpose of assessing capital adequacy. This share “α” represents the extent of total risk assumed by the investment account holders, with the remainder absorbed by the shareholders on account of displaced commercial risk. Like for CFSs, the minimum capital adequacy requirement for IIFSs in the IFSB standard is also not lower than 8% for total capital.

4.2 Definitions of Capital

Defining what constitutes capital has been a long-debated issue. However, there is wide acceptance of the capital structure that has been stipulated by the Basel committee, where capital is segregated into three categories, as set out in Exhibit 4.5.

Exhibit 4.5 Classification of capital in Basel accords
Classification Contents
Tier 1 (core capital)
Ordinary paid-up share capital/common stock, disclosed reserves from post-tax retained earnings, non-cumulative perpetual preferred stock (goodwill to be deducted).
Tier 2 (supplementary capital)
Undisclosed reserves, asset revaluation reserves, general provisions/general loan-loss provisions, hybrid (debt/equity) capital instruments, and subordinated term debts.1
Tier 3
Unsecured debt: subordinated and fully paid up, to have an original maturity of at least two years and not be repayable before the agreed repayment date unless the supervisory authority agrees.2
1 Eligible tier 2 capital may not exceed total tier 1 capital, and long-term subordinated debt may not exceed 50% of tier 1 capital.
2 This will be limited to 250% of a bank’s tier 1 capital, which is required to support market risks.

To be considered as adequately capitalized, requirements were set for the international banks in the G10 countries to hold a minimum total capital (tier 1 and tier 2) equal to 8% of risk-adjusted assets.
For IIFS, tier 1 capital would be the same as in CFSs. The reserves, however, would include the shareholders’ portion of the profit equalization reserve (PER), which is included in the disclosed reserves. In tier 2 capital, there would not be any hybrid capital instruments or subordinated debts as in CFSs, as these would bear interest and contravene Shari’ah principles. However, an issue is the treatment of unrestricted risk-sharing investment accounts that may be viewed as equity investments on a limited-term basis, in principle. In the debate on whether or not to include these accounts in tier 2 capital, the AAOIFI committee on capital adequacy concluded that it would not be appropriate to include the PSIA in tier 2 capital.
The Islamic Financial Services Board has taken a similar position. The IFSB Capital Adequacy Standard (IFSB, 2005b) calls for supervisory discretion in determining a share “α” of risk-weighted assets funded by profit-sharing investment “deposits” that can be deducted from the total risk-weighted assets for the purpose of assessing capital adequacy. This share “α” represents the extent of total risk assumed by the investment account holders, with the remainder absorbed by the shareholders on account of displaced commercial risk. As for CFSs, the minimum capital adequacy requirement for IIFSs in the IFSB standard is not lower than 8% of total capital.
The issue is of major importance, as IIFSs use profit-sharing investment “deposits” as a form of leverage (Archer and Karim, 2006; Al-Deehani, Karim, and Murinde, 1999). Such deposits not only expose IIFSs to operational risk; there is also the issue of “displaced commercial risk” mentioned above.

4.3 Economic Capital

“Economic capital” represents the emerging practice for measuring and reporting all kinds of risk across a financial organization. Regulators have gradually factored in market development concerns in setting capital adequacy requirements by incorporating improved assessments of the risks embedded in the assets held by financial institutions. The latter have developed improved tools to assess the risks of their assets and their modes of operations. These tools allow financial intermediaries to reach better assessments of the economic capital they may need to best match their profit objectives and risk tolerance. “Economic capital” would measure risk in terms of economic conditions, rather than potentially misleading regulatory or accounting rules. It is called economic capital as its identification involves converting a probability distribution of occurrences of risk events into an amount of possible losses for which capital charges may be required, in line with the institution’s target financial strength (for example, credit rating). As such, it should permit achieving higher economic efficiency in capital use.
Risks, such as those highlighted in the previous section, may lead in practice to expected as well as unexpected losses. Both would be based on the frequency of occurrence of an event and the loss that may be associated with it. For the purpose of calculating economic capital, the amount of expected losses is the average of the anticipated losses over a distinct period of time. This expectation should be formed using actual observations that normally happen in the conduct of normal business over a given period. The financial intermediary would factor these expected losses in its pricing and make corresponding adequate provisions. However, there are also losses that may not be part of the normal conduct of business and whose occurrence would be unexpected. They would be the outcome of a worst-case adverse event for which no specific provision can be made as part of normal business conduct. Here the actual losses would be expected to be large and exceed what normal pricing could cover. These unexpected losses may be so large that the financial intermediary may go on to default, but the frequency of occurrence of such catastrophic events would be expected to be very low under normal circumstances.
Exhibit 4.6 provides an illustration of a shape of a distribution of losses, highlighting the notion of expected and unexpected loss. The former is the mean or the average loss over a given period and may be covered by specific provisioning. Losses larger than expected losses would be expected to occur with increasingly lower frequency, the larger they are. Over a given period, covering such losses in all circumstances – that is, irrespectively of the expected frequency of their occurrence – would require a large volume of capital. It would be prohibitive from a business perspective, as costly capital would be locked in low-return-yielding investments, and accordingly be uneconomical. Thus, financial intermediaries and regulators interested in market vibrancy would be interested in identifying the level of economic capital that would provide a sufficient stability cushion without stifling the financial intermediary, given the expected frequency of unexpected losses over a certain period. Hence, in its management of unexpected risks, the financial intermediary may decide to conduct its business accepting that there may be, say, a chance of one in 100 of becoming insolvent in a given time period (say, in the next 12 months). It would just define its economic capital accordingly as that level of capital that would allow it to face unexpected losses whose probability of occurrence in the given time period may be not more than 99%.
In the above example, the 1% represents the probability that losses may exceed the economic capital. This type of loss may be due to a system shock that is rare, and hence not need to be covered by capital. In computing the economic capital, credit and operating risks could be estimated using the probability distribution of historical losses, while for market risk it is possible to calculate the daily value-at-risk and then convert it to an amount of economic capital. Thus, economic capital can reflect a comprehensive risk measurement addressing the full range of risks faced by the financial intermediary. It is a useful tool in the hands of the management of the financial intermediary, allowing it to calibrate the level of capital that is economical to hold in order to achieve return and stability objectives. Provided the implemented methodology is sound and robust as well as transparent, it can provide a valuable foundation for a constructive dialogue with regulators and other stakeholders that contributes further to market vibrancy and stability.



Exhibit 4.6 A probability distribution of losses
Source: Burns (2004).


For simplicity, assume that Exhibit 4.6 provides the probability distribution of losses associated with Murabaha contracts that finance trade within a 12-month period. The vertical axis on the left indicates the frequency of various levels of loss, and the horizontal axis at the bottom indicates the various amounts of losses that may occur. Thus, moving from the left to the right of the curve, the frequency of losses on those contracts initially increases with the size of losses; then, beyond a certain size of loss, it diminishes. Thus the expectation of losses over the period would be the sum of losses weighted by the expected frequency of their occurrence. However, larger losses may also occur but with lower and lower frequency as larger and larger sizes of losses are contemplated. Beyond a certain size of loss the intermediary would decide not to bother to cope with them and accept the possibility of not being able to protect its solvency. Beneath that size it would keep some economic capital reserve that would correspond to a measure of the sum of the difference between possible unexpected losses and expected losses, weighted by the frequency of occurrences of such differences. The foregoing approach could be extended to various types of contracts and elaborated to address correlations between risks, providing a comprehensive risk management tool.
While IIFSs’ and CFSs’ modes of intermediation, financial instruments, and risks may differ, the general approach would be applicable to both types of financial intermediaries. A better-circumscribed economic capital can allow IIFSs to manage their resources more efficiently while providing comfort to their stakeholders. A major difference between IIFSs and CFSs relates to investment account deposits. While for IIFSs, the expected losses would be borne by the income, as in CFSs, the risk capital needed to meet unexpected losses may be less for IIFSs since, theoretically, they accept investment deposits which are risk-sharing contracts. In principle, the Islamic financial intermediary would share in the profit as an agent–Mudarib with the depositor, but the latter would bear losses that are the outcome of market conditions but not of a Mudarib’s misconduct. Hence the risk-sharing feature of investment account deposits would reduce the overall risks for IIFSs in principle. Under the circumstances, and going back to the Murabaha contract illustration in the foregoing, the IIFS would be expected to conduct business in such a way as to deal with expected losses, pricing its products and accumulating provisions accordingly. The IIFS would identify economic capital to deal with unexpected losses that are due notably to misconduct. Unanticipated adverse events that are beyond the reasonable anticipation of the IIFS would normally not need to be cushioned, as profit-sharing investment account “depositors” would share the losses attributable to the assets (or the proportion of assets) financed by their funds.
In light of the above, the PER and investment risk reserve (IRR) may be considered in terms of the perspective of dealing with expected and unexpected losses to the extent that funds in these reserves provide cushions similar to capital. Pricing designed to cope with expected losses should limit the need for a PER to addressing errors in setting pricing and other such unexpected events. Similarly, the IRR could address unexpected losses (excluding those due to misconduct or negligence), as pricing would be expected to generate resources to fund provisions for expected losses. Investment account deposits, PER, IRR, and capital could usefully be considered within a comprehensive risk management framework in order for IIFSs to best calibrate their economic capital, strengthen their ability to compete, and maintain stability.

5. Conclusion

The chapter argues for developing and implementing risk management approaches and methodologies for IIFSs. Whether for the latter or CFSs, capital is both a core input for business development and a sustainability cushion against the consequences of unexpected adverse events. This double perspective entails a tradeoff in identifying the level and composition of capital a financial intermediary maintains. An over-emphasis on stability may stunt the intermediary’s vibrancy, while too much focus on business development may eventually jeopardize stability.
The evolution of regulators’ and market participants’ thinking is leading them increasingly to take more account of the intermediary’s risk profile and tolerance in assessing capital requirements. Technical innovations are allowing both to make professional progress in this direction. These developments are giving them better ways to calibrate the level and composition of capital requirements to balance more efficiently requirements of market development and stability. IIFSs cannot but gain in developing and adopting sound advanced risk management methodologies. They would allow them not only to achieve their business objective of profitability more easily, but also to cope better with the discipline which markets impose, as well as to conduct a beneficial and constructive dialogue with regulators.
Seeking to implement improved risk management practices entails as a first step an effort to identify clearly the risk categories an IIFS may face. These would then need to be translated into variables representing the occurrence of the risk events and the losses these may entail. Some probability distribution would then be associated with each category of risk to provide a framework for assessing the likelihood and extent of losses that may occur. Such a framework would also allow the IIFS to conceptualize the economic capital that corresponds to a level of risk tolerance. It would also provide an approach to setting pricing policies that would incorporate the losses that can be expected in the normal conduct of business.
Implementing a framework incorporating the foregoing features entails the availability of loss data that reflect their historical occurrences within given time periods. The richer the data set in terms of number of observations and their categorization, the better informed the risk management framework can be, the better the pricing policy and the more efficient the identification of the level and composition of capital. Accordingly, IIFSs (like other banks seeking to develop an IRB approach and other sophisticated risk measurement techniques) need to put in place data management systems to collect and process loss data. However, collecting a data set sufficiently large to provide robust inferences on the actual risk the IIFS faces may take some time. An option would be for IIFSs to join efforts and pool data sets to accelerate the process of improving their risk management practices. In parallel, IIFSs would be investing in enhancing the risk management skills available to them.
IIFSs are already engaged in strengthening their stability and competitiveness through improvements in risk management capabilities. Over time, these efforts should enable IIFS to reach assessments of their capital requirements that would permit them to use their resources efficiently and offer services that contribute effectively to the development of the communities they want to serve.
.




References

Al-Deehani, T., R.A.A Karim, and V. Murinde (1999), “The Capital Structure of Islamic Banks under the Contractual Obligation of Profit Sharing,” International Journal of Theoretical and Applied Finance, Vol. 2, No. 3, July, pp. 243–83.

Allen, F. and D. Gale (2004), “Financial Intermediaries and Markets,” Econometrica, Vol. 72, No. 4, pp. 1023–61.

Archer, S. (2005), “Adapting Basel II: The IFSB Draft Standard – Issues of Risk Bearing Capital and Risk Management,” Islamic Financial Services Forum, The European Challenge, Luxembourg, December.

Archer, S. and R.A.A. Karim (forthcoming 2006), “On Capital Structure, Risk Sharing and Capital Adequacy in Islamic Banks,” International Journal of Theoretical & Applied Finance.

Barth, R., G. Caprio, and R. Levine (2006), Rethinking Bank Regulation: Till Angels Govern, Cambridge University Press, New York.

Berger, A. and C. Bouwman (2005), “Bank Capital and Liquidity Creation,” EFA 2005 Moscow Meetings Paper, June, http://ssrn.com/abstract=672784.

Bessis, J. (2002), Risk Management in Banking, John Wiley & Sons, London.

Burghardt, I. and C. Fuss (2004), “Islamic Banking Credit Products in Germany and in the United Kingdom,” European Business School, International University Schloß Reichartshausen, Working Paper No. 12, October.

Burns, R. (2004), “Supervisory Insights: Economic Capital and the Assessment of Capital Adequacy,” Supervisory Journal, Federal Deposit Insurance Corporation.

Capital Adequacy Standard for Institutions (Other than Insurance Institutions) Offering Only Islamic Financial Services, Exposure Draft No. 2 (2005) – (IFSB 2005b), Islamic Financial Services Board, March.

Chapra, M. and T. Khan (2000), “Regulation and Supervision of Islamic Banks,” Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank, Occasional Paper No. 3.

Cunningham, A. (2001), “Culture or Accounting: What are the Constraints for Islamic Finance in a Riba-based Global Economy?”, Moody’s Investor Service, Global Credit Research, January.

Diamond, D. and P. Dybvig (1983), “Bank Runs, Deposit Insurance, and Liquidity,” Journal of Political Economy, Vol. 91, No. 3, June, pp. 401–19.

Diamond, D. and R. Rajan (2000), “A Theory of Bank Capital,” Journal of Finance, Vol. 55, No. 6, December, pp. 2431–65.

Edwards, Franklin R. (1996), The New Finance: Regulation and Financial Stability, The AEI Press, Washington, D.C.

El Qorchi, M. (2005), “Islamic Gears Up,” Finance & Development, IMF Publication, Volume 42, No.4, December.

El-Hawary, D., W. Grais, and Z. Iqbal (2004), “Regulating Islamic Financial Institutions: The Nature of the Regulated,” World Bank Policy Research Working Paper, No. 3227. March.

Gersbach, H. (2002), “The Optimal Capital Structure of an Economy,” Alfred-Weber-Institut, University of Heidelberg, Grabengasse, Germany.

Guiding Principles of Risk Management for Institutions (Other than Insurance Institutions) Offering Only Islamic Financial Services, Exposure Draft No. 1 (2005), Islamic Financial Services Board, March.

Honohan, P. (2004), “Financial Sector Policy and the Poor: Selected Findings and Issues,” World Bank Working Paper No. 43, The World Bank.

Iqbal, Z. (2000), “Risk and Risk Management in Islamic Finance,” International Seminar on Islamic Financial Industry, Alexandria, Egypt, October 15–18.

Iqbal, Z. (2005), “The Impact of Consolidation on Islamic Financial Services Industry,”
Working paper.

Khan, T. and H. Ahmed (2001), “Risk Management: An Analysis of Issues in Islamic Financial Industry,” Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank, Occasional Paper No. 5.

Klingebiel, D. and L. Laeven (eds.) (2002), “Managing the Real and Fiscal Effects of Banking Crises,” World Bank Discussion Paper No. 428, Washington, D.C.

Levine, R. (2004), “Finance and Growth: Theory and Evidence,” NBER Working Paper No. 10766, Cambridge, www.nber.org/papers/w10766.

Modigliani, F. and M. Miller (1958), “The Cost of Capital, Corporation Finance and the Theory of Investment,” American Economic Review, Vol. 48, pp. 261–97.

Principles for the Management of Credit Risk (2000), Basel Committee on Banking Supervision, Basel, Switzerland, September.

Pringle, J.J. (1975), “Bank Capital and the Performance of Banks as Financial Intermediaries: Comment,” Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 7, No. 4, November, pp. 545–50.

Sundararajan, V. (2005), “Risk Measurement, and Disclosure in Islamic Finance and the Implications of Profit Sharing Investment Accounts,” Paper prepared for the Sixth International Conference on Islamic Economics, Banking, and Finance, Jakarta, Indonesia, November 22–24.

Sundararajan, V. and L. Errico (2002), “Islamic Financial Institutions in the Global Financial System: Key Issues in Risk Management and Challenges Ahead,” International Monetary Fund, Working Paper WP/02/192.

www.erisk.com/Learning/EconCap/econcap1.asp.

www.fdic.gov/regulations/examinations/supervisory/insights/siwin04/economic_capital.html.


















Islamic Financial Terms

Shari’ah - Islamic canon law as revealed in the Qur’ân (the revelational text) and the Sunnah (examples given by the Prophet Mohammad).

Murabahah - credit sales (cost + mark up sale)
Musharakah – joint venture

Mudarabah – limited partnership – profit sharing investment accounts

Mudarib - agent/ financial institution offering financial services

Istisna’ – contract of manufacture

Ijarah – leasing

Riba - Interest

Gharar - uncertainty or risk