ORANG-ORANG BERHAK MENERIMA ZAKAT

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Konsep Mustahik Zakat
A. Pendahuluan
Genesis historis Islam bisa membantu untuk memahami potensi perubahan struktur sosial dalam dunia Islam. Oleh karenanya, sebagian besar istilah yang digunakan didalam Al-Qur'an haruslah difahami dalam kontek perubahan itu, sebab struktur sosial yang selama ini telah banyak melahirkan kendala baik bagi kemajuan ekonomi maupun intelektual seperti yang terjadi dewasa ini, yaitu struktur yang refresif dan hanya melestarikan keterbelakangan, pandangan rasional tentang agama dengan pelbagai kompleks transendentalnya, tidaklah menarik perhatian masyarakat, apa yang menarik bagi mereka dalam suasana keterbelakangan itu, bila meminjam istilah Asghar Ali adalah volk religion atau agama kerakyatan dengan segala perangkat ritualnya, Agama menurut dia adalah untuk melayani kebutuhan psikologis bagi kesengsaraan duniawi mereka.
Sebagaimana dapat dilihat dalam Al-Qur'an bahwa penimbunan kekayaan dan kemegahan duniawi dikutuk secara sangat keras. Alasan inilah, yang membuat para pedagang Mekah itu kemudian menentang Nabi, dan menjadikannya sebagai musuh sejati mereka. Ini karena vested interest mereka terganggu secara serius. Kaum kaya mekah mula-mula menawarkan bujukan bersifat material kepada Nabi untuk menghentikan khotbah tentang dokrin egalitariannya itu. Tapi menolak untuk berkompromi dengan kaum kaya itu sehingga mereka terus melakukan tekanan-tekanan dan mereka tidak begitu gelisah pada dokrin-dokrin keagamaan yang dikhotbahkan Nabi. Mereka nampaknya lebih digelisahkan oleh konsekwensi-konsekwensi sosio-ekonomi dari ajaran-ajaran itu, serta oleh serangan Nabi yang sangat tajam terhadap kekayaan.
Qur'an menunjukkan bahwa yang mereka peroleh itu adalah sebagai akibat konsentrasi pemilikan dan monopoli perdagangan yang tidak syah. Alasan mengapa Nabi mengecam para saudagar-saudagar kaya di Mekah adalah karena mereka akan menganggu keseimbangan sosial (Sosial Balance).
Oleh sebab itulah banyak ayat dalam Al-Qur'an yang memerintahkan untuk mendistribusikan kekakayaan yang merupakan kewajiban seseorang terhadap orang miskin. Bahwa sesunguhnya harta seseorang adalah berasal dari Tuhan dan bukanlah milik pribadi, semua orang muslim akan diadili tentang pelayanan mereka terhadap yang mereka belanjakan.
Walaupun Al-Qur'an menyatakan bahwa Allah SWT di satu sisi menciptakan segala di bumi ini untuk manusia, dengan pengertian manusia diberi kebebasan untuk memanfaatkanya untuk kepentingan hidup, namun Al-Qur'an juga memberikan batas-batas tentang yang tidak boleh dilampaui agar terjadi keseimbangan, tidak Israf (berlebih) dan tabzdir (Mubazir) .






PEMBAHASAN
A. Pengertian Mustahik Zakat
Kata mustahik berasal dari kata حق, haka yang ditambah alif, sin dan ta' pada awalnya sehingga menjadi istahaqa-yastahiku-mustahikun, yang memiliki makna memiliki hak. Secara terminology mustahik berarti orang-orang yang memiliki hak atas harta zakat .
B.Golongan yang tidak berhak menerima zakat.
Yusuf Qordhawi dalam kitabnya hukum zakat menerangkan golongan yang diharamkan untuk menerima zakat, adalah:
1. Orang kaya.
Berdasarkan hadis Nabi SAW yang berbunyi:
لا تحل الصداقات لغني ولالذى مرة سوى
2. Orang kuat yang mampu bekerja.
3. Orang yang tidk beragama dan orang kafir yang memerangi Islam, berdasarkan ijmak ulama: dan kafir zimmi menurut Jumhur Fuqaha.
4. Anak-anak orang yang mengeluarkan zakat, kedua orang tua dan istrinya. Adapun terhadap keluarga yang lain, terhadap perbedaan pendapat dan ada perinciannya.
5. Keluarga Nabi S.A.W yaitu Banu hasyim saja, atau Banu Hasyim dan Banu muthalib, meskipun ada perbedaaan pendapat adalam hal itu.

C. Mustahik Zakat dalam Al-Qur'an.
Kalangan sarjana ekonomi dan sosiologi telah menginggatkan, bahwa yang terpenting bukanlah memungut dan memperoleh harta dengan berbagai cara, langsung atau tidak pihak pemerintahpun telah berhasil memungut pajak, adakalanya yang demikian itu, dengan pertimbangan dasar keadilan juga, tetapi yang lebih penting ialah ke mana harta itu harus dikeluarkan. Disinilah neraca itu kadang-kadang jadi miring sebelah, dan hawa nafsu pun timbul, harta kemudian diambil oleh orang yang tidak berhak, sedangkan yang lebih berhak menerima tidak mendapatkan. Oleh karena itu tidak heran bila Qur’an memberikan perhatian khusus, yang kemudian dijelaskan dan diperinci lagi oleh sunnah sebelum Islam datang, sejarah keuangan sudah mengenal banyak sekali pelbagai macam perpajakan, pemungutan pajak sudah dilakukan oleh berbagai macam bangsa secara sukarela atau secara paksa, hasil pemungutan itu, kemudian disimpan dalam perbedaharaan raja atau pemerintah untuk kemudian dibagikan kepada setiap aparatnya dalam memenuhi kebutuhan keluarga atau untuk kemewahan dan kebesaran mereka sendiri, tanpa pedulikan segala apa yang menjadi kebutuhan rakyat pekerja dan golongan miskin yang lemah. Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pengelola zakat, harus segera disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja amil zakat . Zakat tersebut harus disalurkan kepada para mustahik sebagaimana tergambar dalam Al-Qur'an dalam surah at-taubah ayat 60:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

Banyak ayat lain yang mensiratkan mustahik atas harta zakat, infak dan shadaqah, yang tersebar di dalam Al-Qur'an.
Delapan asnaf yang ada dalam surah at-taubah ayat 60, memang merupakan suatu akumalasi dari keseluruhan isi Al-Qur'an yang mengandung makna mustahik zakat. Pencanangan atas delapan asnaf ini bukanlah kehendak Nabi namun langsung dari penguasa alam semesta ini, namun Rasulullah pun telah mencanagkan peraturan (syariat) nya sendiri yang bersifat taktis dan tersier menurut dhuruf sosial masyarakatnya. Siapa yang dimaksud dengan fakir, miskin, amilin, mualaf qulubuhum, sabilillah, dan lain-lainnya sebagai mustahik yang delapan itu, diberinya definisi menurut konteks sosialnya.
Tentu saja sebagai syariat yang bersifat taktis, dan karena itu sangat dipengaruhi oleh dhurufnya, sebagian besar daripadanya memang terasa sangat kurang memadai lagi dengan kondisi sosial kita sekarang ini. Akan tetapi, sekali lagi, karena selama ini para fuqaha sebagai teoritisi keagamaan lebih memegangi rumus ajaran bahkan yang teknis ketimbang subtansinya, maka sepertinya kita harus menafsirkannya kembali.
1. Fakir dan Miskin
Pada umumnya, teoritisi hukum Islam (fuqaha) membedakan fakir dan miskin, meskipun dalam pengunaannya telah dianggap satu kata yang menunjuk pada orang yang tidak mampu secara ekonomi. Perbedaannya memang tidak prinsipil, melainkan lebih bersifat gradual. Yang pertama, fakir, menunjuk pada orang yang secara ekonomi berada pada garis yang paling bawah. Sementara yang kedua, miskin, menunjuk pada orang yang secara ekonomi lebih beruntung daripada si fakir, akan tetapi secara keseluruhan ia tergolong orang-orang yang masih tetap kerepotan dalam memenuhi kebutuhan pokok kesehariannya. Untuk mempermudah pemahaman, biasanya ditetapkan angka, katakanlah, 10 sebagai indeks kebutuhan pokok sampai dengan 6 berarti "miskin". Sedang yang indeks penghasilannya kurang dari 5, itulah yang disebut fakir. Perhitungan ini, mungkin masih relevan untuk saat sekarang. Akan tetapi yang perlu ditinjau kembali adalah menyangkut apa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok tadi.
Sesuai dengan pandangan masyarakat ketika itu, umumnya fuqaha menetapkan kebutuhan pokok hanya pada tiga hal (pangan, sandang, dan papan) dalam perhitungan yang semata kuantitaif. Katakanlah, pangan asal wareg, sandang asal rapet, dan papan asal bisa ngumpet. Menurut al-Ghazali, kebutuhan dasar bagi orang seorang mencakup sandang, pangan dan papan (tempat tinggal). Kebutuhan dasar ini diperluas dengan peralatan rumah, pernikahan dan properti. Tapi ia tidak merinci tentang bagaimana kebutuhan-kebutuhan itu harus dipenuhi. Ia hanya mengacu pada kehidupan Nabi, keluarga dan para sahabat. Artinya Ghazali tidak memperluas pembahasannya pada kebiasaan masyarakat, sumberdaya tersedia dan rata-rata standard berpakaian, keadaan rumah, dan lain-lain.
Bila kita lihat hasil rumusan Bank Dunia tentang tingkat kesejahteraan suatu bangsa terlihat pada GNP, yakni bila telah mencapai $500 juta dolar/kapita maka negara tersebut telah keluar dari ketidaksejahteraan ekonomi secara agregat, namun bila di bawah standar $500 juta dolar yang terjadi adalah negara tersebut dikategori sebagai negara miskin, dan kemiskinan itu terbagi pada dua kategori yakni kemiskinan relatif artinya bila 40 % penduduk dengan pendapatan terrendah menerima lebih 17 % dari pendapatan nasional, sebaliknya kemiskinan absolut adalah jika golongan 40 % penduduk miskin itu menerima kurang dari 12 % dari pendapatan nasional.
Konteks sekarang ini konsep kebutuhan pokok seperti itu, jelas perlu penyesuaian. Bukan saja jumlahnya tapi tidak kalah penting adalah mutunya, sehingga kebutuhan pokok dengan mana manusia bisa hidup secara wajar, itu meliputi:
a. Pangan dengan kandungan kalori dan protein yang memungkinkan pertumbuhan fisik secara wajar.
b. Sandang yang dapat menutupi aurat dan melindungi gangguan cuaca.
c. Papan yang dapat memenuhi kebutuhan berlindung dan membina kehidupan keluarga secara layak.
d. Kesehatan yang dapat memungkinkan kesembuhan dari penyakit yang diderita.
e. Pendidikan yang memungkinkan pihak bersangkutan mengembangkan tiga potensi dasarnya selaku manusia: kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dengan demikian dalam konteks kehidupan sosial kita sekarang, pentasarufan dana zakat untuk sektor fakir miskin ini bisa mencakup:
1. Pembangunan sarana dan prasarana pertanian sebagai tumpuan kesejahteraan ekonomi rakyat, dalam pengertian yang luas.
2. Pembangunan sektor industri yang secara langsung berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
3. Penyelenggaraan sentra-sentra pendidikan keterampilan dan kejuruan untuk mengatasi pengangguran.
4. Pembangunan pemukiman rakyat tuna wisma atau gelandangan.
5. Jaminan hidup untuk orang-orang invalid, jompo, yatim piatu, dan orang-orang yang tidak punya pekerjaan.
6. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dasar sampai tinggi untuk setiap warga/rakyat yang memerlukan.
7. Pengadaan sarana dan prasarana kesehatan bagi setiap warga/ rakyat yang membutuhkan.
8. Pengadaan sarana dan prasarana lain yang erat hubungannya dengan usaha mensejahterakan rakyat lapisan bawah.
2. Amilin
Sesungguhnyalah, dalam teks kitab-kitab fiqh sendiri masih tetap dikatakan bahwa yang berhak bertindak sebagai amil zakat adalah pihak yang mereka sebut dengan imam. Apa yang disebut dengan Imam menurut mereka, juga adalah khalifat atau sekurang-kurangnya Amir, alias pemerintah yang efektif. Akan tetapi karena lembaga kekhalifahan yang dianggap memenuhi aspirasi umat wajib zakat lama tiada, konsep imam pun, secara praktis sosiologis, bergeser pada figur tokoh keagamaaan local atau panitia yang ditunjuk oleh pimpinan organisasi keagamaaan. Yang pertama terjadi di lingkungan masyarakat Islam tradisional pedesaan, sedang yang kedua banyak terlihat di lingkungan modernis perkotaan.
Lembaga imamah yang berwenang mengurus zakat ini perlu dikembalikan pada pengertiannnya semula, yakni pemerintah yang dibentuk dari oleh rakyat pembayar zakat itu sendiri. Tentu, hal ini difahami dengan memperhatikan semakin kompleksnya bidang garapan yang menjadi tanggung jawabnya. Kini, apabila amilin ini adalah pemerintah, maka dalam kaitannya dengan hak penerima dana zakat, mereka adalah orang-orang dan atau fungsi-fungsi yang terlibat dalam salah satu dari 4 bidang tanggung jawab sebagai berikut:
a. Pengontrol kebijakan zakat sebagaimana disepakati oleh rakyat wajib zakat
b. Aparat pemungut atau pencatat zakat.
c. Aparat administrasi perzakatan
d. Segenap aparat departemen teknis yang bekerja untuk kesejahteraan rakyat dengan dana zakat.
Semua orang/pihak yang terlibat dalam salah satu dari empat tugas tersebut berhak menerima bagian dari dana zakat dalam ukuran yang disepakati.
3. Muallaf Qulubuhum.
Dalam konsep fiqh konvensional, muallaf selalu didefinsikan sebagai orang yang tengah dibujuk untuk masuk lebih mantap ke dalam komunitas Islam. Memegangi definisi yang formalistic ini, dalam praktek pentasarufan zakat akan berarti pengunaan dana zakat untuk mempengaruhi orang-orang tertentu, terutama yang sedang dalam keadaan terpepet, agar tetap mau melanjutkan keberadaannya dalam bentuk uang, beras, permen atau apa saja, seperti yang suka dilakukan oleh kelompok keagamaan tertentu yang berkantong tebal ketika membujuk orang lain masuk ke dalam kelompok mereka.
Memperhatikan pengertian muallaf tersebut di atas, akan segera terasa adanya sedikit keganjilan. Di satu pihak umat Islam menolak upaya propaganda keagamaaan oleh orang lain dengan iming-iming materi, akan tetapi di lain pihak mereka sendiri berkepentingan dengan model propaganda yang serupa. Memang ada perbedaan, sekurang-kurangnya dalam teori. Pembujukan yang dilakukan dengan dana zakat ditujukan kepada orang-orang yang mengaku sudah ada dalam Islam. Akan tetapi, jika dipikir lebih dalam, terasa keduanya punya pandangan dasar yang sama. Yakni, bahwa keberagaman bisa disogok dengan materi.
Secara harfiyah mualaf qulubuhum berarti orang yang sedang dijinakkan hatinya. Agar bagaimana? Al-Qur'an tidak mengatakan apa-apa dalam hal ini. Juga tidak mengatakan agar upaya penjinakan dengan dana zakat itu diarahkan untuk membujuk seseorang masuk dalam group komunitas Islam. Menurut hemat saya, pada dasarnya Rasulullah menafsiri muallaf sebagai orang yang perlu disadarkan hatinya untuk kembali pada jalan fitrah kemanusiannya. Sebagai individu, misalnya, ia jujur dan mengedepankan akal sehatnya ketimbang nafsu kebinatangannya. Sebagai anggota masyarakat, ia bersedia menghormati hak orang lain, seperti halnya orang lain juga harus menghormati haknya, sedia hidup berdampingan secara damai dengan orang lain, tidak membikin kerusakan, kalau bisa malah berbuat kebaikan buat sesama, menghormati tertib sosial yang disepakati bersama, dan lain sebagainya, dengan kata lain muallaf qulubuhum adalah orang yang tengah dijinakkan (disadarkan) hatinya untuk meninggalkan sikap jahiliyahnya dan kembali pada fitrah kemanusiannya yang hanif (yang condong pada kebenaran/kebaikan). Dan siapa dapat menolak bahwa fitrah kemanusian yang hanif adalah esensi yang sebenarnya dari Islam.
Memang, kalau dipertanyakan, siapakah manusia yang bertingkah laku begitu, di zaman Nabi? Maka jawabnya secara sosiologis adalah mereka yang bersedia bergabung dengan masyarakat Nabi, yaitu masyarakat Islam, dalam arti masyarakat yang berserah diri pada kehendak dan perintah Tuhan sebagai cita kebaikan universal. Dengan kata lain bisalah ditegaskan bahwa untuk konteks saat itu, identitas keislaman memanglah merupakan ujud keberperikemunusian itu sendiri secara par excellent. Oleh sebab itu, secara praktis muallaf pun lalu difahami sebagai orang yang dijinakkan hatinya untuk mau menerima kesadaran Islam. Dan kitab-kitab fiqh, dengan orientasi berfikirnya yang formalistic, sampai sekarang hanya mengatakan bahwa muallaf adalah orang yang dijinakkan hatinya untuk masuk Islam, dalam pengertian yang semata-mata formal.
Adalah khalifah Umar r.a. yang pada waktu sangat dini sudah melihat pandangan keagamaan yang formalistic itu. Bagi dia, seperti tidak ada gunannya orang yang hanya mengakui masuk Islam, tapi dalam tingkah lakunya jauh dari unggah-ungguh kemanusian. Umar memandang keislaman sebagai sesuatu yang lebih bersifat substansial ke timbang formal.
Oleh karena itu dana zakat untuk muallaf harus lebih disediakan dalam kerangka substansi makna tersebut. Tetapi, bukan untuk membujuk seseorang masuk dalam komunitas Islam dalam pengertiannya yang formal, melainkan untuk membujuk orang-orang, anggota masyarakat, yang karena satu dan lain hal terperosok mengambil jalan yang berlawanan dengan fitrah kemanusiannya. Dengan dana dari zakat itu, mereka disadarkan agar bersedia kembali ke jalan yang benar sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Dalam pengertian ini, dana "muallaf" untuk konteks kemasyarakatan kita sekarang sasarannya adalah untuk:
a. Usaha penyadaran kembali (dalam ungkapan yang kini berlaku: pemasyarakatan) orang-orang yang terperosok ke dalam tindak asusila dan atau kejahatan, kriminal.
b. Biaya rehabilitasi mental atas orang-orang/anak-anak yang diakibatkan oleh, misalnya, penyalahgunaan narkotika dan yang sejenisnya.
c. Pengembangan masyarakat atau suku-suku terasing.
d. Usaha-usaha rehabilitasi kemanusian yang lain.
4. Riqob.
Secara harfiah riqob, adalah orang dengan status budak. Untuk masa sekarang, manusia dengan status budak belian seperti ini, sudah tidak banyak lagi diketemukan, atau bahkan sudah tidak ada. Akan tetapi, jika menengok pada maknanya yang lebih dalam, arti "riqob" secara jelas menunjuk pada gugusan manusia yang tertindas dan diekploitasi oleh manusia lain, baik secara personal maupun struktural. Dengan kata lain, berbeda dengan istilah "fakir-miskin" yang lebih merujuk pada manusia yang menderita secara sosial ekonomis, maka "riqob" merujuk pada orang atau masyarakat yang menderita secara budaya, dan terutama politis. Jika persoalan yang dihadapi pihak tersebut pertama lebih pada "bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup" maka persoalan pokok yang dihadapi pihak tersebut terakhir, riqob, adalah bagaimana kita – dalam konteks kolektifnya – bisa mengatur (memilih dan menentukan) arah dan cara hidup kita sendiri.
Dalam pengertian ini, dana zakat untuk kategori riqob akan berarti dana untuk usaha pemerdekaan orang atau kelompok orang yang sedang dalam keadaan tertindas dan kehilangan haknya untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Dalam konteks individual, dana itu bisa ditasarufkan untuk, misalnya:
I) Mengentaskan buruh-buruh kasar dari belenggu pihak majikan yang menjeratnya.
II) Mengusahakan pembebasan orang-orang tertentu yang dihukum/dipenjara hanya lantaran menggunakan hak dasarnya untuk berpendapat atau memilih.
Sementara dalam bentuknya yang structural, dan riqob ini berarti dana untuk proses penyadaran dan pembebasan masyarakat tertindas berkaitan dengan hak-hak dasar mereka sebagai manusia baik dalam dimensi individual maupun sosialnya.
5. Gharimin
Secara harfiyah "gharimin" berarti orang-orang yang tertindih hutang. Kitab-kitab fiqh selama ini mendefenisikannya terbatas pada pengertian perorangan. Yaitu orang-orang yang, misalnya, karena satu dan lain hal usahanya menjadi bangkrut, padahal modalnya pinjaman. Untuk itu, dana zakat diberikan kepada mereka untuk membayar kembali utangnya. Untuk konteks kemasyarakatan kita sekarang, definisi itu tentu masih relevan. Lebih-lebih usaha dengan modal pinjaman sekarang ini semakin menjadi kelaziman. Dan modal pinjaman selalu dibebani bunga yang memberatkan.
Akan tetapi untuk dhuruf sekarang ini, di samping mengunakan dana zakat untuk membayarkan utang orang-orang yang jatuh pailit, ada alasan juga mentasarufkannya, misalnya, bagi usaha peningkatan kemampuan management orang-orang yang melakukan usaha dengan modal pinjaman. Jadi selain ditasarufkan untuk keperluan curative, membayarkan utang seseorang yang jatuh pailit, dana zakat juga bisa ditasarufkan untuk keperluan yang bersifat preventif, menyiapkan/melatih orang agar tidak mudah terjatuh dalam pailit.
Segi lain yang juga perlu dipertimbangkan. Dalam konteks kehidupan perekonomian sekarang ini dana zakat untuk sektor ghorimin seharusnya juga bisa diberikan untuk menanggung/ mengurangi beban yang diderita, bukan oleh orang perorang semata. Beban hutang pada masyarakat atau negara, seperti yang mewabah dewasa ini, seharusnya juga bisa ditanggulangi dengan dana itu. Maka, sangat beralasan kiranya bahwa dengan pendekatan zakat ini, dana zakat yang terkumpul di negara-negara kaya ditasarufkan untuk membayarkan hutang yang kini melilit banyak negara-negara miskin.
6. Sabilillah.
Secara harfiyah sabilillah berarti jalan Allah. Oleh karena kitab-kitab fiqih, berpedoman kepada praktek konkret yang terjadi di zaman Nabi, Sabilillah ini diartikan sebagai tentara yang berperang melawan orang-orang kafir. Pengertian ini tidak salah. Akan tetapi, bertahan pada pengertiannya yang harfiyah akan segera membuatnya tidak relevan untuk banyak dhuruf, terutama dhuruf kita sekarang. Mengapa Nabi memberikan arti konkret jalan Allah dengan tentara yang berperang melawan orang-orang kafir atau sekurangnya kita pahami begitu adalah karena pada dhurufnya jalan Allah itu sedang dihadang di sana-sini oleh kekuatan yang berlawanan, yaitu jalan kekufuran. Dan jika ditanyakan siapakah pihak yang tengah menegakkan jalan kekufuran itu dan bertindak sebagai pengawalnya, jawabnya kekufuran itu dan bertindak sebagai pengawalnya, jawabnya adalah orang-orang yang memusuhi Nabi dan pengikutnya, maka barang siapa yang berjuang menegakkan jalan Allah dengan kesediaan berperang melawan orang-orang yang memusuhinya, mereka adalah sabilillah. Dan, sesuai tingkat perkembangan budaya ketika itu. Perlawanan terhadap kekufuran tidak lain adalah perlawanan dalam bentuk angkat pedang di medan pertempuran, perlawanan dalam pengertian yang benar-benar fisik untuk mengalahkan kekufuran yang juga ditemukan dalam bentuknya yang juga fisik. Yakni, sosok orang-orang yang menganut jalan kekufuran itu.
Kini keadaan sudah berubah lebih kompleks. Mengecapkan predikat kekufuran, sebagai lawan dari jalan ketuhanan, kepada orang perorang sudah tidak sesederhana dulu. Selain kita tidak lagi hidup bersama Nabi, yang dengan cahaya nubuwahnya mampu mengetahui siapa di antara kita yang kafir dan siap di antara kita yang kafir dan siapa di anatara kita ini yangmukmin, tanda-tanda kekafiran yang substansial, seperti ketidakjujuran dan kedhaliman, sekartang ini juga tidak jarang kita temukan pada mereka yang setiap harinya mengaku mukmin. Dan sebaliknya, praktek keimanan yang substansial seperti kejujuran dan konsistensi terhadap nilai keadilan juga tidak sekali dua kali kita saksikan dari mereka yang secata formalsering dituduh kafir.
Dalam pengertian dan kondisi saat ini dana zakat untuk sektor sabilillah dapat ditasarufkan untuk kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut:
1. Menyelengarakan system kenegaraaan atau pemerintah yang mengabdi pada kepentingan rakyat, baik jajaran legislatifnya maupun eksekutifnya.
2. Melindungi keamanan warga negara/ masyarakat dari kekuataan-kekuatan destruktif yang melawan hak-hak kemanusian dan kewarganegaraan mereka yang sah.
3. Menegakkan keadilan hukum bagi warga negara, berikut gaji aparatnya, seperti polisi, jaksa, hakim, pembela hukum, dan perangkat administrasinya.
4. Membangun dan memelihara sarana dan prasarana umum, jalan, sarana transportasi/ perhubungan, sarana komunikasi dan sebagainya, yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
5. Meningkatkan kualitas manusia dalam rangka menununaikan tugas sosialnya untuk ta'mirul ardl (membangun peradaban di muka bumi) seperti program-program pengembangan filsafat, ilmu, teknologi.
6. Usaha lain yang secara konsisten ditujukan untuk mewujudkan cita keadilan sosial dan kesejahteraan umat manusia.

7. Ibnu Sabil
Para fuqaha selama ini mengartikan ibnu sabil (anak jalanan) dengan musafir yang kehabisan bekal. Pengertian ini benar dan masih relevan. Akan tetapi, pengertian itu pasti belum mencakup seluruhnya. Lahir dari konteks sosial tertentu, pengertian tadi menunjuk pada makna yang lebih sempit dari sebenarnya. Kini, ketika keadaan masyarakat sudah menjadi semakin kompleks, kebutuhan untuk menengok kembali pada pengertian tertentu, menjadi sengat perlu.
Kembali kepada pengertian awal, kita akan dapat melihat cakrawala yang laus. Anak jalanan, sebagaimana yang lazim kita fahami, mengacu pada penegrtian orang-orang yang tengah dalam keadaan tuna wisma, atau terpental dari tempat tinggalnya semula. Bukan lantaran kemiskinann yang diderita, melainkan lebih disebabkan oleh hal-hal lain yang bersifat kecelakaan. Pengertian ini tentu lebih luas dan lebih relevan ketimbang hanya mencakup "pelancong yang kekurangan bekal", seperti yang kita terima selama ini. Maka dalam konteks pentasarufan dana zakat untuk sektor ibnu sabilini dapat dialokasikan bukan saja untuk keperluan: para pengungsi baik karena alasan politik, maupun karena alasan lingkungan/alam seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, angin topan, kebakaran dan sebagainya.
D. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di kemukakan setelah mengemukakan beberapa pendapat, adalah :
1. Mestilah dibagikan pada semua mustahik, apabila harta zakat itu banyak dan semua sasaran ada, kebutuhannya sama atau hampir sama. Tidak satu sasaran pun yang boleh dihalangi untuk mendapatkan, apabila itu merupakan haknya serta benar-benar dibutuhkan. Dan ini hanya berlaku bagi Imam dan hakim agama yang mengumpulkan zakat dan membagikannya pada mustahik.
2. ketika diperkirakan ada dalam kenyataaannya semua mustahik itu, maka tidak wajib memepersamakan antara semua sasaran dalam pemebriannya. Itu semua tergantung pada jumlah dan kebutuhannya.

E. Daftar pustaka
Ali Asghar Engeneer, Teologi Pembebasan Dalam Islam, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)
Ahmad Muhamad Al-assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip, Dan Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
Abdurahman Qodir, Zakat, Dimensi Madhah dan Sosial, (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1998)
Ahmad Muhamad Al-assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip, Dan Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)
A.A Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, (Surabaya: Pustaka Ilmu, 1997)
Abdul Khalik An-Nawawi, An-Nizham Al-Mali Fi al-Islam, (Mesir, Maktabah Al-injil Al-misriyah, 1971)
Didin Hafidudin, Zakat Dalam Perekonomian Modren, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002)
Esposito, Islam Dan Pembaharuan, (Jakarta,1990)
Masdar Farid Mas'udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat Dan Pajak, (Jakarta: P3M, 1993)
Ibnu Qudamah dan Ahmad al-kharaqi, Al-mugni : As-Sirahul Kabir, (Beirut, Darul kitab ilmiyah: tt) Juz II
Sahal Mahfuth, Mengagas Fiqih Sosial, (Jakarta: 1994)
Yusuf Qordhowi, Fiqih Zakat, (Bogor: Pustaka AntarNusa, 1996)