AKU BERBELANJA MAKA AKU ADA” Sebuah Repleksi Konsumerisme

Judul artikel ini dialih konteks dari ungkapan Decrates yang terkenal ”Aku berfikir maka Aku ada”, dirasa cocok untuk merefresentasikan gaya hidup konsumtif dewasa ini. Ungkapan Descates itu menunjukkan keegoan yang sangat, sebagai tanda tentang keberadaan siapa yang mengungkapnya. kini ungkapan tersebut tergantikan dengan ”aku berbelanja maka aku ada”. Jika dialih konteks dengan konsumerisme pada lebaran saat ini ”Aku beli baju baru maka aku ada”, dengan indikasi yang kasat mata rumunan manusia di berbagai pusat perbelanjaan, rumunan tersebut bagai ritual tahunan yang tak terbantahkan, ritual yang secara sosial merupakan budaya yang telah mengideologis, bagai rangkuman ide-ide, kesadaran yang tidak bisa dilepas pada makna yang tersembunyi di akhir romadhon, namun beberapa ahli agama mungkin akan menyadari kegembiraan orang berpuasa adalah pada saat berbuka puasa, lebaran bagian akhir dari berbuka tersebut. Bisa dikatakan lebaran ”buka kubro”, yang terkumulasi melalui buka-buka kecil dalam agenda harian romadhon. Kegembiraan berbuka tersebut meledak di akhir romadhon dengan memberi rasa suka cita yang telah terkumulasi bagai gunung es yang mencair saat bulan romadhon ini menjauh dan kembali tahun depan. Memahami lebaran masyarakat muslim telah melakukan banyak sekali tradisi, baik tradisi mudik sebagai sarana untuk bersilaturahmi kepada keluarga. Tradisi itupun terus berkembang membawa oleh-oleh pada saat mudik hingga akhirnya membawa tanda dan simbol baru dari kehidupan di rantau. Tanda dan simbol yang biasanya tidak dibawa tahun ke tahun mengalami perubahan sehingga yang baru tersebut terindikasi dari simbol-simbol yang dikonsumsi, dapat berupa kendaraan, pakaian, perhiasaan atau pernak pernik yang melekat. Untuk mewujudkan itu maka sikap konsumtif adalah alternatifnya. ”Aku berbelanja maka aku ada” dalam suatu kondisi selalu mengalami pergeseran dan perubahan, karena konsumsi digerakkan oleh produksi yang meluas. Produsen terus berinovasi demi melanggengkan kekuasaaan produknya dan sisi lain tidak murni bertujuan untuk memanjakan pelanggan dengan suatu yang baru. Baru mode, gaya, bahkan baru teknologi yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Saat ini tidak bisa lagi diragukan untuk kekurangan produksi tetapi menurunnya daya beli sebagai refresentasi dari konsumsi menjadi momok yang menakutkan. Konsumsi tidak lagi hanya difahami sebagai barang-barang yang terkait dengan makanan, minuman dan pakaian saja atau pandangan yang ingin memenuhi kebutuhan hidup dengan mengorbankan atau menggunakan sumber daya tertentu. Namun tradisi dan konsumerisme memang sulit untuk dibedakan, karena keduanya dipisahkan benang tipis. MASYARAKAT KONSUMSI Tokoh yang konsen pada kajian seputar konsumerisme seperti Jean Baudrillard, ia mengemukan tentang masyarakat konsumtif (Consumer Society), secara teoritis masyarakat mengkonsumsi suatu benda pada awalnya sebagai media pertukaran manfaat suatu benda, namun kemudian pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model marxisme) mengalami pergeseran pada pemaknaan benda yang dikonsumsi. Konsumsi benda tersebut sekaligus memberi tanda dan symbol konsumsi. Tanda dan symbol tersebut sebagai tanda kelas social, symbol kekuasaan, tanda kesenangan, tanda kesejahateraan, dan sebagainya. Kemudian konsumsi tidak berorientasi pada daya gunanya namun sebagai yang mengartikan tanda sesuatu dan symbol akan sesuatu. Benda atau barang yang dikonsumsi merefresentasikan makna tertentu, sadar atau tidak konsumsi yang dilakukan lebih pada gaya dan tren akhirnya terjebak pada mode-mode yang diproduksi. Senyatanya dalam kasus tradisi mudik merupakan bentuk silaturahmi. Wujud spritualitas seorang muslim, yang ingin menyambung silaturahmi. Namun kemudian bergeser pada penunjukan eksistensialisme sebagai simbol kesejahteraan, kebahagian, kesenangan dan kekuasaan yang dapat berwujud dengan tanda-tanda materi yang dikonsumsi. Secara rasional materi yang dikonsumsi merupakan tanda dari eksistensialismenya. Selama ini silaturrahmi hanya terwujud hubungan kasih sayang, yang tidak ada kepentingan dan pamrih. Pergeseran konsumsi massa dimana dewasa ini yang ditampilkan masyarakat adalah sikap “saya berbelanja berarti saya ada”, sikap ideologis seperti ini berlanjut pada tidak berbelanja maka saya belum exist dalam kehidupan masyarakat, kalau saya mengunakan pakaian baru pada saat lebaran tiba itu menunjukkan diri nya ”ada”. kepentingan diri (self interest) yang ditonjolkan dalam pertukaran sosial masyarakat saat ini. Sikap rasionalitas tersebut memberikan logika-logika kekuatan simbol dari berbelanja. Berbelanja merupakan simbol memiliki kekuasaan ekonomi dan kekuataannya, dalam arti saya memiliki kekuatan ekonomi sehingga saya mengunakan yang baru-baru pada saat lebaran. Tujuan berpuasa untuk menciptakan manusia yang beragama (homo islamicus) bergeser ke bentuk masyarakat kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai homo economicus. Tentu saja, kemudian, hubungan sosial antar sesama manusia sarat dengan simbol dan logika ekonomi. Silaturrahmi menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensialismenya yang berwujud symbol-simbol barang dan pakaian baru. Sikap konsumen yang menganggap suatu barang adalah merupakan ”tanda” bahwa ia ada bukan untuk memenuhi kebutuhan yang hakiki. sebagai tanda ia ”ada” difahami sebagai penampakan pada kebutuhan palsu masyarakat saja. Misalnya baju yang baru masih ada tersimpan rapi dirumah namun tetap membeli baju baru untuk dipakai saat lebaran tiba. Itu pertanda bahwa lebaran identik dengan simbol serba baru. Bukan pada memenuhi kebutuhan dasar untuk menutup aurat misalnya. Dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut. Tanda baju baru tersebut sebagai upaya meningkatkan image bahwa secara strata sosial dia mampu untuk membeli baju baru. Dan berkembang pada life syle dan mode-mode yang dikonsumsi apakah mode yang dibeli adalah mode terbaru atau bukan. Ini terkait dengan politik ekonomi produsen, masyarakat konsumen telah terjebak pada kepentingan ekonomi produsen. Secara asasi produksi barang hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan saja. Namun budaya konsumerisme yang mendorong kehidupan masyarakat yang ditujukan pada pemenuhan keinginan (penikmatan) dan bukan kebutuhan pokok menuntun masyarakat untuk bergaya hidup mewah. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius karena budaya konsumerisme yang tidak terkendali akan sangat berdampak buruk. Sadar atau tidak konsumerisme berdampak buruk baik bagi agama ataupun kehidupan social masyarakat, sebab hedonism, riya dan bahkan konsumsi menjadi candu bagi masyarakat. Secara agama hal ini tidak diindahkan baik bagi agama Islam maupun bagi agama lainnya sangat menentang efek negative tersebut. Pierre Bourdieu tokoh sosiologi konsumsi menyatakan Produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara ekonomi politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni dalam pola-pola konsumsi. Dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut. Dalam tingkatan konsumerisme dapat difahami pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis. Namun bentuk Kedua, konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial. Apa yang dikonsumsi sesuai dengan pada level apa dalam kehidupan sosialnya. Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat dengan munculnya komunitas pengguna barang tertentu, misalnya klub motor merk tertentu. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga, Featherstone melihat munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan estetikasi konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode, estetisasi bentuk, dan gaya hidup. Selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika untuk memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka. Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme. Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Istilah gaya hidup (life syle) tidak memiliki makna asli sebagaimana dalam kajian sosiologis. Gaya hidup merupakan refresentasi dari kelompok tertentu dalam masyarakat yang khas. Dewasa ini gaya hidup tidak dapat difahami sebagaimana refresentasi kelompok kelas tertentu, kini gaya hidup merupakan ekpresi diri yang individualitis secara sadar dengan syle-syle. Gaya hidup itu menyangkut barang konsumsi, perawatan tubuh yang merata sebarannya sebagai indikasi dari sikap “individualities”, mulai dari sekedar perawatan rambut, semir rambut, rebonding dan sambung rambut. Variasi mode busana, pilihan makanan dan minuman yang disuguhkan dalam program-program wisata kuliner penuh gairah itu juga dipandang sebagai indikasi individualities yang sarat dengan refresentasi kepentingan diri (self interest) yang estetis dan itulah gaya hidup konsumen hari ini. Konsumsi sebagai wujud pilihan-pililhan dengan variasi mode secara sadar adalah imbas dari kemajuan ilmu manusia, namun secara tidak sadar, produksi yang dihasilkan memerlukan segmen pasar dan respon pasar. Kini membeli dan mengunakan jasa-jasa tersebut bukan lagi sekedar memenuhi kebutuhan dasar manusia (basic need) yang bersifat dhoruri, pergeseran budaya yang tak dapat diabaikan. Agama dan Konsumerisme Bukan lagi konsumsi untuk hidup namun konsumsi telah beralih kepada konsumsi sebagai budaya baru yang sangat kuat akarnya ditengah masyarakat. Kesiapan kita dalam pesentuhan dalam budaya konsumen yang given tersebut. Sendi-sendi agama akankah mampu melewatinya. Atau agama tidak memiliki akar yang kuat sehingga pemeluk agama terhindar dari konsumersme itu.. Sebuah artikel tentang “Bulan Konsumerisme Agama Renungan di penghujung Bulan Ramadan” yang ditulis di Muhamadun memberikan suatu gambaran bahwa romadhon sebagai bulan suci untuk menghilangkan tindakan-tindakan konsumerisme tersebut justru menjadi bulan yang penuh dengan tindakan-tindakan konsumtif masyarakat. Sepertinya agama belum mampu menjawab phenomena budaya konsumerisme itu, atau mungkin konsumerisme itu bukan hanya sekedar budaya (consumer culture) namun konsumerisme itu juga secara sadar memiliki keyakinan-keyakinannya sendiri, sebagaimana Durkheim, agama meliputi keseluruhan kepercayaan sosial, karena keyakinan sosial terdiri hampir secara eksklusif dari keyakinan umum dan praktek-praktek umum yang berasal dari perekatan (adhesi) yang penuh intensitas yang sangat khusus. Khutbah-khutbah agama dan ceramah-ceramah agama yang anti dengan tindakan konsumerisme selama romadhon belum mampu membuat umatnyauntuk anti terhadap tindakan konsumerisme tersebut, tokoh agama pun juga telah binggung dengan realitas social ini. Fungsi agama yang dikatakan gramsci sebagai hegemoni dan counter hegomoni, dijadikan alat untuk melepas diri manusia dari hegemoni tindakan consumerisme juga tidak nyata wujudanya, bagamana bentuk, dan pola-pola apa yang dapat dilakukan oleh agama. Ini menjadi pertanyaan social keagamaan bagi kita. Wallahu’alam bishowab.
Pengukuran Gharar dalam Transaksi
Identifikasi dan Pengukuran Gharar dalam Transaksi Pertukaran
I. Pendahuluan
Aspek Gharar sudah diatur dalam hukum Islam, zaki badawi (1998) menjelaskan gharar suatu yang tidak pasti. Dan menurut vogel (1998) gharar serupa dengan Riba. Disamping itu transaksi yang mengandung gharar juga setara dengan konsep zero sum game dengan pemberian imbalan yang tidak pasti. Salah satu pembahasan konsep gharar secara detail dari paper ini yang ditulis oleh sami al-suwaelim lebih menyoroti eksistensi “gharar” dan metode identifikasi dan pengukurannya dalam transaksi pertukaran dengan basis fiqh klasik.
I. 1. Urgensi Kajian
Dalam paper ini lebih menyoroti eksistensi “gharar” dan metode identifikasi dan pengukurannya dalam transaksi pertukaran dengan basis fiqh klasik. Meliputi beberapa pembahasan antara lain Bagian 2 menjelaskan tentang konsep dasar dan defenisi dari berbagai istilah yang berkaitan dengan “gharar” seperti game, zero sum-game, dan sebagainya. Bagian 3, penulis mencoba melakukan komparasi antara konsep gharar dan zero sum-game yang dikenal dalam keuangan konvensional. Bagian 4 menampilkan metode pengukuran eksistensi gharar berdasarkan panduan syariah. Bagian 5 memberikan identifikasi terhadap beberapa transaksi yang ”dicurigai” mengandung gharar. Bagian 6 memaparkan tentang aplikasi konsep zero sum-game dalam transaksi keuangan modern. Bagian 7 tentang signifikansi dari konsep zero sum-game dan bagian akhir ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan.
Pelarangan gharar semakin relevan untuk era modern ini karena pasar keuangan modern banyak mengandung usaha memindahkan risiko (bahaya) pada pihak lain (dalam asuransi konvensional, pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian). Dimana setiap usaha (bisnis) pasti memiliki risiko dan tidak dapat dihindari. Sistem inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang melalukan transaksi dalam pasar keuangan.
2. Konsep dan Definisi Gharar
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad. gharar adalah semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan atau keraguan tentang adanya komoditi yang menjadi objek akad, ketidakjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi; pertaruhan, atau perjudian. Seperti dalam paper menurut Zaki Badawi (1998, p. 16) mengenai harga dari gharar suatu hal yang tidak pasti.
2.1. Klasifikasi gharar
Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan konsep resiko.
a. Game
Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh (transaksi pengganti dengan keuntungan).
b. Zero Sum Game
Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.
c. Normal Exchange
Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.
Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka rasionalitas (bersifat duniawi). Dan dari pandangan lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat.
Dimana menurut Islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan. Jadi utilitas individu dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya (interpendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.
d. Risk Concept
Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921) risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur.
Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis. Sementara itu dalam paper al-Suwailem (1999-2000) menggunakan kata risiko untuk segala sesuatu yang tejadi secara tidak pasti di masa depan. Ia membaginya dalam 2 kategori, yaitu:
a. Pasive risk, yaitu risiko yang terjadi di mana benar-benar tidak terdapat perkiraan dan perhitungan yang dapat dipakai. Jadi, hal ini benar-benar suatu teka-teki yang sama sekali tidak diketahui jawabannya. Perkiraan atas risiko ini hanya mengandalkan keberuntungan (game of chance), karenanya seseorang hanya dapat bersifat pasif.
b. Responsive risk, yaitu risiko yang munculnya memiliki penjelasan kausalitas dan memiliki distribusi probabilitas. Risiko jenis ini, karenanya dapat diperkirakan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Memperkirakan risiko responsive ini sering disebut pula game of skill, karena perkiraanya didasarkan atas skill tertentu.
Dalam Islam risiko bisa terjadi dalam sistem profit-share (bagi hasil) kontrak Mudharabah dan Musyarakah, tidak terdapat suatu fixed and certain return sebagaimana dengan konsep bunga, tetapi dilakukan loss and profit sharing berdasarkan produktifitas nyata dari dana tersebut. Meskipun nisbah bagi hasil disepakati pada saat awal, tetapi perolehan riil dari bagi hasil ini baru diketahui setelah dana benar-benar menghasilkan. Jadi, hal yang bersifat pasti dari sistem ini adalah nisbah bagi hasilnya, bukan nilai riil bagi hasilnya. Terdapat kemungkinan fluktuasi dalam bagi hasil yang nyata, tergantung pada produktifitas nyata dari pemanfaatan dana.
Berkaitan dengan risiko, dimana risiko responsif, yang memungkinkan adanya distribusi probabilitas hasil keluaran dengan hubungan kausalitas yang logis. Hal ini biasa diasosiasikan dengan game of skill. Hubungan antara game of chance dengan game of skill, menunjukkan hubungan suatu transaksi investasi itu halal atau haram (dibolehkan atau dilarang). Secara ringkas dapat disimpulkan dalam tabel sbb :
Tergantung pada hasil Tidak tergantung pada hasil
Dengan adanya upaya (game of skill) Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90 Diperbolehkan/ Lawfull
Tanpa adanya upaya (game of chance) Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90 Diperbolehkan/ Lawfull
3. Gharar dan Zero Sum Game
Dalam literatur keuangan, umumnya risiko diukur dengan beta atau standard deviasi. Namun, besaran ini tidak dapat memberikan petunjuk mana yang gharar dan mana yang bukan. Oleh karena itu, dalam analisis ekonomi gharar dapat dijelaskan dengan ukuran objektifnya. Dengan perangkat game theory, dinyatakan bahwa “gharar is simply zero-sum game with uncertain pay off”.
Batasa gharar menurut al-suwaeilem tersebut dinyatakan dalam formula sbb:

Aturan expected utility tersebut akan menghasilkan pertukaran yang saling menguntungkan saat > 0. Dengan kata lain, ini adalah keadaan win-win outcome. Sementara kondisi zero sum game jika ≤ 0. ini juga berarti keadaan win lose outcome, yang berarti satu pihak memperoleh keuntungan pada saat yang sama pihak lain dirugikan. Hal ini terlihat adanya unsur gharar dalam transaksi pertukaran, bisa jadi kedua belah pihak akan mengalami keuntungan secara bersama dalam suatu transaksi dan bisa jadi juga kedua belah pihak akan mengalami kerugian secara bersama dalam suatu transaksi. Jika sudah dapat dipastikan satu pihak untung dan satu pihak lain dirugikan hal ini yang mengakibatkan ketidakjelasan dalam suatu sistem transaksi yang dijalankan. Padahal suatu usaha atau investasi bisa rugi dan untung.
Abbas Mirakhor dan Zamir Iqbal. Pengantar Manajemen Keuangan Islam dari Teori ke Praktik, edisi terjemahahan. Jakarta: Kencana, 2008.
Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing. Mgyasni.niriah.com
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004. hal 193
al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’im. Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1997. hal 555.
Adiwarman, Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. hal 62
Priyonggo & Yudho. Risk and Return Analysis of Investment on Islamic Banking: The Application of VaR and RAROC Methods on Bank Syariah Mandiri. Kolokium SBM ITB, Oktober 2008.
Muhammad. Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2005.
M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, cet. I (Yogyakarta: EKONOSIA, Oktober 2003), hal. 250
Muhammad. Dasar-dasar Keuangan Islam. Cet pertama. Yogyakarta: Ekonisia FE UII, 2004. hal 107.
Muhammad. Dasar-dasar Keuangan Islam, cet pertama. Yogyakarta: Ekonosia FE UII, 2004. hal 108.

Pilkada dan harapan kaum miskin Jambi

Pilkada dan harapan kaum miskin Jambi

Tulisan pheni khalid tentang polisi cepek (2001) yang menginsipirasi tulisan ini, Sopir angkot adalah sebuah pekerjaan di sector informal, pekerjaan ini yang dalam kesehariannya lebih ditujukan pada pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Hampir dapat dipastikan bahwa pembicaraan tentang sopir angkot sering dikaitkan dengan kemiskinan. Dengan kata lain, potensi ekonomi mereka lemah dan kurang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kondisi dan lingkungan hidup. Ada kecendrungan mereka pasrah serta apatis menghadapi masa depan dan menyerah pada nasib (lewis, 1969). Oleh karena itu, dalam perencanaan penataan ruang perkotaan keberadaan mereka cenderung diabaikan, sehingga kepentingan mereka sering dikorbankan untuk kepentingan masyarakat kota yang lain.
Kaum miskin di kota bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan motivasi untuk memperbaiki nasib. Upaya yang mereka lakukan adalah menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan berusaha memperbaiki nasib dengan berupaya beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain (Sethuraman, 1981: 198; breman, 1985: 1740). Golongan miskin, meskipun sebagian besar mencari nafkah di sector informal, penghasilan keluarga mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok bawah pekerja sektor formal. Atas dasar pandangan ini maka potensi ekonomi mereka perlu dipertimbangkan dalam proses pembangunan perkotaan.
Struktur Pekerjaan.
Pekerjaan merupakan variabel paling sulit diterangkan dan dikelompokkan karena begitu beranekaragam, terutama bagi masyarakat miskin yang urban di perkotaan.
Ada dua hal yang perlu dijelaskan dalam tulisan ini dengan mengklasifikasi pekerjaan. Pertama, klasifikasi ISCO tidak membedakan antara pegawai negeri dan pegawai swasta untuk jenis pekerjaan yang sama. Kedua, status pekerjaan diperhatikan secara khusus dalam analisis. Dalam hal ini dibedakan antara mereka yang bekerja untuk pemerintah atau perusahaan.
Sopir taksi dan sopir angkot (yang bekerja untuk seorang majikan dengan system pembayaran berdasarkan setoran) dan sopir mobil, bis atau truk yang bekerja untuk perusahaan dengan gaji yang dibayar menurut setiap perjalanan atau secara tetap setiap minggu atau bulan. Kedua kelompok sopir ini diduga mempunyai tingkat dan stabilitas penghasilan serta jam kerja yang berbeda. Sopir angkot agak cocok dikelompokkan sebagai sector informal daripada formal. Dapat ditambahkan bahwa karena pentingnya tukang ojek di kota-kota, kelompok ini diberikan kode khusus sebagai pekerja angkutan.
Masalah social-ekonomi sopir
Sebuah tradisi yang selalu dirasakan dalam dunia sopir, dimana komunitas sopir ini lebih suka berkumpul dalam lingkup etnis masing-masing, sifat kedesaannya yang dibangun membuat mereka sering tertutup dengan masyarakat lain, pergaulan atas dasar kepentingan ekonomi semata bila mereka bergaul dengan kelompok yang lain.
Kaum miskin di Jambibiasanya timbul, tumbuh dan berkembang disebabkan secara politik terpinggirkan, seringkali mereka dianggap sebagai sebuah penyangga dalam system kekuasaan, bangunan sistem jauh sekali dari nilai nilai kemanusian namun terkadang apakah dapat dianggap adil jika kita telah memberi 0,00..% kekuasaan dan kekayaan kita, jauh lebih kecil nilainya dari apa yang pernah kita dapatkan dari mereka, dan pendapatan itupun terkadang kita lupa.
Dampak industrialisasi di pedesaan beberapa decade ini membantu akselarisasi urbanisasi, akan juga berpengaruh pada pembentukan struktur ruang kerja informal tidak sah dengan peningkatan ruang kerja tersebut telah melampaui batas dan mengkhawatirkan.
Peningkatan untuk beberapa tahun terakhir ini, mengakibatkan pada permintaan bursa kerjanya, yang dalam hal ini telah menciptakan kesulitan yang mendalam bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan sector ini. Kesulitan ini berkaitan masalah penangganan dengan pendekatan memberikan peluang kerja, PKT, JPS dan maupun dari instansi-instansi social lainnya ternyata belum mampu menciptakan bursa kerja informal baru yang sah.
Apalagi berkenaan dengan upaya pengembangan dan penguatan masyarakat, lemahnya pilihan taktis dan strategis dalam upaya pemecahan problem kaum miskin di perkotaan, sehingga yang terjadi justru penegakan kepentingan elit dan lebih mengejar target politik saja dan pemecahan masalahpun terkesan setengah hati.
Kaum-kaum miskin di perkotaan, dengan beberapa masalah, cita-cita atau impian mereka, di antara masalah dan impian itu adalah ;
1. Kelembagaan di tingkat mereka yang masih lemah dengan kemampuan personal yang belum mengerti arah, tujuan, harapan dan cita-cita hidup dan sulit mengangkat martabat dan status social mereka.
2. Kaum miskin kota belum mampu mandiri untuk mengangkat status social-ekonomi mereka sehingga cenderung ketergantungan pada pihak-pihak pemilik modal, sedangkan para pemilik modal memiliki kecenderungan mendiskriminasi, melecehkan, memaksa yang jauh dari nilai-nilai kemitraan dan kemanusian dimana yang seharusnya antara pemilik modal dan pihak pekerja adalah mitra.
3. Kebutuhan akan Penguatan komunitas secara lembaga dan personal bertujuan agar di masa yang akan datang masalah-masalah diskriminasi kebijakan yang terjadi di komunitas ini akan berubah dan masyarakat miskin di Jambibisa berdaya dan mandiri.
Masyarakat miskin di Jambi itu unik dengan berbagai problematika sosialnya, perlu untuk dikupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka, mengembangkan system nilai solidaritas sosial pasca pilkada.
Pasca Pilkada ini diharapkan dapat memberi nuansa baru dalam gerakan pemberdayaan masyarakat miskin bersama-sama dengan komunitas miskin yang punya kepedulian dalam pengembangan dan penguatan Masyarakat miskin tersebut, lihat saja salah satu yang kita anggap masyarakat miskin yaitu komunitas sopir angkot.
Masalah-masalah sosial-politik dan ekonomi yang merupakan bagian dari masalah sopir ini diantaranya pertama, Penambahan armada yang terus saja terjadi sebagaimana kebutuhan pemilik modal, dan terkadang tidak mementingkan para sopir, kedua, Peremajaan mobil yang tidak pernah diindahkan oleh para pemilik modal, walau aturan dari organda telah membuat aturan tentang peremajaan mobil per 10 tahun.

LAGI TENTANG EKONOMI SYARIAH

Oleh: Sucipto
Penulis Adalah dosen Ekonomi Islam IAIN STS Jambi

Indonesia Sejak dulu kala
Sejak awal kelahirannya Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berdaulat telah berkomitmen pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya yang terbukti dengan masuknya pasal-pasal yang berintikan pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Awal berdirinya hingga kini sejarah panjang telah terjadi, baik erosi nilai-nilai moral dalam ekonomi maupun manipulasi oleh minoritas kelompok atas prinsip keadilan sosial padahal justru berseberangan dengan apa yang termaktub dalam pancasila dan UU tahun 1945.
Landasan awal tentang prinsip ekonomi kerakyatan misalnya telah di usulkan M.Hatta, namun disisi lain minoritas anak bangsa yang berimpikan pada perwujudan keadilan ekonomi, menentang penindasan dan ekploitasi kaum kapitalis atas resourches bangsa ini. Dengan melihat fakta sejarah, timbulnya pergerakan untuk merebut kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, yang ini juga ditunjukkan oleh banyak perkumpulan anak bangsa ini yang berkomitmen pada keadilan sosial dan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat. Menurut mereka keadilan tidak akan terwujud bila tidak direbut, mereka menentang semua bentuk kolonialisme ekonomi yang bersembuyi dalam kolonialisme politik.
Bisa dilihat dalam sejarah bangsa yang besar ini bahwa bangsa ini gandrung akan keadilan menginginkan kesejahteraan ekonomi dan kemakmuran hidup. Perlawanan atas Belanda adalah bukan saja perlawanan pada kolonialisme itu namun juga adalah perlawanan atas diktatorisme ekonomi dan ekploitasi atas bangsa ini secara keseluruhan. Makanya pahlawan-pahlan kita memberontak untuk membangun bangsa yang beradab, adil dan makmur.
Awal-awal terbentuknya bangsa ini memiliki Visi ideal sebagai sebuah bangsa yang ingin besar dalam menjunjung nilai-nilai dan moral ekonomi bagi kesejahteraan bangsa. Namun dalam perjalanan sejarahnya cita-cita suci dan ideal itu hanya menjadi isapan jempol, kesejahteraan masyarakat tak terwujud malahan kesenjangan sosial menjadi-jadi di sana-sini.
Sejak kemerdekaan hingga tumbangnya rezim orde lama, tidak kelihatan Indonesia sebagai bangsa yang besar, secara ekonomi sejahtera, yang ada hanya intrik politik yang terus berkembang, padahal bila melihat pada sumber daya alam yang tersedia, adalah cukup untuk mewujudkan cita-cita ideal itu.
Bahkan setelah orde lama datanglah orde baru dengan banyak komitmen ekonomi, namun yang terjadi asset negara dikuasai oleh minoritas orang saja, tidak terjadi pemerataan, rakyat menjadi lemah dan terkulai dalam jeruji besi kemiskinan, tak mampu keluar, apalagi melawan, yang terjadi adalah sosial-gap, jobless dan kemiskinan, padahal bangsa yang besar itu adalah bangsa yang mayoritas muslim, muslim yang memahami nilai-nilai syariat Islam. Nilai zakat untuk keadilan sosial, infak, sedekah, dan pajak yang dalam pemikiran ekonomi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat menuju kemakmuran bangsa.
Apa yang salah? Bila kita merujuk pada pemikiran Rasulullah SAW, yang mana pada awal-awal Islam tampil dalam upaya memerangi kemiskinan, ketidak adilan dan kejujuran dalam sosial ekonomi, bahkan dalam khutbah-khutbah awalnya berisi kecaman pada para kapitalis mekah saat itu, yang cenderung jual beli dengan riba. Peran zakat pada awal-awal Islam telah berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan, kesadaran umat pada saat itu dalam memerangi kemiskinan sangat jelas sekali apalagi dukungan pada sikap tolong menolong sesama muslimpun menjadi kebiasaan bangsa Arab kala itu.
Pandangan yang khilaf atau Keliru.
Beberapa kelompok intelektual muslim mengatakan semua ini terjadi karena distorsi terhadap makna agama. Benarkah? Kalau ya kita semua harus beristighfar, Karena agama itu suci. agama yang mana agama yang suci itu ? Agama yang bermazhab “logika” atau agama logika rasa?
Agama yang mesti dijunjung tinggi itu adalah agama yang “membumi”, agama yang sangat diharap dan dinanti-nantikan adalah agama yang mampu menjawab problem-problem pasar dan dapat membuka diri terhadap persoalan-persoalan pasar tersebut, tapi ke depan, kita harus take a care bukan pada negara yang totaliter atau kembalinya militer ke dalam pemerintahan atau pada negara adidaya Amerika tetapi yang harus dipikirkan bagaimana membendung pasar bebas dengan berbagai effectnya bagi kehidupan sosio-ekonomi-politik bangsa ini. Disini akan terlihat agama kaum-kaum borjuis baru menguat dengan perilaku moral yang jauh daripada sentimen moral, berwatak penindas dan ekploitatif, penindas dan ekploitasi terhadap apa saja, bisa menindas dan ekploitasi atas hak-hak ekonomi, agama dan juga bisa menindas dan mengekploitasi atas kebebasan ekonomi dan ketidaksadaran ekonomi politik kita, logika rasa kemanusian kita didistrosi oleh logika lain yang memiliki implikasi ekonomi bukan bagi rakyat negeri ini namun cenderung opurtunity atas semua hak-hak kita yang telah dilindungi oleh UU.
Bukan lagi pertentangan antara pemahaman yang satu dengan pemahaman yang lain, hal ini lumrah karena terus akan lahir sepanjang sejarah perkembangan pemikiran manusia, tapi pertentangan kita ke depan adalah pertentangan pasariyah dan ghoiru pasariyah. Yang akan terkebelakang adalah mereka yang tak memiliki akses ekonomi bukan persaingan yang harus ditakuti atau budaya dari pasar itu.
Tapi dengan bahasa lain masyarakat ditakut-takuti dengan dampak dari pasar itu adalah globalisasi budaya, yang mesti di filter adalah globalisasi ekonomi, globalisasi pasar dan globalisasi kapital pada sekelompok minoritas? Agama pasar tak akan terlawankan bila tak di filter dengan cara pengguatan pasar yang memiliki etika dan moral politik ekonomi Islam. Bagaimana bangsa yang besar ini akan keluar dari kungkungan penjara kapitalis, bila kita takut untuk menyatakan perang terhadap pasar. Perang bukan berarti mengangkat senjata perlawanan, atau menutup kran investasi atau mungkin boikot atas produk asing. Namun perang adalah melawan dengan meningkatkan produktifitas investasi dalam negeri yang Islami, membangun enterpenuer-enterprenuer Islami, perang atas semua bentuk bunga, menguatkan manajemen zakat dan banyak lagi yang dapat diperbuat untuk memerangi Agama Pasar.
Oleh karena itu tak akan dapat dilawan agama borjuis itu bila yang dipertentangan umat hanya soal-soal pemikiran bukan soal nilai-nilai dasar yang akan menguatkan cara ritualisasi pasar.
Berangkat daripada Asumsi para ilmuwan bahwa bila menguatnya rakyat peran politik masyarakat maka ke depan masyarakat mudah untuk dipasarbebaskan pemikiran dan pemahaman mereka, lewat ketidaksadaran kolektif mereka, melalui menguatnya kelompok-kelompok masyarakat yang telah tersadarkan oleh demokrasi, keadilan ham, dan banyak lagi atas nama keadilan social, yang apakah keadilan yang mereka anggap itu memang Islami.
Bila bangsa ini terus larut dalam permasalahan klasik Maka yang akan muncul di tengah masyarakat adalah kelompok yang kuat menindas yang lemah, kekuatan baru yang akan menindas itu adalah kaum-kaum borjuis baru, karena yang akan berkuasa pada saat pasar bebas itu adalah agama yang difahami kaum borjuis. Yang menjunjung tinggi Demokrasi, Ham dan sebagainya, yang saat ini terus diwarisi lewat banyak program, yang intinya adalah untuk menghantarkan masyarakat Indonesia ke dalam penjara besar pasar bebas yang tak memiliki rasa kemanusian terhadap delapan asnaf dan bahkan umat manusia seluruhnya. Akan berada dalam lingkaran imprealisme ekonomi, liberalisme ekonomi dan neo-kolonialisme.
Negara-negara berkategori negara terkebelakang (Underdevelopmentalisme) akan menjadi negara jajahan dan kekayaan alamnya akan di rampas, dan utang-utangnya harus dibayar dengan bunga besar, bahkan negara-negara berkembang secara politik terus diintervensi. Baik soal perencanaan program negara. Bahkan kebijakan-kebijakn ekonomi akan diatur dan sekarang kita telah diatur oleh pasar.
Maka disini apakah kita harus takut pada budaya barat yang masuk ke sendi-sendi jantung kita atau pada ancaman kefakiran yang merajalela? atau kenapa tak pernah disadari bahwa tranformasi budaya akan hanya terjadi dalam masyarakat yang tak memiliki peradaban yang lemah, hanya sekedar isapan jempol bila perkataan saidina Ali : “kada al-fakru aiyakuna kufran”, yang dapat diartikan bahwa yang mesti diantisipasi itu adalah kefakiran yang akan menjadikan orang kufur.
Walau dalam banyak tafsiran tentang fakir, apakah fakir ini fakir harta atau fakir ibadah? ya dapat dibenarkan keduanya, tapi yang terpenting dalam tulisan ini fakir dapat membuat orang menuhankan harta sehingga ia menjadi lupa pada kewajiaban agamanya..
Borjuisasi Agama, Pasar dan rakyat
Agama borjuis, akan melahirkan kendala yaitu pertentangan kelas antara proletar dan borjuis. Sebahagian teman-teman yang berfaham sosialisme sangat menolak faham kapitalis yang cenderung mengekploitasi tenaga manusia, akal manusia, dan bahkan agama manusia lewat kapital atau kekayaan yang mereka miliki. Karena dalam pemahaman kaum kapitalis, yang berkuasa hanya kekayaan. Kekayaanlah yang memiliki nilai. Manusia, alam, sumber-sumber ekonomi dan tenaga manusia hanyalah alat untuk menuai kekayaan.
Dengan kekayaan akan dapat membeli apa saja, agama dalam masyarakat kapitalis hanya symbol saja, sekapitalis apapun manusia akan mengekang manusia untuk melakukan perubahan, karena perubahan tidak dapat terjadi sebab kekayaan yang ada hanya beredar di dalam komoditas kaum borjuis saja. Kesejahteraan tidak akan terwujud, apalagi keadilan distributive dan keadilan ekonomi hanya lift service saja, yang pada akhirnya rakyat menjerit karena utang, kelangkaan sumber ekonomi, masalah social-ekonomi gap dan monopoli kekayaan menjadi kewajaran dan lumrah terjadi, tak ada yang dapat mengeluarkan masyarakat dari penjara besar koloniliasime baru.
Borjuisasi sudah merupakan faham-plus sebahagian besar manusia. Bahkan saat ini separo penduduk dunia menganut kapitalisme sebagai “agama”. Watak sifat karakter dalam style of life yang cenderung konsumeris, dalam krisis melanda duniapun mereka semakin mewah gaya hidupnya bahkan daya beli masyarakat pun meningkat. Tidak peduli krisis melanda yang penting mereka bisa mengkonsumsi apapun yang mereka suka, mereka menganggap dengan kekayaan yang dimilikinya mereka bebas pergi keluar negeri untuk sekedar rekreasi. Tanpa mempedulikan sekelilingnya masyarakat menjerit untuk hidup.
Kapitalisme itu telah membudaya dan diwarisi terus menerus bahkan budaya itu telah menjadi ideology masyarakat. Mungkinkah satu saat nanti ideology itu kan mengalami perkembangan yang pesat sampai menjadi sebuah agama baru yaitu agama kaum borjuis, Apakah justru menjadi akhir dari kapitalisme?

Ekonomi Islam di Indonesia
Sejarah di Indonesia mencatat bahwa pada tanggal 3 November 1991 di halaman belakang Istana Negara di Bogor, telah ditetapkan sebagai hari bersejarah dalam pembentukan Bank Islam di Indonesia yang kemudiannya disebut dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kesaksian sejarah ini diperkuat oleh hadirnya H. Mohammad Soeharto, Kepala Negara/Presiden Republik Indonesia berserta Menteri Kabinet Pembangunan VI dan para Ulama dan Masyarakat yang sejak awal telah merintis pemikiran tentang perlunya Bank Islam di Indonesia. Operasionalisasinya bertumpu pada Undang-undang Perbankan Nomor. 7 Tahun 1992, dan didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil. Sejarah ini membuktikan bahwa tatanan baru untuk landasan bekerja dan berkarya bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam telah memperoleh landasan hukum yang memadai. Bagi mereka yang tidak beragama Islam, juga akan memperoleh manfaat yang besar karena Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Dan lingkungan strategis ini telah diketahui oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang berhasrat untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu dan sistem ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita kini dapat menyaksikan hadirnya Bait al Maal wa at Tamwil (BMT) yang tumbuh dengan cepat dan berhasil menolong kaum duafa. Oleh para pakar ekonomi dan sosiologi BMT dipadukan dengan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Lembaga ekonomi ini kemudian diperkaya dengan Asuransi Takaful. Tahap berikutnya, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), dibahaslah Reksadana Syariah melalui suatu Lokakarya di Jakarta dalam bulan Juli 1997. Reksadana (mutual funds) dianggap sebagai suatu komponen dalam sistem ekonomi Islam secara keseluruhannya yang bertugas untuk memperkaya lembaga ekonomi Islam yang kini telah ada, yakni Bank Islam, yang disebut dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Asuransi Takaful.
Giliran pertanyaan berikutnya ialah tentang peranan pendidikan dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu ekonomi Islam dan Bank Bagi Hasil tersebut. Apa yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar, tentunya berbeda dengan apa yang seharusnya diajarkan kepada siswa Sekolah Menengah Umum. Akan sangat berbeda apabila hal itu dikaji dan diajarkan kepada mahasiswa di Perguruan Tinggi. Keterpaduan peran antara dunia pendidikan dan peran masyarakat sehari-hari, terutama dalam berekonomi, merupakan tantangan tersendiri yang perumusan jalan keluarnya tiada lain melalui proses belajar.
Jatuhnya tampuk pemerintahan Presiden Soeharto 21 Mei 1998 sebagai akibat dari runtuhnya sistem perekonomian rezim Soeharto, merangsang kita semua untuk mengkaji ulang sistem perekonomian kapitalis dan menggantikannya dengan sistem ekonomi alternatif. Ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa sistem perekonomian yang berlangsung selama 30 tahun itu bisa runtuh begitu cepat? apa rahasianya?
Ke enam pertanyaan itu melatari tumbuhnya hasrat masyarakat untuk mempelajari ilmu dan sistem ekonomi Islam dan peluang ini harus diisi oleh mereka yang berkesempatan untuk menulis dan mengajarkannya kepada mereka yang sedang haus belajar itu. Wallahul A’lam

“MENGURAI TEOLOGI EKONOMI ISLAM”

Oleh: Sucipto, MA
Dosen Ekonomi Islam IAIN STS Jambi

Teologi dan tauhid
Teologi berasal dari kata theo berarti tuhan dan logi berarti ilmu. Logi atau ilmu memiliki tiga arti knowledge, skill dan ability. Theo dan ke tiga makna logi berpadu menjadi pemahaman yang comfrehensif, pertama, theo dan Knowledge yang satu merupakan pengetahuan basic berbentuk teori. Ke dua, theo dan skill merupakan kecakapan, kepandaian, ketrampilan untuk menunjukkan (to show something in) keahlian yang dimiliki pada diri seseorang tentang Tuhan, talenta dalam menafsirkan makna believing god dalam konteks sosial, ekonomi dan politik dan ke tiga, theo dan ability sebagai kecakapan, bakat, kemampuan, ketangkasan dan kesanggupan merujuk pada inner beauty seseorang yang berasal dari fua’da, lubba dan qolb, untuk sampai pada inner tersebut maka diperlukan knowledge, skill, ability dan logi, karena beberapa dalil atau petunjuk tentang makna-makna tersebut jelas adanya semisal sebuah petunjuk yang diimani oleh teolog man arafa nafsah faqod arafa rabbaha (barang siapa yang mengetahui tentang dirinya maka dia akan mengetahui siapa tuhannya).
Oleh karena itu Teologi ekonomi Islam berbasis pada Al Quran sebagai filsafat fundamental dari ekonomi Islam (39:38), hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi (taqdiri), baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dalam konteks ini Masudul ‘alam Chudury, tauhid adalah unity dari sebuah repleksi ketuhanan dimana manusia dalam ekonomi syariah harus mengamalkan relasi di antara manusia sekaligus manifestasi relasi dengan Tuhan. Tidak boleh tidak secara Praktis tauhid ekonomi atau teologi ekonomi islam itu didasarkan pada prinsip social justice.
Makanya prinsip teologi ekonomi Islam itu menghubungkan kewajiban kita kepada manusia juga merupakan kewajiban kita kepada Allah SWT. Allah Swt sebagai Tuhan memiliki banyak hak, sebagai hamba Tuhan, manusia memiliki kewajiban memenuhi hak Tuhan atas kita. Tuhan memiliki hak ekonomi, memenuhi hajat hidup orang banyak, meningkat taraf hidup, melawan setiap monopoli asset-aset ekonomi Tuhan pada sepasang tangan.
Dalam tradisi klasik bertuhan adalah hubungan makhluk dengan sang khalik, “hubungan yang privacy”, antara seorang hamba dengan Tuhannya lebih dekat dari “urat leher” saat berada dalam bilik sempit, gelap dan sepi. Dalam bahasa arabnya dikenal dengan berkhalwat, sebuah metode untuk saat ini perlu improvisasi, sehingga praktek teologis dalam kehidupan modern sarat dengan masalah yang kompleks dan paradok, maka bertuhan bagi manusia modern proxy semua aktivitas mampu memberikan nuansa spritualitas, bukan hanya dalam dasar kognitif saja namun mungkin dalam tataran teologis.
Teologi ekonomi atau Tauhid ekonomi
Dalam konteks ini Ismail Al-Faruqi mengatakan, Tauhid-lah sebagai prinsip utama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” yang pertama, dan Islam yang melembagakan gerakan sosialis pertama. Islam (dengan konsep tauhid) telah melakukan lebih banyak keadilan sosial dan pengembalian martabat manusia. Konsep dan pengertian yang canggih ini ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini.
Di antara pemikiran tentang konsep tauhid menjadi dasar ekonomi, ia bermakna kesatuan (unit), dalam konteks ekonomi yang diringkas hal yang terpenting dari seluruh essensi, basis dan dasar ekonomi Islam itu mengajarkan manusia bagaimana berhubungan dan mengadakan usaha dengan orang lain dalam cahaya dari hubungan dengan Allah SWT.
Dalam tataran ini yang disebut teologi ekonomi Islam. Sebagaimana Agustianto teologi ekonomi Islam yang berbasiskan tauhid tadi, mengajarkan dua pokok utama : Pertama, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam pandangan teologi Islam, sumber daya-sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bias menghitungnya”. (QS. 14:34). Sehingga sumber daya tersebut tidak akan terjadi kelangkaan (scarcity). Kelangkaan-kelangkaan sumber daya yang kita alami tidak dapat disimpulkan dari kelangkaan dari sumber-sumber daya yang ada tetapi kelangkan tersebut terjadi karena mismanage, salah kelola potensi sumber daya alam yang ada. Salah kelola sumber daya yang ada bisa saja terjadi dikarenakan supplayless, unbalanced distribution, bearing sources dan monopoly.
Amartya Sen, peraih nobel dalam bidang ilmu ekonomi kesejahteraan dalam bukunya on ethic and economic menjelaskan ilmu ekonomi itu memiliki dua asal usul yang keduanya terkait dengan politik, meskipun dengan cara yang berbeda, pertama etika, dan kedua berasal dari rekayasa. Asal usul yang kedua dari ilmu ekonomi adalah pendekatan rekayasa, pendekatan ini ditandai dengan usaha manusia dalam melakukan pencapaian untuk memodifikasi suatu model ekonomi demi tujuan mencapai kesejahteraan social. Baik bersifat teknis yang digunakan dalam policy Negara atau pun analisis matematika statistika ekonomi memiliki peran dalam perkembangan ilmu ekonomi itu sendiri. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah pendekatan etis dan rekayasa yang menjadi asal usul ilmu ekonomi tersebut dapat mencapai suatu masyarakat ideal.
Dalam hal ini etika yang menyangkut perilaku-perilaku rasional manusia akan berhadapan dengan kepentingan diri, apa yang didahulukan antara perilaku rasional etis atau kepentingan diri?
Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu melakukan pembenaran dengan jargon bahwa sumber daya alam terbatas (limited). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidak adilan sumber daya (ekonomi).
Secara teologis Islam memiliki tatacara muamalah, dimana muamalah didasarkan pada prinsip tauhid, bahwa kekayaan alam ini adalah anugrah dari sang pencipta dan bukanlah mutlak milik manusia, sehingga ada anjuran lain yang lebih penting yakni bermuamalah dengan moral etika yang diinterpretasikan dari teologi.
Tak terhitung banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan bahwa alam dan seluruh isinya disediakan untuk kepentingan manusia. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif juga untuk kehidupan manusia.
Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan (QS. 17:35) dan serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan generasi mendatang. Misalnya mengeksploitir sumber minyak lalu meninggalkan sumurnya kering sepanjang satu generasi, atau menjadikan lahan kering kerontang dan menguras habis barang-barang tambang yang menjadi jatah generasi mendatang karena alasan kemakmuran saat ini atau mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perbuatan memutlakkan waktu sekarang, tanpa memikirkan masa depan, termasuk bentuk hubungan dominasi dan eksploitatif. Hal itu sama saja dengan melupakan prinsip bahwa setiap individu dan masyarakat adalah bagian dari keseluruhan umat manusia.
Tidak seorangpun, bahkan pemerintah sekalipun, berhak mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan satu generasi tertentu.
Kedua, Tauhid sebagai landasan ekonomi Islam bermakna bahwa semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Hanya Allah yang mengatur segala sesuatu, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, sistem dan perolehan rezeki. Realitas kepemilikan mutlak tidak dapat dibenarkan oleh Islam, karena hal itu berarti menerima konsep kepemilikan absolut, yang jelas berlawanan dengan konsep tauhid.
Selanjutnya, konsep tauhid mengajarkan bahwa Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk dan semua makhluk tunduk kepadanya. Salah satu makhluk yang diciptakannya adalah manusia yang berasal dari substansi yang sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama (musawat) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukkan oleh Allah bagi manusia sebagai sumber manfaat ekonomis (QS 6: 142-145), 16: 10-16).
Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia, yang merupakan implikasi dari tauhid. Konsep persamaan manusia, menunjukkan bahwa Islam mengutuk manusia yang berkelas-kelas. Maka, implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh, dan mudharabah (profit and lost sharing). Dokter egalitarian seperti itu, jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang individualistis.
Meskipun sumber daya yang tersedia untuk manusia adalah pemberian Tuhan dan manusia hanyalah sekedar pihak yang diberi amanah karena pemilik mutlak adalah Allah, hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan kepemilikan pribadi. Islam tetap mangakui kepemilikan pribadi, tetapi tidak bersifat absolut (hakiki), karena pemilik sebenarnya adalah Allah SWT. Manusia hanyalah pemilik relatif.
Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pertama, bahwa sumber daya di peruntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (QS. 2:29). Sumber-sumber itu harus digunakan dengan adil untuk kesejahteraan semua orang secara meenyeluruh. Penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir orang tertentu, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Dalam prinsip Islam, kesejahteraan bukan hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain secara menyeluruh. Dengan demikian, seseorang sebagai pengemban amanah, tidak akan menjadi egois, rakus, jahat, dan bekerja untuk kesejahteraan dirinya sendiri.
Kedua, setiap orang harus memperoleh sumber-sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan hasil kolusi dan cara-cara curang lainnya. Bertindak secara tidak fair adalah melanggar fungsi kekhalifahan manusia.
Keempat, tidak seorang pun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber-sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al Quran disamakan dengan fasad (kerakusan, kejahatan dan korupsi) yang dilarang Tuhan (QS. 2:205). Karena itu ketika Abu Bakar, mengirim Yazid bin Abi Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh-tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah musuh. Wallahu ‘alam

TA’RIF EKONOMI ISLAM

1. Pada mulanya istilah ekonomi memiliki arti mengatur rumah tangga. Menurut etimologi, ia berasal dari oikonomeia (Greek atau Yunani). Kata oikonomeia berasal dari dua kata : oikos yang berarti rumah dan nomos yang berarti aturan. Kita kini dapat mengatakannya sebagai ilmu ekonomi, yang berarti ilmu mengatur rumah tangga, yang dalam bahasa Inggris disebutnya sebagai economics. Secara terminologi, oleh Samuelson (1973), ilmu ekonomi didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Pada uraian selanjutnya kita akan menggunakan kata rumah tangga dalam rumah tangga somah, rumah tangga masyarakat, dan rumah tangga negara. Ini berarti bahwa kegiatan itu melibatkan anggota keluarga yang mampu dalam menghasilkan barang dan jasa, pada gilirannya seluruh anggota keluarga yang ada ikut menikmati apa yang mereka peroleh. Kegiatan ini kemudiannya menyebar ke seluruh populasi rumah tangga yang kemudian menjadi suatu kelompok yang diperintah oleh pemerintahan suatu negara. Karena itu yang dimaksud kata “Ekonomi” di sini bukanlah makna bahasa yang berarti hemat. Juga bukan berarti kekayaan. Akan tetapi dimaksudkan sebagai makna istilah untuk suatu sebutan tertentu, yaitu kegiatan mengatur urusan harta kekayaan. Pengaturan urusan rumah tangga ini mencakup tiga sub sistem yang secara keseluruhannya disebut sistem ekonomi. Urusan memperbanyak kekayaan dan memelihara peng-adaannya disebut sub sistem produksi, tata cara mengkonsumsikannya disebut sub sistem konsumsi, dan yang berhubungan dengan tata cara pendistribusiannya tercakup dalam sub sistem distribusi.
2. Apa yang dapat dicermati apabila definisi (ta’rif) ekonomi tersebut di atas kita kaitkan dengan pengertian agama (dien; religion). Agama menurut Reville didefinisikan sebagai The determination of human life in accordance with a bond between the human soul and a mysterious Soul, whose domination over himself and the world man recognizes and to Whom he likes to feel attached. Sedangkan Michel Mayer mendefinisikan agama sebagai The set of beliefs and precepts which must guide us in our conduct toward God, other people and toward ourselves. Singkatnya, menurut M. Abdullah Draz agama dapat dikatakan sebagai a chart of conduct (peta aturan perbuatan).
Dari definisi tentang agama, kita kini dapat mencermati bahwa bidang-bidang pembahasan dalam ekonomi yang mencakup produksi, konsumsi dan distribusi merupakan sub-gugus dari agama (dien). Oleh karena itu kita dapat memaklumi apabila ada yang berpendapat bahwa setiap agama seharusnya mempunyai cara-cara tentang bagaimana manusia mengorganisasi kegiatan ekonominya.
3. Niat untuk memajukan ekonomi, memproduksi barang dan jasa dalam kegiatan produksi, dan mengkonsumsi hasil-hasil produksi serta mendistribusikannya, dengan demikian, seharusnyalah berpijak kepada ajaran agama. Artinya, apabila kita mengacu pada ajaran Islam, tujuan hidup mardatillah harus mendasari (mengilhami dan mengarahkan) konsistensi antara niat (li Allah ta ala) dan cara-cara untuk memperoleh tujuan berekonomi (kaifiat). Dalam kaitan ini, M.M. Metwally mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai, ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al-Quran, as-Sunnah, Qiyas dan Ijma.
Ia memberikan alasan bahwa dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat dikendalikan kearah bagaimana memenuhi kebutuhan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Dalam Islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan oleh karena itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia yang sekaligus sebagai amal ibadah setiap individu kepada Tuhannya. Ekonomi dengan demikian, merupakan ilmu dan sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan berkecukupan itu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks kemaslahatan bersama.
Tak jauh berbeda dengan M.M. Metwally, Muhammad Abdul Manan berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam. Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Dari uraian tersebut di atas, agaknya kita dapat merangkumkan ta’rif ilmu ekonomi Islam, juga di sini kami sebut dengan Ekonomika Islam (Islamic Economics), yang akan lebih sering digunakan dalam buku kecil ini, ialah bahwa Ekonomika Islam adalah ilmu yang mempelajari tata kehidupan kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridla Allah.
Tarif ini mencakup tiga domein, yakni domein tata kehidupan, domein pemenuhan kebutuhan, dan domein ridla Allah. Semuanya ini diilhami oleh nilai-nilai Islam yang bersumberkan al-Quran, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Tar’if ilmu ekonomi Islam yang memadukan tiga domein itu menunjukkan konsistensi antara niat (li Allah), kaifiat (cara-cara) dan ghayah (tujuan) dari setiap insan.

HAYALAN KAYA

Hayalan Kaya (cerita)
skebanyakan cerita yang berdasarkan fiksi, sering dijadikan motivasi, kreasi dan inovasi sseorang dalam berkarya.cerita ini juga sebenarnya menginginkan hal ini..semoga bermanfaat dan anda bisa
Baca selengkapnya di sini