Pengukuran Gharar dalam Transaksi
Identifikasi dan Pengukuran Gharar dalam Transaksi Pertukaran
I. Pendahuluan
Aspek Gharar sudah diatur dalam hukum Islam, zaki badawi (1998) menjelaskan gharar suatu yang tidak pasti. Dan menurut vogel (1998) gharar serupa dengan Riba. Disamping itu transaksi yang mengandung gharar juga setara dengan konsep zero sum game dengan pemberian imbalan yang tidak pasti. Salah satu pembahasan konsep gharar secara detail dari paper ini yang ditulis oleh sami al-suwaelim lebih menyoroti eksistensi “gharar” dan metode identifikasi dan pengukurannya dalam transaksi pertukaran dengan basis fiqh klasik.
I. 1. Urgensi Kajian
Dalam paper ini lebih menyoroti eksistensi “gharar” dan metode identifikasi dan pengukurannya dalam transaksi pertukaran dengan basis fiqh klasik. Meliputi beberapa pembahasan antara lain Bagian 2 menjelaskan tentang konsep dasar dan defenisi dari berbagai istilah yang berkaitan dengan “gharar” seperti game, zero sum-game, dan sebagainya. Bagian 3, penulis mencoba melakukan komparasi antara konsep gharar dan zero sum-game yang dikenal dalam keuangan konvensional. Bagian 4 menampilkan metode pengukuran eksistensi gharar berdasarkan panduan syariah. Bagian 5 memberikan identifikasi terhadap beberapa transaksi yang ”dicurigai” mengandung gharar. Bagian 6 memaparkan tentang aplikasi konsep zero sum-game dalam transaksi keuangan modern. Bagian 7 tentang signifikansi dari konsep zero sum-game dan bagian akhir ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan.
Pelarangan gharar semakin relevan untuk era modern ini karena pasar keuangan modern banyak mengandung usaha memindahkan risiko (bahaya) pada pihak lain (dalam asuransi konvensional, pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian). Dimana setiap usaha (bisnis) pasti memiliki risiko dan tidak dapat dihindari. Sistem inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang melalukan transaksi dalam pasar keuangan.
2. Konsep dan Definisi Gharar
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad. gharar adalah semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan atau keraguan tentang adanya komoditi yang menjadi objek akad, ketidakjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi; pertaruhan, atau perjudian. Seperti dalam paper menurut Zaki Badawi (1998, p. 16) mengenai harga dari gharar suatu hal yang tidak pasti.
2.1. Klasifikasi gharar
Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan konsep resiko.
a. Game
Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh (transaksi pengganti dengan keuntungan).
b. Zero Sum Game
Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.
c. Normal Exchange
Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.
Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka rasionalitas (bersifat duniawi). Dan dari pandangan lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat.
Dimana menurut Islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan. Jadi utilitas individu dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya (interpendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.
d. Risk Concept
Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921) risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur.
Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis. Sementara itu dalam paper al-Suwailem (1999-2000) menggunakan kata risiko untuk segala sesuatu yang tejadi secara tidak pasti di masa depan. Ia membaginya dalam 2 kategori, yaitu:
a. Pasive risk, yaitu risiko yang terjadi di mana benar-benar tidak terdapat perkiraan dan perhitungan yang dapat dipakai. Jadi, hal ini benar-benar suatu teka-teki yang sama sekali tidak diketahui jawabannya. Perkiraan atas risiko ini hanya mengandalkan keberuntungan (game of chance), karenanya seseorang hanya dapat bersifat pasif.
b. Responsive risk, yaitu risiko yang munculnya memiliki penjelasan kausalitas dan memiliki distribusi probabilitas. Risiko jenis ini, karenanya dapat diperkirakan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Memperkirakan risiko responsive ini sering disebut pula game of skill, karena perkiraanya didasarkan atas skill tertentu.
Dalam Islam risiko bisa terjadi dalam sistem profit-share (bagi hasil) kontrak Mudharabah dan Musyarakah, tidak terdapat suatu fixed and certain return sebagaimana dengan konsep bunga, tetapi dilakukan loss and profit sharing berdasarkan produktifitas nyata dari dana tersebut. Meskipun nisbah bagi hasil disepakati pada saat awal, tetapi perolehan riil dari bagi hasil ini baru diketahui setelah dana benar-benar menghasilkan. Jadi, hal yang bersifat pasti dari sistem ini adalah nisbah bagi hasilnya, bukan nilai riil bagi hasilnya. Terdapat kemungkinan fluktuasi dalam bagi hasil yang nyata, tergantung pada produktifitas nyata dari pemanfaatan dana.
Berkaitan dengan risiko, dimana risiko responsif, yang memungkinkan adanya distribusi probabilitas hasil keluaran dengan hubungan kausalitas yang logis. Hal ini biasa diasosiasikan dengan game of skill. Hubungan antara game of chance dengan game of skill, menunjukkan hubungan suatu transaksi investasi itu halal atau haram (dibolehkan atau dilarang). Secara ringkas dapat disimpulkan dalam tabel sbb :
Tergantung pada hasil Tidak tergantung pada hasil
Dengan adanya upaya (game of skill) Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90 Diperbolehkan/ Lawfull
Tanpa adanya upaya (game of chance) Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90 Diperbolehkan/ Lawfull
3. Gharar dan Zero Sum Game
Dalam literatur keuangan, umumnya risiko diukur dengan beta atau standard deviasi. Namun, besaran ini tidak dapat memberikan petunjuk mana yang gharar dan mana yang bukan. Oleh karena itu, dalam analisis ekonomi gharar dapat dijelaskan dengan ukuran objektifnya. Dengan perangkat game theory, dinyatakan bahwa “gharar is simply zero-sum game with uncertain pay off”.
Batasa gharar menurut al-suwaeilem tersebut dinyatakan dalam formula sbb:

Aturan expected utility tersebut akan menghasilkan pertukaran yang saling menguntungkan saat > 0. Dengan kata lain, ini adalah keadaan win-win outcome. Sementara kondisi zero sum game jika ≤ 0. ini juga berarti keadaan win lose outcome, yang berarti satu pihak memperoleh keuntungan pada saat yang sama pihak lain dirugikan. Hal ini terlihat adanya unsur gharar dalam transaksi pertukaran, bisa jadi kedua belah pihak akan mengalami keuntungan secara bersama dalam suatu transaksi dan bisa jadi juga kedua belah pihak akan mengalami kerugian secara bersama dalam suatu transaksi. Jika sudah dapat dipastikan satu pihak untung dan satu pihak lain dirugikan hal ini yang mengakibatkan ketidakjelasan dalam suatu sistem transaksi yang dijalankan. Padahal suatu usaha atau investasi bisa rugi dan untung.
Abbas Mirakhor dan Zamir Iqbal. Pengantar Manajemen Keuangan Islam dari Teori ke Praktik, edisi terjemahahan. Jakarta: Kencana, 2008.
Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing. Mgyasni.niriah.com
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004. hal 193
al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’im. Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1997. hal 555.
Adiwarman, Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. hal 62
Priyonggo & Yudho. Risk and Return Analysis of Investment on Islamic Banking: The Application of VaR and RAROC Methods on Bank Syariah Mandiri. Kolokium SBM ITB, Oktober 2008.
Muhammad. Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2005.
M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, cet. I (Yogyakarta: EKONOSIA, Oktober 2003), hal. 250
Muhammad. Dasar-dasar Keuangan Islam. Cet pertama. Yogyakarta: Ekonisia FE UII, 2004. hal 107.
Muhammad. Dasar-dasar Keuangan Islam, cet pertama. Yogyakarta: Ekonosia FE UII, 2004. hal 108.

Pilkada dan harapan kaum miskin Jambi

Pilkada dan harapan kaum miskin Jambi

Tulisan pheni khalid tentang polisi cepek (2001) yang menginsipirasi tulisan ini, Sopir angkot adalah sebuah pekerjaan di sector informal, pekerjaan ini yang dalam kesehariannya lebih ditujukan pada pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Hampir dapat dipastikan bahwa pembicaraan tentang sopir angkot sering dikaitkan dengan kemiskinan. Dengan kata lain, potensi ekonomi mereka lemah dan kurang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kondisi dan lingkungan hidup. Ada kecendrungan mereka pasrah serta apatis menghadapi masa depan dan menyerah pada nasib (lewis, 1969). Oleh karena itu, dalam perencanaan penataan ruang perkotaan keberadaan mereka cenderung diabaikan, sehingga kepentingan mereka sering dikorbankan untuk kepentingan masyarakat kota yang lain.
Kaum miskin di kota bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan motivasi untuk memperbaiki nasib. Upaya yang mereka lakukan adalah menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan berusaha memperbaiki nasib dengan berupaya beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain (Sethuraman, 1981: 198; breman, 1985: 1740). Golongan miskin, meskipun sebagian besar mencari nafkah di sector informal, penghasilan keluarga mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok bawah pekerja sektor formal. Atas dasar pandangan ini maka potensi ekonomi mereka perlu dipertimbangkan dalam proses pembangunan perkotaan.
Struktur Pekerjaan.
Pekerjaan merupakan variabel paling sulit diterangkan dan dikelompokkan karena begitu beranekaragam, terutama bagi masyarakat miskin yang urban di perkotaan.
Ada dua hal yang perlu dijelaskan dalam tulisan ini dengan mengklasifikasi pekerjaan. Pertama, klasifikasi ISCO tidak membedakan antara pegawai negeri dan pegawai swasta untuk jenis pekerjaan yang sama. Kedua, status pekerjaan diperhatikan secara khusus dalam analisis. Dalam hal ini dibedakan antara mereka yang bekerja untuk pemerintah atau perusahaan.
Sopir taksi dan sopir angkot (yang bekerja untuk seorang majikan dengan system pembayaran berdasarkan setoran) dan sopir mobil, bis atau truk yang bekerja untuk perusahaan dengan gaji yang dibayar menurut setiap perjalanan atau secara tetap setiap minggu atau bulan. Kedua kelompok sopir ini diduga mempunyai tingkat dan stabilitas penghasilan serta jam kerja yang berbeda. Sopir angkot agak cocok dikelompokkan sebagai sector informal daripada formal. Dapat ditambahkan bahwa karena pentingnya tukang ojek di kota-kota, kelompok ini diberikan kode khusus sebagai pekerja angkutan.
Masalah social-ekonomi sopir
Sebuah tradisi yang selalu dirasakan dalam dunia sopir, dimana komunitas sopir ini lebih suka berkumpul dalam lingkup etnis masing-masing, sifat kedesaannya yang dibangun membuat mereka sering tertutup dengan masyarakat lain, pergaulan atas dasar kepentingan ekonomi semata bila mereka bergaul dengan kelompok yang lain.
Kaum miskin di Jambibiasanya timbul, tumbuh dan berkembang disebabkan secara politik terpinggirkan, seringkali mereka dianggap sebagai sebuah penyangga dalam system kekuasaan, bangunan sistem jauh sekali dari nilai nilai kemanusian namun terkadang apakah dapat dianggap adil jika kita telah memberi 0,00..% kekuasaan dan kekayaan kita, jauh lebih kecil nilainya dari apa yang pernah kita dapatkan dari mereka, dan pendapatan itupun terkadang kita lupa.
Dampak industrialisasi di pedesaan beberapa decade ini membantu akselarisasi urbanisasi, akan juga berpengaruh pada pembentukan struktur ruang kerja informal tidak sah dengan peningkatan ruang kerja tersebut telah melampaui batas dan mengkhawatirkan.
Peningkatan untuk beberapa tahun terakhir ini, mengakibatkan pada permintaan bursa kerjanya, yang dalam hal ini telah menciptakan kesulitan yang mendalam bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan sector ini. Kesulitan ini berkaitan masalah penangganan dengan pendekatan memberikan peluang kerja, PKT, JPS dan maupun dari instansi-instansi social lainnya ternyata belum mampu menciptakan bursa kerja informal baru yang sah.
Apalagi berkenaan dengan upaya pengembangan dan penguatan masyarakat, lemahnya pilihan taktis dan strategis dalam upaya pemecahan problem kaum miskin di perkotaan, sehingga yang terjadi justru penegakan kepentingan elit dan lebih mengejar target politik saja dan pemecahan masalahpun terkesan setengah hati.
Kaum-kaum miskin di perkotaan, dengan beberapa masalah, cita-cita atau impian mereka, di antara masalah dan impian itu adalah ;
1. Kelembagaan di tingkat mereka yang masih lemah dengan kemampuan personal yang belum mengerti arah, tujuan, harapan dan cita-cita hidup dan sulit mengangkat martabat dan status social mereka.
2. Kaum miskin kota belum mampu mandiri untuk mengangkat status social-ekonomi mereka sehingga cenderung ketergantungan pada pihak-pihak pemilik modal, sedangkan para pemilik modal memiliki kecenderungan mendiskriminasi, melecehkan, memaksa yang jauh dari nilai-nilai kemitraan dan kemanusian dimana yang seharusnya antara pemilik modal dan pihak pekerja adalah mitra.
3. Kebutuhan akan Penguatan komunitas secara lembaga dan personal bertujuan agar di masa yang akan datang masalah-masalah diskriminasi kebijakan yang terjadi di komunitas ini akan berubah dan masyarakat miskin di Jambibisa berdaya dan mandiri.
Masyarakat miskin di Jambi itu unik dengan berbagai problematika sosialnya, perlu untuk dikupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka, mengembangkan system nilai solidaritas sosial pasca pilkada.
Pasca Pilkada ini diharapkan dapat memberi nuansa baru dalam gerakan pemberdayaan masyarakat miskin bersama-sama dengan komunitas miskin yang punya kepedulian dalam pengembangan dan penguatan Masyarakat miskin tersebut, lihat saja salah satu yang kita anggap masyarakat miskin yaitu komunitas sopir angkot.
Masalah-masalah sosial-politik dan ekonomi yang merupakan bagian dari masalah sopir ini diantaranya pertama, Penambahan armada yang terus saja terjadi sebagaimana kebutuhan pemilik modal, dan terkadang tidak mementingkan para sopir, kedua, Peremajaan mobil yang tidak pernah diindahkan oleh para pemilik modal, walau aturan dari organda telah membuat aturan tentang peremajaan mobil per 10 tahun.