Kenapa Ekonomi Islam?

EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
(Sebuah tantangan)
Oleh: Sucipto


Indonesia Sejak dulu kala
Sejak awal kelahirannya Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berdaulat telah berkomitmen pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya yang terbukti dengan masuknya pasal-pasal yang berintikan pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Awal berdirinya hingga kini sejarah panjang telah terjadi, baik erosi nilai-nilai moral dalam ekonomi maupun manipulasi oleh minoritas kelompok atas prinsip keadilan sosial padahal justru berseberangan dengan apa yang termaktub dalam pancasila dan UU tahun 1945.
Landasan awal tentang prinsip ekonomi kerakyatan misalnya telah di usulkan M.Hatta, namun disisi lain minoritas anak bangsa yang berimpikan pada perwujudan keadilan ekonomi, menentang penindasan dan ekploitasi kaum kapitalis atas resourches bangsa ini. Dengan melihat fakta sejarah, timbulnya pergerakan untuk merebut kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, yang ini juga ditunjukkan oleh banyak perkumpulan anak bangsa ini yang berkomitmen pada keadilan sosial dan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat. Menurut mereka keadilan tidak akan terwujud bila tidak direbut, mereka menentang semua bentuk kolonialisme ekonomi yang bersembuyi dalam kolonialisme politik.
Bisa dilihat dalam sejarah bangsa yang besar ini bahwa bangsa ini gandrung akan keadilan menginginkan kesejahteraan ekonomi dan kemakmuran hidup. Perlawanan atas Belanda adalah bukan saja perlawanan pada kolonialisme itu namun juga adalah perlawanan atas diktatorisme ekonomi dan ekploitasi atas bangsa ini secara keseluruhan. Makanya pahlawan-pahlan kita memberontak untuk membangun bangsa yang beradab, adil dan makmur.
Awal-awal terbentuknya bangsa ini memiliki Visi ideal sebagai sebuah bangsa yang ingin besar dalam menjunjung nilai-nilai dan moral ekonomi bagi kesejahteraan bangsa. Namun dalam perjalanan sejarahnya cita-cita suci dan ideal itu hanya menjadi isapan jempol, kesejahteraan masyarakat tak terwujud malahan kesenjangan sosial menjadi-jadi di sana-sini.
Sejak kemerdekaan hingga tumbangnya rezim orde lama, tidak kelihatan Indonesia sebagai bangsa yang besar, secara ekonomi sejahtera, yang ada hanya intrik politik yang terus berkembang, padahal bila melihat pada sumber daya alam yang tersedia, adalah cukup untuk mewujudkan cita-cita ideal itu.
Bahkan setelah orde lama datanglah orde baru dengan banyak komitmen ekonomi, namun yang terjadi asset negara dikuasai oleh minoritas orang saja, tidak terjadi pemerataan, rakyat menjadi lemah dan terkulai dalam jeruji besi kemiskinan, tak mampu keluar, apalagi melawan, yang terjadi adalah sosial-gap, jobless dan kemiskinan, padahal bangsa yang besar itu adalah bangsa yang mayoritas muslim, muslim yang memahami nilai-nilai syariat Islam. Nilai zakat untuk keadilan sosial, infak, sedekah, dan pajak yang dalam pemikiran ekonomi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat menuju kemakmuran bangsa.
Apa yang salah? Bila kita merujuk pada pemikiran Rasulullah SAW, yang mana pada awal-awal Islam tampil dalam upaya memerangi kemiskinan, ketidak adilan dan kejujuran dalam sosial ekonomi, bahkan dalam khutbah-khutbah awalnya berisi kecaman pada para kapitalis mekah saat itu, yang cenderung jual beli dengan riba. Peran zakat pada awal-awal Islam telah berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan, kesadaran umat pada saat itu dalam memerangi kemiskinan sangat jelas sekali apalagi dukungan pada sikap tolong menolong sesama muslimpun menjadi kebiasaan bangsa Arab kala itu.
Pandangan yang khilaf atau Keliru.
Beberapa kelompok intelektual muslim mengatakan semua ini terjadi karena distorsi terhadap makna agama. Benarkah? Kalau ya kita semua harus beristighfar, Karena agama itu suci. agama yang mana agama yang suci itu ? Agama yang bermazhab “logika” atau agama logika rasa?
Agama yang mesti dijunjung tinggi itu adalah agama yang “membumi”, agama yang sangat diharap dan dinanti-nantikan adalah agama yang mampu menjawab problem-problem pasar dan dapat membuka diri terhadap persoalan-persoalan pasar tersebut, tapi ke depan, kita harus take a care bukan pada negara yang totaliter atau kembalinya militer ke dalam pemerintahan atau pada negara adidaya Amerika tetapi yang harus dipikirkan bagaimana membendung pasar bebas dengan berbagai effectnya bagi kehidupan sosio-ekonomi-politik bangsa ini. Disini akan terlihat agama kaum-kaum borjuis baru menguat dengan perilaku moral yang jauh daripada sentimen moral, berwatak penindas dan ekploitatif, penindas dan ekploitasi terhadap apa saja, bisa menindas dan ekploitasi atas hak-hak ekonomi, agama dan juga bisa menindas dan mengekploitasi atas kebebasan ekonomi dan ketidaksadaran ekonomi politik kita, logika rasa kemanusian kita didistrosi oleh logika lain yang memiliki implikasi ekonomi bukan bagi rakyat negeri ini namun cenderung opurtunity atas semua hak-hak kita yang telah dilindungi oleh UU.
Bukan lagi pertentangan antara pemahaman yang satu dengan pemahaman yang lain, hal ini lumrah karena terus akan lahir sepanjang sejarah perkembangan pemikiran manusia, tapi pertentangan kita ke depan adalah pertentangan pasariyah dan ghoiru pasariyah. Yang akan terkebelakang adalah mereka yang tak memiliki akses ekonomi bukan persaingan yang harus ditakuti atau budaya dari pasar itu.
Tapi dengan bahasa lain masyarakat ditakut-takuti dengan dampak dari pasar itu adalah globalisasi budaya, yang mesti di filter adalah globalisasi ekonomi, globalisasi pasar dan globalisasi kapital pada sekelompok minoritas? Agama pasar tak akan terlawankan bila tak di filter dengan cara pengguatan pasar yang memiliki etika dan moral politik ekonomi Islam. Bagaimana bangsa yang besar ini akan keluar dari kungkungan penjara kapitalis, bila kita takut untuk menyatakan perang terhadap pasar. Perang bukan berarti mengangkat senjata perlawanan, atau menutup kran investasi atau mungkin boikot atas produk asing. Namun perang adalah melawan dengan meningkatkan produktifitas investasi dalam negeri yang Islami, membangun enterpenuer-enterprenuer Islami, perang atas semua bentuk bunga, menguatkan manajemen zakat dan banyak lagi yang dapat diperbuat untuk memerangi Agama Pasar.
Oleh karena itu tak akan dapat dilawan agama borjuis itu bila yang dipertentangan umat hanya soal-soal pemikiran bukan soal nilai-nilai dasar yang akan menguatkan cara ritualisasi pasar.
Berangkat daripada Asumsi para ilmuwan bahwa bila menguatnya rakyat peran politik masyarakat maka ke depan masyarakat mudah untuk dipasarbebaskan pemikiran dan pemahaman mereka, lewat ketidaksadaran kolektif mereka, melalui menguatnya kelompok-kelompok masyarakat yang telah tersadarkan oleh demokrasi, keadilan ham, dan banyak lagi atas nama keadilan social, yang apakah keadilan yang mereka anggap itu memang Islami.
Bila bangsa ini terus larut dalam permasalahan klasik Maka yang akan muncul di tengah masyarakat adalah kelompok yang kuat menindas yang lemah, kekuatan baru yang akan menindas itu adalah kaum-kaum borjuis baru, karena yang akan berkuasa pada saat pasar bebas itu adalah agama yang difahami kaum borjuis. Yang menjunjung tinggi Demokrasi, Ham dan sebagainya, yang saat ini terus diwarisi lewat banyak program, yang intinya adalah untuk menghantarkan masyarakat Indonesia ke dalam penjara besar pasar bebas yang tak memiliki rasa kemanusian terhadap delapan asnaf dan bahkan umat manusia seluruhnya. Akan berada dalam lingkaran imprealisme ekonomi, liberalisme ekonomi dan neo-kolonialisme.
Negara-negara berkategori negara terkebelakang (Underdevelopmentalisme) akan menjadi negara jajahan dan kekayaan alamnya akan di rampas, dan utang-utangnya harus dibayar dengan bunga besar, bahkan negara-negara berkembang secara politik terus diintervensi. Baik soal perencanaan program negara. Bahkan kebijakan-kebijakn ekonomi akan diatur dan sekarang kita telah diatur oleh pasar.
Maka disini apakah kita harus takut pada budaya barat yang masuk ke sendi-sendi jantung kita atau pada ancaman kefakiran yang merajalela? atau kenapa tak pernah disadari bahwa tranformasi budaya akan hanya terjadi dalam masyarakat yang tak memiliki peradaban yang lemah, hanya sekedar isapan jempol bila perkataan saidina Ali : “kada al-fakru aiyakuna kufran”, yang dapat diartikan bahwa yang mesti diantisipasi itu adalah kefakiran yang akan menjadikan orang kufur.
Walau dalam banyak tafsiran tentang fakir, apakah fakir ini fakir harta atau fakir ibadah? ya dapat dibenarkan keduanya, tapi yang terpenting dalam tulisan ini fakir dapat membuat orang menuhankan harta sehingga ia menjadi lupa pada kewajiaban agamanya. Wallahu’ alam bishowab.
Borjuisasi Agama, Pasar dan rakyat
Agama borjuis, akan melahirkan kendala yaitu pertentangan kelas antara proletar dan borjuis. Sebahagian teman-teman yang berfaham sosialisme sangat menolak faham kapitalis yang cenderung mengekploitasi tenaga manusia, akal manusia, dan bahkan agama manusia lewat kapital atau kekayaan yang mereka miliki. Karena dalam pemahaman kaum kapitalis, yang berkuasa hanya kekayaan. Kekayaanlah yang memiliki nilai. Manusia, alam, sumber-sumber ekonomi dan tenaga manusia hanyalah alat untuk menuai kekayaan.
Dengan kekayaan akan dapat membeli apa saja, agama dalam masyarakat kapitalis hanya symbol saja, sekapitalis apapun manusia akan mengekang manusia untuk melakukan perubahan, karena perubahan tidak dapat terjadi sebab kekayaan yang ada hanya beredar di dalam komoditas kaum borjuis saja. Kesejahteraan tidak akan terwujud, apalagi keadilan distributive dan keadilan ekonomi hanya lift service saja, yang pada akhirnya rakyat menjerit karena utang, kelangkaan sumber ekonomi, masalah social-ekonomi gap dan monopoli kekayaan menjadi kewajaran dan lumrah terjadi, tak ada yang dapat mengeluarkan masyarakat dari penjara besar koloniliasime baru.
Borjuisasi sudah merupakan faham-plus sebahagian besar manusia. Bahkan saat ini separo penduduk dunia menganut kapitalisme sebagai “agama”. Watak sifat karakter dalam style of life yang cenderung konsumeris, dalam krisis melanda duniapun mereka semakin mewah gaya hidupnya bahkan daya beli masyarakat pun meningkat. Tidak peduli krisis melanda yang penting mereka bisa mengkonsumsi apapun yang mereka suka, mereka menganggap dengan kekayaan yang dimilikinya mereka bebas pergi keluar negeri untuk sekedar rekreasi. Tanpa mempedulikan sekelilingnya masyarakat menjerit untuk hidup.
Kapitalisme itu telah membudaya dan diwarisi terus menerus bahkan budaya itu telah menjadi ideology masyarakat. Mungkinkah satu saat nanti ideology itu kan mengalami perkembangan yang pesat sampai menjadi sebuah agama baru yaitu agama kaum borjuis, Apakah justru menjadi akhir dari kapitalisme?

Ekonomi Islam di Indonesia
Sejarah di Indonesia mencatat bahwa pada tanggal 3 November 1991 di halaman belakang Istana Negara di Bogor, telah ditetapkan sebagai hari bersejarah dalam pembentukan Bank Islam di Indonesia yang kemudiannya disebut dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kesaksian sejarah ini diperkuat oleh hadirnya H. Mohammad Soeharto, Kepala Negara/Presiden Republik Indonesia berserta Menteri Kabinet Pembangunan VI dan para Ulama dan Masyarakat yang sejak awal telah merintis pemikiran tentang perlunya Bank Islam di Indonesia. Operasionalisasinya bertumpu pada Undang-undang Perbankan Nomor. 7 Tahun 1992, dan didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil. Sejarah ini membuktikan bahwa tatanan baru untuk landasan bekerja dan berkarya bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam telah memperoleh landasan hukum yang memadai. Bagi mereka yang tidak beragama Islam, juga akan memperoleh manfaat yang besar karena Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Dan lingkungan strategis ini telah diketahui oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang berhasrat untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu dan sistem ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita kini dapat menyaksikan hadirnya Bait al Maal wa at Tamwil (BMT) yang tumbuh dengan cepat dan berhasil menolong kaum duafa. Oleh para pakar ekonomi dan sosiologi BMT dipadukan dengan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Lembaga ekonomi ini kemudian diperkaya dengan Asuransi Takaful. Tahap berikutnya, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), dibahaslah Reksadana Syariah melalui suatu Lokakarya di Jakarta dalam bulan Juli 1997. Reksadana (mutual funds) dianggap sebagai suatu komponen dalam sistem ekonomi Islam secara keseluruhannya yang bertugas untuk memperkaya lembaga ekonomi Islam yang kini telah ada, yakni Bank Islam, yang disebut dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Asuransi Takaful.
Giliran pertanyaan berikutnya ialah tentang peranan pendidikan dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu ekonomi Islam dan Bank Bagi Hasil tersebut. Apa yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar, tentunya berbeda dengan apa yang seharusnya diajarkan kepada siswa Sekolah Menengah Umum. Akan sangat berbeda apabila hal itu dikaji dan diajarkan kepada mahasiswa di Perguruan Tinggi. Keterpaduan peran antara dunia pendidikan dan peran masyarakat sehari-hari, terutama dalam berekonomi, merupakan tantangan tersendiri yang perumusan jalan keluarnya tiada lain melalui proses belajar.
Jatuhnya tampuk pemerintahan Presiden Soeharto 21 Mei 1998 sebagai akibat dari runtuhnya sistem perekonomian rezim Soeharto, merangsang kita semua untuk mengkaji ulang sistem perekonomian kapitalis dan menggantikannya dengan sistem ekonomi alternatif. Ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa sistem perekonomian yang berlangsung selama 30 tahun itu bisa runtuh begitu cepat? apa rahasianya?
Ke enam pertanyaan itu melatari tumbuhnya hasrat masyarakat untuk mempelajari ilmu dan sistem ekonomi Islam dan peluang ini harus diisi oleh mereka yang berkesempatan untuk menulis dan mengajarkannya kepada mereka yang sedang haus belajar itu. Wallahul A’lam