Zakat, Gap antara Kaya dan Miskin Wednesday, 26 September 2007

Zakat, Gap antara Kaya dan Miskin
Wednesday, 26 September 2007

Oleh: Sucipto MA*

Zakat berfungsi sangat dominan dalam mempengaruhi penghasilan masyarakat dan menjadi pusat layanan jaminan sosial. Lain daripada itu, zakat juga dapat merangsang permintaan selama para ashnaf (yang menerima zakat) relatif dapat membatasi kecenderungan hatinya dalam mengonsumsi. Dalam hal ini pula, zakat dapat dijadikan sebagai pajak alternatif, hanya saja para ahli ekonomi islam memandang bahwa yang demikian kurang tepat karena zakat dominan dengan aspek fitrah agama.

Afza-ur Rahman berpendapat bahwa pada kenyataannya zakat dibayarkan adalah untuk mencari ridho Allah semata sehingga mereka dapat memanfaatkan hartanya dan meningkatkan daya produktifitasnya dalam berusaha dengan sebaik-baiknya sehingga jika mereka dapat memiliki harta kekayaan mencukupi maka mereka tidak akan lalai membayar zakat sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikannya.

Sesungguhnya, kalau kita cermati peradaban Islam tidak dapat dilepaskan dari zakat. Bahkan, menurut Ahmad Juwaeni -- seorang dinamisator zakat Indonesia-- tidak mungkin peradaban Islam akan tegak tanpa optimalnya pengelolaan zakat. Menurutnya, adanya sekelompok orang yang memiliki dedikasi tinggi sebagai amil zakat merupakan prasyarat agar kegemilangan peradaban masa lalu dapat kembali diwujudkan di masa akan datang.

Penulis menyadari bahwa untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah. Banyak ekonom berpendapat bahwa zakat tidak memiliki pengaruh signifikan karena persentasenya sangat kecil, yaitu hanya 2,5 persen. Bagaimana mungkin zakat akan mampu mempengaruhi, misalnya, pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan persentase sebesar itu.

Munculnya keragu-raguan tersebut adalah karena hingga saat ini belum ada satu negara Muslim pun yang dapat dijadikan sebagai model yang tepat. Malaysia sebagai contoh, memiliki keunggulan dalam hal penghimpunan zakat dibandingkan Indonesia. Namun demikian, dalam hal pendayagunaan zakat, penulis melihat justru Indonesia yang lebih unggul dibandingkan Malaysia. Indonesia memiliki kreativitas yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara Muslim lainnya dalam hal pemberdayaan dana ZIS. Tetapi karena dana zakat yang ada di Indonesia jumlahnya masih sangat kecil, yaitu kurang dari 1 persen dari total GDP, maka 'seolah-olah' ada tidak-adanya zakat tidak mempengaruhi perekonomian kita secara makro.

Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektifkah dalam praktek zakat mampu mengatasi gap antara kaya dan miskin? Masalahnya, studi semisal dan komprehensif mengenai hal ini sangat terbatas. Selain itu, kita pun sulit melihat bagaimana peranan zakat secara terisolasi, karena faktanya di hampir semua negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, mekanisme zakat tidak berdiri sendiri. Selain zakat, terdapat juga kebijakan-kebijakan redistribusi lain yang dilakukan pemerintah. Sehingga sulit bagi kita untuk menemukan hubungan kausalitas yang tegas.

Timur Kuran punya pendapat yang lebih kritis. Menurutnya, redistribusi yang dihasilkan dari zakat tidak akan lebih baik dibandingkan pajak dalam sistem sekuler. Dalam aturan zakat yang ada, rata-rata tingkat persentase zakat lebih kecil dari rata-rata persentase pajak. Selain itu, secara umum aturan klasik mengenai obyek zakat lebih banyak berasal dari jenis harta atau kegiatan ekonomi di sektor pertanian. Aturan ini tentu didasarkan pada kondisi di abad ketujuh, dimana sektor pertanian adalah salah satu sektor yang paling makmur. Faktanya, di masa sekarang sektor ini menjadi salah satu sektor termiskin. Di hampir seluruh negara berkembang bahkan mayoritas penduduk miskin bekerja atau terlibat dengan sektor pertanian.

Di bukunya, Kuran juga membahas sejumlah masalah terkait dengan bagaimana zakat diimplementasikan dalam praktek. Satu pertanyaan praktis adalah apakah zakat sebaiknya dijadikan kewajiban bagi warga negara, yang artinya mengharuskan negara turun tangan sebagai institusi yang melaksanakannya? Atau apakah sebaiknya zakat dibiarkan diserahkan sebagai pilihan bagi warga negara?

Tiga negara yang pernah menjadikan zakat sebagai kewajiban dan diatur oleh negara dijadikan sebagai studi kasus: Saudi Arabia, Pakistan dan Malaysia. Di Saudi Arabia, ternyata tingkat pengumpulan zakat hanya sebesar 0.01-0.04 persen dari PDB negara tersebut. Mengingat PDB per kapita Saudi Arabia yang relatif tinggi, ini menunjukkan adanya celah yang besar dalam efektifitas pengumpulan zakat. Selain itu, sejumlah sektor yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi seperti perumahan justru tidak menjadi obyek zakat. Sementara di Pakistan dan Malaysia, problem umum seputar pengumpulan zakat adalah masalah-masalah seputar institusi: korupsi, kompensasi terhadap pemungut zakat, kebocoran, dan dalam sejumlah konteks, perasaan ketidakadilan.

Dalam praktek zakat di Malaysia, Hossein Askari, Ahmad Mustafa dan John Thomas Cummings menambahkan Malaysia ketika sekitar tahun 1977 berusaha menerapkan zakat di empat wilayah yang relatif miskin : Kedah, Trengganu, Kelantan, dan Perak. Harapannya tentu agar sistem zakat dapat mengangkat kesejahteraan rakyat. Berhasilkah eksperimen itu? Ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Populasi terbanyak di empat wilayah itu adalah petani padi yang rata-rata miskin. Dengan diterapkannya sistem zakat pertanian secara disiplin, para petani padi itu harus secara disiplin membayar zakat pertanian yang besarnya 5%-10%, sedangkan bagian masyarakat lain tidak. Bayangkan saja, petani padi dengan hasil panen 650 kg atau senilai Rp 1.950.000,- per empat Rp. 487.500,- per bulan sudah wajib membayar zakat. Di mana letak kesalahannya? Sekali lagi, peniruannya parsial, tidak Kaffah.

Apakah kita memiliki rujukan yang kuat bagaimana sistem ini pernah dijalankan, dan apakah ia masih relevan untuk menjawab tantangan jaman modern. Di era khulafa-ur-rasyidin, atau di era Umayyah dan Ottoman. Sesungguhnya sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa kemakmuran umat di era itu adalah hasil langsung dari keislaman yang mendasari zakat dan pajak dalam Islam. Karena salah satu sumber kemakmuran yang penting saat itu adalah pampasan perang dan ekspansi wilayah. Terlepas dari itu, kalaupun memang keislaman menjadi alasan di balik kemakmuran ekonomi di masa lalu, tidak cukup alasan untuk mengatakan bahwa praktek-praktek di masa lalu masih relevan untuk mengatasi tantangan peradaban manusia modern. Wallahu ‘alam.

* Dosen ekonomi dan keuangan Islam Fakultas Syari’ah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi