AKU BERBELANJA MAKA AKU ADA” Sebuah Repleksi Konsumerisme

Judul artikel ini dialih konteks dari ungkapan Decrates yang terkenal ”Aku berfikir maka Aku ada”, dirasa cocok untuk merefresentasikan gaya hidup konsumtif dewasa ini. Ungkapan Descates itu menunjukkan keegoan yang sangat, sebagai tanda tentang keberadaan siapa yang mengungkapnya. kini ungkapan tersebut tergantikan dengan ”aku berbelanja maka aku ada”. Jika dialih konteks dengan konsumerisme pada lebaran saat ini ”Aku beli baju baru maka aku ada”, dengan indikasi yang kasat mata rumunan manusia di berbagai pusat perbelanjaan, rumunan tersebut bagai ritual tahunan yang tak terbantahkan, ritual yang secara sosial merupakan budaya yang telah mengideologis, bagai rangkuman ide-ide, kesadaran yang tidak bisa dilepas pada makna yang tersembunyi di akhir romadhon, namun beberapa ahli agama mungkin akan menyadari kegembiraan orang berpuasa adalah pada saat berbuka puasa, lebaran bagian akhir dari berbuka tersebut. Bisa dikatakan lebaran ”buka kubro”, yang terkumulasi melalui buka-buka kecil dalam agenda harian romadhon. Kegembiraan berbuka tersebut meledak di akhir romadhon dengan memberi rasa suka cita yang telah terkumulasi bagai gunung es yang mencair saat bulan romadhon ini menjauh dan kembali tahun depan. Memahami lebaran masyarakat muslim telah melakukan banyak sekali tradisi, baik tradisi mudik sebagai sarana untuk bersilaturahmi kepada keluarga. Tradisi itupun terus berkembang membawa oleh-oleh pada saat mudik hingga akhirnya membawa tanda dan simbol baru dari kehidupan di rantau. Tanda dan simbol yang biasanya tidak dibawa tahun ke tahun mengalami perubahan sehingga yang baru tersebut terindikasi dari simbol-simbol yang dikonsumsi, dapat berupa kendaraan, pakaian, perhiasaan atau pernak pernik yang melekat. Untuk mewujudkan itu maka sikap konsumtif adalah alternatifnya. ”Aku berbelanja maka aku ada” dalam suatu kondisi selalu mengalami pergeseran dan perubahan, karena konsumsi digerakkan oleh produksi yang meluas. Produsen terus berinovasi demi melanggengkan kekuasaaan produknya dan sisi lain tidak murni bertujuan untuk memanjakan pelanggan dengan suatu yang baru. Baru mode, gaya, bahkan baru teknologi yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Saat ini tidak bisa lagi diragukan untuk kekurangan produksi tetapi menurunnya daya beli sebagai refresentasi dari konsumsi menjadi momok yang menakutkan. Konsumsi tidak lagi hanya difahami sebagai barang-barang yang terkait dengan makanan, minuman dan pakaian saja atau pandangan yang ingin memenuhi kebutuhan hidup dengan mengorbankan atau menggunakan sumber daya tertentu. Namun tradisi dan konsumerisme memang sulit untuk dibedakan, karena keduanya dipisahkan benang tipis. MASYARAKAT KONSUMSI Tokoh yang konsen pada kajian seputar konsumerisme seperti Jean Baudrillard, ia mengemukan tentang masyarakat konsumtif (Consumer Society), secara teoritis masyarakat mengkonsumsi suatu benda pada awalnya sebagai media pertukaran manfaat suatu benda, namun kemudian pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model marxisme) mengalami pergeseran pada pemaknaan benda yang dikonsumsi. Konsumsi benda tersebut sekaligus memberi tanda dan symbol konsumsi. Tanda dan symbol tersebut sebagai tanda kelas social, symbol kekuasaan, tanda kesenangan, tanda kesejahateraan, dan sebagainya. Kemudian konsumsi tidak berorientasi pada daya gunanya namun sebagai yang mengartikan tanda sesuatu dan symbol akan sesuatu. Benda atau barang yang dikonsumsi merefresentasikan makna tertentu, sadar atau tidak konsumsi yang dilakukan lebih pada gaya dan tren akhirnya terjebak pada mode-mode yang diproduksi. Senyatanya dalam kasus tradisi mudik merupakan bentuk silaturahmi. Wujud spritualitas seorang muslim, yang ingin menyambung silaturahmi. Namun kemudian bergeser pada penunjukan eksistensialisme sebagai simbol kesejahteraan, kebahagian, kesenangan dan kekuasaan yang dapat berwujud dengan tanda-tanda materi yang dikonsumsi. Secara rasional materi yang dikonsumsi merupakan tanda dari eksistensialismenya. Selama ini silaturrahmi hanya terwujud hubungan kasih sayang, yang tidak ada kepentingan dan pamrih. Pergeseran konsumsi massa dimana dewasa ini yang ditampilkan masyarakat adalah sikap “saya berbelanja berarti saya ada”, sikap ideologis seperti ini berlanjut pada tidak berbelanja maka saya belum exist dalam kehidupan masyarakat, kalau saya mengunakan pakaian baru pada saat lebaran tiba itu menunjukkan diri nya ”ada”. kepentingan diri (self interest) yang ditonjolkan dalam pertukaran sosial masyarakat saat ini. Sikap rasionalitas tersebut memberikan logika-logika kekuatan simbol dari berbelanja. Berbelanja merupakan simbol memiliki kekuasaan ekonomi dan kekuataannya, dalam arti saya memiliki kekuatan ekonomi sehingga saya mengunakan yang baru-baru pada saat lebaran. Tujuan berpuasa untuk menciptakan manusia yang beragama (homo islamicus) bergeser ke bentuk masyarakat kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai homo economicus. Tentu saja, kemudian, hubungan sosial antar sesama manusia sarat dengan simbol dan logika ekonomi. Silaturrahmi menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensialismenya yang berwujud symbol-simbol barang dan pakaian baru. Sikap konsumen yang menganggap suatu barang adalah merupakan ”tanda” bahwa ia ada bukan untuk memenuhi kebutuhan yang hakiki. sebagai tanda ia ”ada” difahami sebagai penampakan pada kebutuhan palsu masyarakat saja. Misalnya baju yang baru masih ada tersimpan rapi dirumah namun tetap membeli baju baru untuk dipakai saat lebaran tiba. Itu pertanda bahwa lebaran identik dengan simbol serba baru. Bukan pada memenuhi kebutuhan dasar untuk menutup aurat misalnya. Dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut. Tanda baju baru tersebut sebagai upaya meningkatkan image bahwa secara strata sosial dia mampu untuk membeli baju baru. Dan berkembang pada life syle dan mode-mode yang dikonsumsi apakah mode yang dibeli adalah mode terbaru atau bukan. Ini terkait dengan politik ekonomi produsen, masyarakat konsumen telah terjebak pada kepentingan ekonomi produsen. Secara asasi produksi barang hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan saja. Namun budaya konsumerisme yang mendorong kehidupan masyarakat yang ditujukan pada pemenuhan keinginan (penikmatan) dan bukan kebutuhan pokok menuntun masyarakat untuk bergaya hidup mewah. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius karena budaya konsumerisme yang tidak terkendali akan sangat berdampak buruk. Sadar atau tidak konsumerisme berdampak buruk baik bagi agama ataupun kehidupan social masyarakat, sebab hedonism, riya dan bahkan konsumsi menjadi candu bagi masyarakat. Secara agama hal ini tidak diindahkan baik bagi agama Islam maupun bagi agama lainnya sangat menentang efek negative tersebut. Pierre Bourdieu tokoh sosiologi konsumsi menyatakan Produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara ekonomi politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni dalam pola-pola konsumsi. Dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut. Dalam tingkatan konsumerisme dapat difahami pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis. Namun bentuk Kedua, konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial. Apa yang dikonsumsi sesuai dengan pada level apa dalam kehidupan sosialnya. Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat dengan munculnya komunitas pengguna barang tertentu, misalnya klub motor merk tertentu. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga, Featherstone melihat munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan estetikasi konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode, estetisasi bentuk, dan gaya hidup. Selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika untuk memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka. Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme. Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Istilah gaya hidup (life syle) tidak memiliki makna asli sebagaimana dalam kajian sosiologis. Gaya hidup merupakan refresentasi dari kelompok tertentu dalam masyarakat yang khas. Dewasa ini gaya hidup tidak dapat difahami sebagaimana refresentasi kelompok kelas tertentu, kini gaya hidup merupakan ekpresi diri yang individualitis secara sadar dengan syle-syle. Gaya hidup itu menyangkut barang konsumsi, perawatan tubuh yang merata sebarannya sebagai indikasi dari sikap “individualities”, mulai dari sekedar perawatan rambut, semir rambut, rebonding dan sambung rambut. Variasi mode busana, pilihan makanan dan minuman yang disuguhkan dalam program-program wisata kuliner penuh gairah itu juga dipandang sebagai indikasi individualities yang sarat dengan refresentasi kepentingan diri (self interest) yang estetis dan itulah gaya hidup konsumen hari ini. Konsumsi sebagai wujud pilihan-pililhan dengan variasi mode secara sadar adalah imbas dari kemajuan ilmu manusia, namun secara tidak sadar, produksi yang dihasilkan memerlukan segmen pasar dan respon pasar. Kini membeli dan mengunakan jasa-jasa tersebut bukan lagi sekedar memenuhi kebutuhan dasar manusia (basic need) yang bersifat dhoruri, pergeseran budaya yang tak dapat diabaikan. Agama dan Konsumerisme Bukan lagi konsumsi untuk hidup namun konsumsi telah beralih kepada konsumsi sebagai budaya baru yang sangat kuat akarnya ditengah masyarakat. Kesiapan kita dalam pesentuhan dalam budaya konsumen yang given tersebut. Sendi-sendi agama akankah mampu melewatinya. Atau agama tidak memiliki akar yang kuat sehingga pemeluk agama terhindar dari konsumersme itu.. Sebuah artikel tentang “Bulan Konsumerisme Agama Renungan di penghujung Bulan Ramadan” yang ditulis di Muhamadun memberikan suatu gambaran bahwa romadhon sebagai bulan suci untuk menghilangkan tindakan-tindakan konsumerisme tersebut justru menjadi bulan yang penuh dengan tindakan-tindakan konsumtif masyarakat. Sepertinya agama belum mampu menjawab phenomena budaya konsumerisme itu, atau mungkin konsumerisme itu bukan hanya sekedar budaya (consumer culture) namun konsumerisme itu juga secara sadar memiliki keyakinan-keyakinannya sendiri, sebagaimana Durkheim, agama meliputi keseluruhan kepercayaan sosial, karena keyakinan sosial terdiri hampir secara eksklusif dari keyakinan umum dan praktek-praktek umum yang berasal dari perekatan (adhesi) yang penuh intensitas yang sangat khusus. Khutbah-khutbah agama dan ceramah-ceramah agama yang anti dengan tindakan konsumerisme selama romadhon belum mampu membuat umatnyauntuk anti terhadap tindakan konsumerisme tersebut, tokoh agama pun juga telah binggung dengan realitas social ini. Fungsi agama yang dikatakan gramsci sebagai hegemoni dan counter hegomoni, dijadikan alat untuk melepas diri manusia dari hegemoni tindakan consumerisme juga tidak nyata wujudanya, bagamana bentuk, dan pola-pola apa yang dapat dilakukan oleh agama. Ini menjadi pertanyaan social keagamaan bagi kita. Wallahu’alam bishowab.