Zakat dan Pola Konsumsi Islami

Zakat dan Pola Konsumsi Islami
Tuesday, 09 October 2007

Oleh: Sucipto MA*

Jika dipahami lebih dalam zakat sebagai rukun Islam merupakan bagian dari sumber daya yang dimiliki rumah tangga yang harus disisihkan untuk kepentingan umat khususnya delapan golongan yang berhak menerimanya (QS at-taubah ayat 60). Zakat sebagai suatu pola konsumsi yang Islami yang dijelaskan secara tersirat dalam hadis Nabi yang maknanya ”yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan”.

Dari hadist di atas akan dapat dibedakan teori konsumsi Islam dan non Islam sebagaimana pendapat Metwallty ; dalam Islam ada beberapa alasan mengapa konsumen mengunakan tingkat utilitas pada hak miliknya. Pertama, seorang konsumen Islam tidak hanya mencapai kepuasaan dari konsumsi barang dan penguasaan barang yang tahan lama. Perilaku ekonomi muslim berpusat pada kepuasan yang dikehendaki oleh tuhan, sehingga kepuasan seorang konsumen Islam tidak hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsi dan barang tahan lama yang dikuasai, akan tetapi juga sebagai fungsi dari sedekah.

Kedua, jumlah barang dan jasa yang dapat dikonsumsikan oleh seorang konsumen muslim sangat berbeda dengan konsumen non-muslim, sungguh pun barang dan jasa tersebut sama-sama tersedia. Hal ini tentu berhubungan dengan adanya batasan seorang muslim untuk mengkonsumsi alkohol, daging babi, dan berjudi.

Ketiga, seorang muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai pinjaman (konsumsi atau lainnya), premium yang di bayarkan oleh konsumen muslim karena menguasai barang tahan lama, bunga yang terkandung didalamnya harus dikeluarkan. Hal ini tidak berarti barang dan jasa tersebut harganya menjadi gratis dalam ekonomi Islam, akan tetapi bunga digantikan oleh ongkos yang disebut bagi keuntungan (profit Sharing).

Dalam melakukan kegiatan konsumsi sebuah rumah tangga harus menentukan skala prioritas berdasarkan jenis barang yang akan dikonsumsi. Al-Ghazali dan Al-shatibi berpendapat bahwa berdasarkan Al-Qur’an dan hadist ada tiga hubungan kegiatan yang dilakukan umat Islam dalam mencapai utility yang diinginkan, yaitu, necessities yang merupakan kegiatan-kegiatan yang mengamankan berlangsungnya kegiataan keagamaan, kehidupan, kebebasan berfikir, keturunan, dan pencapaian kekayaan, kedua, conveniences adalah kegiatan-kegiatan yang memudahkan pelaksanaan kegiataan pertama dan ketiga, refinements adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan assori kehidupan.

Dengan mengacu pada penggolongan yang diajukan kedua ulama tersebut, barang-barang dapat dibagi dalam tiga golongan, pertama, kebutuhan dasar atau basic needs/necessities yang menentukan kelangsungan hidup manusia, seperti makanan, sandang dan perumahan. kedua, kebutuhan sekunder adalah barang-barang yang memudahkan kehidupan tanpa barang ini manusia masih hidup seperti pendidikan, mobil, komputer dan lain-lain. Ketiga, kebutuhan tertier adalah barang-barang merupakan asesori hidup seperti sound system, compact disc dan lain-lain serta juga ketenteraman/ kebahagian di hari tua.


Dalam mengonsumsi ke tiga jenis barang tersebut, sebuah rumah tangga akan mengikuti life-cycle hypothesis yang diajukan oleh modigliani (fisher, Dornbusch, 1984) begitu juga dalam rumah-tangga Muslim pada awalnya mengalokasikan dananya untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendasar bagi rumah-tangga Muslim, yaitu mengamankan syahadah, kegiatan sholat dan puasa. Tanpa alokasi dana kepada kebutuhan dasar (basic needs) dapat mengancam ke Islaman individu-individu dalam rumah-tangga. Oleh karena itu dengan alokasi dana pada kebutuhan dasar yang dapat mengamankan identitas sebuah rumah-tangga Muslim. Kegiatan ini dapat berbentuk penyediaan pendidikan keagamaan bagi putera/puteri sejak kecil. Utility dari konsumsi barang ini dapat dirasakan juga pada saat hidup didunia dalam bentuk ketenangan dan kearifan bertindak dan secara bersamaan seorang Muslim akan mendapatkan pahala dari kegiatan-kegiatan tersebut. Sebuah rumah-tangga Muslim akan memperoleh akumulasi pahala yang dapat dinikmatinya setelah mati.

Dengan meningkatnya pendapatan serta terakumulasinya aset dan keuntungan yang cukup nisab, maka sebuah rumah-tangga Muslim wajib untuk ber-zakat. Sebagian dari keuntungan harus dikeluarkan untuk kepentingan umat. Dengan keyakinan yang dimiliki sebagai seorang Muslim, pengeluaran zakat tersebut merupakan suatu kegiatan konsumsi yang memberi kepuasan bagi rumah-tangga Muslim dan disaat bersamaan rumah-tangga ini menambah akumulasi pahala. Dengan pengertian seperti ini, rumah-tangga Muslim tidak merasakan pengeluaran zakat sebagai beban, karena pengeluaran ini seperti juga pengeluaran untuk konsumsi lainnya akan memberi kepuasan bagi rumah-tangga. Akhirnya dengan semakin membaiknya pendapatan dan keuntungan, sebuah rumah-tangga yang telah mampu dengan sendirinya akan mengeluarkan dana untuk mengkonsumsi kegiatan haji yang memberinya kepuasan dalam bentuk ketenangan telah memenuhi rukun Islam yang lima. Pada saat bersamaan rumah tangga ini pun menambah akumulasi pahala yang sangat bermanfaat bagi pencapaian surga dalam kehidupan setelah mati. Dengan pola konsumsi yang seperti dijelaskan diatas sebuah rumah-tangga Muslim akan mencapai kepuasan maksimum dalam bentuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. *Dosen Ekonomi Islam IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi