“MENGURAI TEOLOGI EKONOMI ISLAM”

Oleh: Sucipto, MA
Dosen Ekonomi Islam IAIN STS Jambi

Teologi dan tauhid
Teologi berasal dari kata theo berarti tuhan dan logi berarti ilmu. Logi atau ilmu memiliki tiga arti knowledge, skill dan ability. Theo dan ke tiga makna logi berpadu menjadi pemahaman yang comfrehensif, pertama, theo dan Knowledge yang satu merupakan pengetahuan basic berbentuk teori. Ke dua, theo dan skill merupakan kecakapan, kepandaian, ketrampilan untuk menunjukkan (to show something in) keahlian yang dimiliki pada diri seseorang tentang Tuhan, talenta dalam menafsirkan makna believing god dalam konteks sosial, ekonomi dan politik dan ke tiga, theo dan ability sebagai kecakapan, bakat, kemampuan, ketangkasan dan kesanggupan merujuk pada inner beauty seseorang yang berasal dari fua’da, lubba dan qolb, untuk sampai pada inner tersebut maka diperlukan knowledge, skill, ability dan logi, karena beberapa dalil atau petunjuk tentang makna-makna tersebut jelas adanya semisal sebuah petunjuk yang diimani oleh teolog man arafa nafsah faqod arafa rabbaha (barang siapa yang mengetahui tentang dirinya maka dia akan mengetahui siapa tuhannya).
Oleh karena itu Teologi ekonomi Islam berbasis pada Al Quran sebagai filsafat fundamental dari ekonomi Islam (39:38), hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi (taqdiri), baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dalam konteks ini Masudul ‘alam Chudury, tauhid adalah unity dari sebuah repleksi ketuhanan dimana manusia dalam ekonomi syariah harus mengamalkan relasi di antara manusia sekaligus manifestasi relasi dengan Tuhan. Tidak boleh tidak secara Praktis tauhid ekonomi atau teologi ekonomi islam itu didasarkan pada prinsip social justice.
Makanya prinsip teologi ekonomi Islam itu menghubungkan kewajiban kita kepada manusia juga merupakan kewajiban kita kepada Allah SWT. Allah Swt sebagai Tuhan memiliki banyak hak, sebagai hamba Tuhan, manusia memiliki kewajiban memenuhi hak Tuhan atas kita. Tuhan memiliki hak ekonomi, memenuhi hajat hidup orang banyak, meningkat taraf hidup, melawan setiap monopoli asset-aset ekonomi Tuhan pada sepasang tangan.
Dalam tradisi klasik bertuhan adalah hubungan makhluk dengan sang khalik, “hubungan yang privacy”, antara seorang hamba dengan Tuhannya lebih dekat dari “urat leher” saat berada dalam bilik sempit, gelap dan sepi. Dalam bahasa arabnya dikenal dengan berkhalwat, sebuah metode untuk saat ini perlu improvisasi, sehingga praktek teologis dalam kehidupan modern sarat dengan masalah yang kompleks dan paradok, maka bertuhan bagi manusia modern proxy semua aktivitas mampu memberikan nuansa spritualitas, bukan hanya dalam dasar kognitif saja namun mungkin dalam tataran teologis.
Teologi ekonomi atau Tauhid ekonomi
Dalam konteks ini Ismail Al-Faruqi mengatakan, Tauhid-lah sebagai prinsip utama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” yang pertama, dan Islam yang melembagakan gerakan sosialis pertama. Islam (dengan konsep tauhid) telah melakukan lebih banyak keadilan sosial dan pengembalian martabat manusia. Konsep dan pengertian yang canggih ini ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini.
Di antara pemikiran tentang konsep tauhid menjadi dasar ekonomi, ia bermakna kesatuan (unit), dalam konteks ekonomi yang diringkas hal yang terpenting dari seluruh essensi, basis dan dasar ekonomi Islam itu mengajarkan manusia bagaimana berhubungan dan mengadakan usaha dengan orang lain dalam cahaya dari hubungan dengan Allah SWT.
Dalam tataran ini yang disebut teologi ekonomi Islam. Sebagaimana Agustianto teologi ekonomi Islam yang berbasiskan tauhid tadi, mengajarkan dua pokok utama : Pertama, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam pandangan teologi Islam, sumber daya-sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bias menghitungnya”. (QS. 14:34). Sehingga sumber daya tersebut tidak akan terjadi kelangkaan (scarcity). Kelangkaan-kelangkaan sumber daya yang kita alami tidak dapat disimpulkan dari kelangkaan dari sumber-sumber daya yang ada tetapi kelangkan tersebut terjadi karena mismanage, salah kelola potensi sumber daya alam yang ada. Salah kelola sumber daya yang ada bisa saja terjadi dikarenakan supplayless, unbalanced distribution, bearing sources dan monopoly.
Amartya Sen, peraih nobel dalam bidang ilmu ekonomi kesejahteraan dalam bukunya on ethic and economic menjelaskan ilmu ekonomi itu memiliki dua asal usul yang keduanya terkait dengan politik, meskipun dengan cara yang berbeda, pertama etika, dan kedua berasal dari rekayasa. Asal usul yang kedua dari ilmu ekonomi adalah pendekatan rekayasa, pendekatan ini ditandai dengan usaha manusia dalam melakukan pencapaian untuk memodifikasi suatu model ekonomi demi tujuan mencapai kesejahteraan social. Baik bersifat teknis yang digunakan dalam policy Negara atau pun analisis matematika statistika ekonomi memiliki peran dalam perkembangan ilmu ekonomi itu sendiri. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah pendekatan etis dan rekayasa yang menjadi asal usul ilmu ekonomi tersebut dapat mencapai suatu masyarakat ideal.
Dalam hal ini etika yang menyangkut perilaku-perilaku rasional manusia akan berhadapan dengan kepentingan diri, apa yang didahulukan antara perilaku rasional etis atau kepentingan diri?
Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu melakukan pembenaran dengan jargon bahwa sumber daya alam terbatas (limited). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidak adilan sumber daya (ekonomi).
Secara teologis Islam memiliki tatacara muamalah, dimana muamalah didasarkan pada prinsip tauhid, bahwa kekayaan alam ini adalah anugrah dari sang pencipta dan bukanlah mutlak milik manusia, sehingga ada anjuran lain yang lebih penting yakni bermuamalah dengan moral etika yang diinterpretasikan dari teologi.
Tak terhitung banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan bahwa alam dan seluruh isinya disediakan untuk kepentingan manusia. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif juga untuk kehidupan manusia.
Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan (QS. 17:35) dan serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan generasi mendatang. Misalnya mengeksploitir sumber minyak lalu meninggalkan sumurnya kering sepanjang satu generasi, atau menjadikan lahan kering kerontang dan menguras habis barang-barang tambang yang menjadi jatah generasi mendatang karena alasan kemakmuran saat ini atau mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perbuatan memutlakkan waktu sekarang, tanpa memikirkan masa depan, termasuk bentuk hubungan dominasi dan eksploitatif. Hal itu sama saja dengan melupakan prinsip bahwa setiap individu dan masyarakat adalah bagian dari keseluruhan umat manusia.
Tidak seorangpun, bahkan pemerintah sekalipun, berhak mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan satu generasi tertentu.
Kedua, Tauhid sebagai landasan ekonomi Islam bermakna bahwa semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Hanya Allah yang mengatur segala sesuatu, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, sistem dan perolehan rezeki. Realitas kepemilikan mutlak tidak dapat dibenarkan oleh Islam, karena hal itu berarti menerima konsep kepemilikan absolut, yang jelas berlawanan dengan konsep tauhid.
Selanjutnya, konsep tauhid mengajarkan bahwa Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk dan semua makhluk tunduk kepadanya. Salah satu makhluk yang diciptakannya adalah manusia yang berasal dari substansi yang sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama (musawat) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukkan oleh Allah bagi manusia sebagai sumber manfaat ekonomis (QS 6: 142-145), 16: 10-16).
Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia, yang merupakan implikasi dari tauhid. Konsep persamaan manusia, menunjukkan bahwa Islam mengutuk manusia yang berkelas-kelas. Maka, implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh, dan mudharabah (profit and lost sharing). Dokter egalitarian seperti itu, jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang individualistis.
Meskipun sumber daya yang tersedia untuk manusia adalah pemberian Tuhan dan manusia hanyalah sekedar pihak yang diberi amanah karena pemilik mutlak adalah Allah, hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan kepemilikan pribadi. Islam tetap mangakui kepemilikan pribadi, tetapi tidak bersifat absolut (hakiki), karena pemilik sebenarnya adalah Allah SWT. Manusia hanyalah pemilik relatif.
Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pertama, bahwa sumber daya di peruntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (QS. 2:29). Sumber-sumber itu harus digunakan dengan adil untuk kesejahteraan semua orang secara meenyeluruh. Penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir orang tertentu, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Dalam prinsip Islam, kesejahteraan bukan hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain secara menyeluruh. Dengan demikian, seseorang sebagai pengemban amanah, tidak akan menjadi egois, rakus, jahat, dan bekerja untuk kesejahteraan dirinya sendiri.
Kedua, setiap orang harus memperoleh sumber-sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan hasil kolusi dan cara-cara curang lainnya. Bertindak secara tidak fair adalah melanggar fungsi kekhalifahan manusia.
Keempat, tidak seorang pun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber-sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al Quran disamakan dengan fasad (kerakusan, kejahatan dan korupsi) yang dilarang Tuhan (QS. 2:205). Karena itu ketika Abu Bakar, mengirim Yazid bin Abi Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh-tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah musuh. Wallahu ‘alam