LAGI TENTANG EKONOMI SYARIAH

Oleh: Sucipto
Penulis Adalah dosen Ekonomi Islam IAIN STS Jambi

Indonesia Sejak dulu kala
Sejak awal kelahirannya Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berdaulat telah berkomitmen pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya yang terbukti dengan masuknya pasal-pasal yang berintikan pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Awal berdirinya hingga kini sejarah panjang telah terjadi, baik erosi nilai-nilai moral dalam ekonomi maupun manipulasi oleh minoritas kelompok atas prinsip keadilan sosial padahal justru berseberangan dengan apa yang termaktub dalam pancasila dan UU tahun 1945.
Landasan awal tentang prinsip ekonomi kerakyatan misalnya telah di usulkan M.Hatta, namun disisi lain minoritas anak bangsa yang berimpikan pada perwujudan keadilan ekonomi, menentang penindasan dan ekploitasi kaum kapitalis atas resourches bangsa ini. Dengan melihat fakta sejarah, timbulnya pergerakan untuk merebut kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, yang ini juga ditunjukkan oleh banyak perkumpulan anak bangsa ini yang berkomitmen pada keadilan sosial dan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat. Menurut mereka keadilan tidak akan terwujud bila tidak direbut, mereka menentang semua bentuk kolonialisme ekonomi yang bersembuyi dalam kolonialisme politik.
Bisa dilihat dalam sejarah bangsa yang besar ini bahwa bangsa ini gandrung akan keadilan menginginkan kesejahteraan ekonomi dan kemakmuran hidup. Perlawanan atas Belanda adalah bukan saja perlawanan pada kolonialisme itu namun juga adalah perlawanan atas diktatorisme ekonomi dan ekploitasi atas bangsa ini secara keseluruhan. Makanya pahlawan-pahlan kita memberontak untuk membangun bangsa yang beradab, adil dan makmur.
Awal-awal terbentuknya bangsa ini memiliki Visi ideal sebagai sebuah bangsa yang ingin besar dalam menjunjung nilai-nilai dan moral ekonomi bagi kesejahteraan bangsa. Namun dalam perjalanan sejarahnya cita-cita suci dan ideal itu hanya menjadi isapan jempol, kesejahteraan masyarakat tak terwujud malahan kesenjangan sosial menjadi-jadi di sana-sini.
Sejak kemerdekaan hingga tumbangnya rezim orde lama, tidak kelihatan Indonesia sebagai bangsa yang besar, secara ekonomi sejahtera, yang ada hanya intrik politik yang terus berkembang, padahal bila melihat pada sumber daya alam yang tersedia, adalah cukup untuk mewujudkan cita-cita ideal itu.
Bahkan setelah orde lama datanglah orde baru dengan banyak komitmen ekonomi, namun yang terjadi asset negara dikuasai oleh minoritas orang saja, tidak terjadi pemerataan, rakyat menjadi lemah dan terkulai dalam jeruji besi kemiskinan, tak mampu keluar, apalagi melawan, yang terjadi adalah sosial-gap, jobless dan kemiskinan, padahal bangsa yang besar itu adalah bangsa yang mayoritas muslim, muslim yang memahami nilai-nilai syariat Islam. Nilai zakat untuk keadilan sosial, infak, sedekah, dan pajak yang dalam pemikiran ekonomi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat menuju kemakmuran bangsa.
Apa yang salah? Bila kita merujuk pada pemikiran Rasulullah SAW, yang mana pada awal-awal Islam tampil dalam upaya memerangi kemiskinan, ketidak adilan dan kejujuran dalam sosial ekonomi, bahkan dalam khutbah-khutbah awalnya berisi kecaman pada para kapitalis mekah saat itu, yang cenderung jual beli dengan riba. Peran zakat pada awal-awal Islam telah berfungsi untuk mewujudkan kesejahteraan, kesadaran umat pada saat itu dalam memerangi kemiskinan sangat jelas sekali apalagi dukungan pada sikap tolong menolong sesama muslimpun menjadi kebiasaan bangsa Arab kala itu.
Pandangan yang khilaf atau Keliru.
Beberapa kelompok intelektual muslim mengatakan semua ini terjadi karena distorsi terhadap makna agama. Benarkah? Kalau ya kita semua harus beristighfar, Karena agama itu suci. agama yang mana agama yang suci itu ? Agama yang bermazhab “logika” atau agama logika rasa?
Agama yang mesti dijunjung tinggi itu adalah agama yang “membumi”, agama yang sangat diharap dan dinanti-nantikan adalah agama yang mampu menjawab problem-problem pasar dan dapat membuka diri terhadap persoalan-persoalan pasar tersebut, tapi ke depan, kita harus take a care bukan pada negara yang totaliter atau kembalinya militer ke dalam pemerintahan atau pada negara adidaya Amerika tetapi yang harus dipikirkan bagaimana membendung pasar bebas dengan berbagai effectnya bagi kehidupan sosio-ekonomi-politik bangsa ini. Disini akan terlihat agama kaum-kaum borjuis baru menguat dengan perilaku moral yang jauh daripada sentimen moral, berwatak penindas dan ekploitatif, penindas dan ekploitasi terhadap apa saja, bisa menindas dan ekploitasi atas hak-hak ekonomi, agama dan juga bisa menindas dan mengekploitasi atas kebebasan ekonomi dan ketidaksadaran ekonomi politik kita, logika rasa kemanusian kita didistrosi oleh logika lain yang memiliki implikasi ekonomi bukan bagi rakyat negeri ini namun cenderung opurtunity atas semua hak-hak kita yang telah dilindungi oleh UU.
Bukan lagi pertentangan antara pemahaman yang satu dengan pemahaman yang lain, hal ini lumrah karena terus akan lahir sepanjang sejarah perkembangan pemikiran manusia, tapi pertentangan kita ke depan adalah pertentangan pasariyah dan ghoiru pasariyah. Yang akan terkebelakang adalah mereka yang tak memiliki akses ekonomi bukan persaingan yang harus ditakuti atau budaya dari pasar itu.
Tapi dengan bahasa lain masyarakat ditakut-takuti dengan dampak dari pasar itu adalah globalisasi budaya, yang mesti di filter adalah globalisasi ekonomi, globalisasi pasar dan globalisasi kapital pada sekelompok minoritas? Agama pasar tak akan terlawankan bila tak di filter dengan cara pengguatan pasar yang memiliki etika dan moral politik ekonomi Islam. Bagaimana bangsa yang besar ini akan keluar dari kungkungan penjara kapitalis, bila kita takut untuk menyatakan perang terhadap pasar. Perang bukan berarti mengangkat senjata perlawanan, atau menutup kran investasi atau mungkin boikot atas produk asing. Namun perang adalah melawan dengan meningkatkan produktifitas investasi dalam negeri yang Islami, membangun enterpenuer-enterprenuer Islami, perang atas semua bentuk bunga, menguatkan manajemen zakat dan banyak lagi yang dapat diperbuat untuk memerangi Agama Pasar.
Oleh karena itu tak akan dapat dilawan agama borjuis itu bila yang dipertentangan umat hanya soal-soal pemikiran bukan soal nilai-nilai dasar yang akan menguatkan cara ritualisasi pasar.
Berangkat daripada Asumsi para ilmuwan bahwa bila menguatnya rakyat peran politik masyarakat maka ke depan masyarakat mudah untuk dipasarbebaskan pemikiran dan pemahaman mereka, lewat ketidaksadaran kolektif mereka, melalui menguatnya kelompok-kelompok masyarakat yang telah tersadarkan oleh demokrasi, keadilan ham, dan banyak lagi atas nama keadilan social, yang apakah keadilan yang mereka anggap itu memang Islami.
Bila bangsa ini terus larut dalam permasalahan klasik Maka yang akan muncul di tengah masyarakat adalah kelompok yang kuat menindas yang lemah, kekuatan baru yang akan menindas itu adalah kaum-kaum borjuis baru, karena yang akan berkuasa pada saat pasar bebas itu adalah agama yang difahami kaum borjuis. Yang menjunjung tinggi Demokrasi, Ham dan sebagainya, yang saat ini terus diwarisi lewat banyak program, yang intinya adalah untuk menghantarkan masyarakat Indonesia ke dalam penjara besar pasar bebas yang tak memiliki rasa kemanusian terhadap delapan asnaf dan bahkan umat manusia seluruhnya. Akan berada dalam lingkaran imprealisme ekonomi, liberalisme ekonomi dan neo-kolonialisme.
Negara-negara berkategori negara terkebelakang (Underdevelopmentalisme) akan menjadi negara jajahan dan kekayaan alamnya akan di rampas, dan utang-utangnya harus dibayar dengan bunga besar, bahkan negara-negara berkembang secara politik terus diintervensi. Baik soal perencanaan program negara. Bahkan kebijakan-kebijakn ekonomi akan diatur dan sekarang kita telah diatur oleh pasar.
Maka disini apakah kita harus takut pada budaya barat yang masuk ke sendi-sendi jantung kita atau pada ancaman kefakiran yang merajalela? atau kenapa tak pernah disadari bahwa tranformasi budaya akan hanya terjadi dalam masyarakat yang tak memiliki peradaban yang lemah, hanya sekedar isapan jempol bila perkataan saidina Ali : “kada al-fakru aiyakuna kufran”, yang dapat diartikan bahwa yang mesti diantisipasi itu adalah kefakiran yang akan menjadikan orang kufur.
Walau dalam banyak tafsiran tentang fakir, apakah fakir ini fakir harta atau fakir ibadah? ya dapat dibenarkan keduanya, tapi yang terpenting dalam tulisan ini fakir dapat membuat orang menuhankan harta sehingga ia menjadi lupa pada kewajiaban agamanya..
Borjuisasi Agama, Pasar dan rakyat
Agama borjuis, akan melahirkan kendala yaitu pertentangan kelas antara proletar dan borjuis. Sebahagian teman-teman yang berfaham sosialisme sangat menolak faham kapitalis yang cenderung mengekploitasi tenaga manusia, akal manusia, dan bahkan agama manusia lewat kapital atau kekayaan yang mereka miliki. Karena dalam pemahaman kaum kapitalis, yang berkuasa hanya kekayaan. Kekayaanlah yang memiliki nilai. Manusia, alam, sumber-sumber ekonomi dan tenaga manusia hanyalah alat untuk menuai kekayaan.
Dengan kekayaan akan dapat membeli apa saja, agama dalam masyarakat kapitalis hanya symbol saja, sekapitalis apapun manusia akan mengekang manusia untuk melakukan perubahan, karena perubahan tidak dapat terjadi sebab kekayaan yang ada hanya beredar di dalam komoditas kaum borjuis saja. Kesejahteraan tidak akan terwujud, apalagi keadilan distributive dan keadilan ekonomi hanya lift service saja, yang pada akhirnya rakyat menjerit karena utang, kelangkaan sumber ekonomi, masalah social-ekonomi gap dan monopoli kekayaan menjadi kewajaran dan lumrah terjadi, tak ada yang dapat mengeluarkan masyarakat dari penjara besar koloniliasime baru.
Borjuisasi sudah merupakan faham-plus sebahagian besar manusia. Bahkan saat ini separo penduduk dunia menganut kapitalisme sebagai “agama”. Watak sifat karakter dalam style of life yang cenderung konsumeris, dalam krisis melanda duniapun mereka semakin mewah gaya hidupnya bahkan daya beli masyarakat pun meningkat. Tidak peduli krisis melanda yang penting mereka bisa mengkonsumsi apapun yang mereka suka, mereka menganggap dengan kekayaan yang dimilikinya mereka bebas pergi keluar negeri untuk sekedar rekreasi. Tanpa mempedulikan sekelilingnya masyarakat menjerit untuk hidup.
Kapitalisme itu telah membudaya dan diwarisi terus menerus bahkan budaya itu telah menjadi ideology masyarakat. Mungkinkah satu saat nanti ideology itu kan mengalami perkembangan yang pesat sampai menjadi sebuah agama baru yaitu agama kaum borjuis, Apakah justru menjadi akhir dari kapitalisme?

Ekonomi Islam di Indonesia
Sejarah di Indonesia mencatat bahwa pada tanggal 3 November 1991 di halaman belakang Istana Negara di Bogor, telah ditetapkan sebagai hari bersejarah dalam pembentukan Bank Islam di Indonesia yang kemudiannya disebut dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kesaksian sejarah ini diperkuat oleh hadirnya H. Mohammad Soeharto, Kepala Negara/Presiden Republik Indonesia berserta Menteri Kabinet Pembangunan VI dan para Ulama dan Masyarakat yang sejak awal telah merintis pemikiran tentang perlunya Bank Islam di Indonesia. Operasionalisasinya bertumpu pada Undang-undang Perbankan Nomor. 7 Tahun 1992, dan didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil. Sejarah ini membuktikan bahwa tatanan baru untuk landasan bekerja dan berkarya bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam telah memperoleh landasan hukum yang memadai. Bagi mereka yang tidak beragama Islam, juga akan memperoleh manfaat yang besar karena Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Dan lingkungan strategis ini telah diketahui oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang berhasrat untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu dan sistem ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita kini dapat menyaksikan hadirnya Bait al Maal wa at Tamwil (BMT) yang tumbuh dengan cepat dan berhasil menolong kaum duafa. Oleh para pakar ekonomi dan sosiologi BMT dipadukan dengan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Lembaga ekonomi ini kemudian diperkaya dengan Asuransi Takaful. Tahap berikutnya, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), dibahaslah Reksadana Syariah melalui suatu Lokakarya di Jakarta dalam bulan Juli 1997. Reksadana (mutual funds) dianggap sebagai suatu komponen dalam sistem ekonomi Islam secara keseluruhannya yang bertugas untuk memperkaya lembaga ekonomi Islam yang kini telah ada, yakni Bank Islam, yang disebut dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Asuransi Takaful.
Giliran pertanyaan berikutnya ialah tentang peranan pendidikan dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu ekonomi Islam dan Bank Bagi Hasil tersebut. Apa yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar, tentunya berbeda dengan apa yang seharusnya diajarkan kepada siswa Sekolah Menengah Umum. Akan sangat berbeda apabila hal itu dikaji dan diajarkan kepada mahasiswa di Perguruan Tinggi. Keterpaduan peran antara dunia pendidikan dan peran masyarakat sehari-hari, terutama dalam berekonomi, merupakan tantangan tersendiri yang perumusan jalan keluarnya tiada lain melalui proses belajar.
Jatuhnya tampuk pemerintahan Presiden Soeharto 21 Mei 1998 sebagai akibat dari runtuhnya sistem perekonomian rezim Soeharto, merangsang kita semua untuk mengkaji ulang sistem perekonomian kapitalis dan menggantikannya dengan sistem ekonomi alternatif. Ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa sistem perekonomian yang berlangsung selama 30 tahun itu bisa runtuh begitu cepat? apa rahasianya?
Ke enam pertanyaan itu melatari tumbuhnya hasrat masyarakat untuk mempelajari ilmu dan sistem ekonomi Islam dan peluang ini harus diisi oleh mereka yang berkesempatan untuk menulis dan mengajarkannya kepada mereka yang sedang haus belajar itu. Wallahul A’lam

“MENGURAI TEOLOGI EKONOMI ISLAM”

Oleh: Sucipto, MA
Dosen Ekonomi Islam IAIN STS Jambi

Teologi dan tauhid
Teologi berasal dari kata theo berarti tuhan dan logi berarti ilmu. Logi atau ilmu memiliki tiga arti knowledge, skill dan ability. Theo dan ke tiga makna logi berpadu menjadi pemahaman yang comfrehensif, pertama, theo dan Knowledge yang satu merupakan pengetahuan basic berbentuk teori. Ke dua, theo dan skill merupakan kecakapan, kepandaian, ketrampilan untuk menunjukkan (to show something in) keahlian yang dimiliki pada diri seseorang tentang Tuhan, talenta dalam menafsirkan makna believing god dalam konteks sosial, ekonomi dan politik dan ke tiga, theo dan ability sebagai kecakapan, bakat, kemampuan, ketangkasan dan kesanggupan merujuk pada inner beauty seseorang yang berasal dari fua’da, lubba dan qolb, untuk sampai pada inner tersebut maka diperlukan knowledge, skill, ability dan logi, karena beberapa dalil atau petunjuk tentang makna-makna tersebut jelas adanya semisal sebuah petunjuk yang diimani oleh teolog man arafa nafsah faqod arafa rabbaha (barang siapa yang mengetahui tentang dirinya maka dia akan mengetahui siapa tuhannya).
Oleh karena itu Teologi ekonomi Islam berbasis pada Al Quran sebagai filsafat fundamental dari ekonomi Islam (39:38), hakikat tauhid adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi (taqdiri), baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dalam konteks ini Masudul ‘alam Chudury, tauhid adalah unity dari sebuah repleksi ketuhanan dimana manusia dalam ekonomi syariah harus mengamalkan relasi di antara manusia sekaligus manifestasi relasi dengan Tuhan. Tidak boleh tidak secara Praktis tauhid ekonomi atau teologi ekonomi islam itu didasarkan pada prinsip social justice.
Makanya prinsip teologi ekonomi Islam itu menghubungkan kewajiban kita kepada manusia juga merupakan kewajiban kita kepada Allah SWT. Allah Swt sebagai Tuhan memiliki banyak hak, sebagai hamba Tuhan, manusia memiliki kewajiban memenuhi hak Tuhan atas kita. Tuhan memiliki hak ekonomi, memenuhi hajat hidup orang banyak, meningkat taraf hidup, melawan setiap monopoli asset-aset ekonomi Tuhan pada sepasang tangan.
Dalam tradisi klasik bertuhan adalah hubungan makhluk dengan sang khalik, “hubungan yang privacy”, antara seorang hamba dengan Tuhannya lebih dekat dari “urat leher” saat berada dalam bilik sempit, gelap dan sepi. Dalam bahasa arabnya dikenal dengan berkhalwat, sebuah metode untuk saat ini perlu improvisasi, sehingga praktek teologis dalam kehidupan modern sarat dengan masalah yang kompleks dan paradok, maka bertuhan bagi manusia modern proxy semua aktivitas mampu memberikan nuansa spritualitas, bukan hanya dalam dasar kognitif saja namun mungkin dalam tataran teologis.
Teologi ekonomi atau Tauhid ekonomi
Dalam konteks ini Ismail Al-Faruqi mengatakan, Tauhid-lah sebagai prinsip utama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” yang pertama, dan Islam yang melembagakan gerakan sosialis pertama. Islam (dengan konsep tauhid) telah melakukan lebih banyak keadilan sosial dan pengembalian martabat manusia. Konsep dan pengertian yang canggih ini ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini.
Di antara pemikiran tentang konsep tauhid menjadi dasar ekonomi, ia bermakna kesatuan (unit), dalam konteks ekonomi yang diringkas hal yang terpenting dari seluruh essensi, basis dan dasar ekonomi Islam itu mengajarkan manusia bagaimana berhubungan dan mengadakan usaha dengan orang lain dalam cahaya dari hubungan dengan Allah SWT.
Dalam tataran ini yang disebut teologi ekonomi Islam. Sebagaimana Agustianto teologi ekonomi Islam yang berbasiskan tauhid tadi, mengajarkan dua pokok utama : Pertama, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam pandangan teologi Islam, sumber daya-sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bias menghitungnya”. (QS. 14:34). Sehingga sumber daya tersebut tidak akan terjadi kelangkaan (scarcity). Kelangkaan-kelangkaan sumber daya yang kita alami tidak dapat disimpulkan dari kelangkaan dari sumber-sumber daya yang ada tetapi kelangkan tersebut terjadi karena mismanage, salah kelola potensi sumber daya alam yang ada. Salah kelola sumber daya yang ada bisa saja terjadi dikarenakan supplayless, unbalanced distribution, bearing sources dan monopoly.
Amartya Sen, peraih nobel dalam bidang ilmu ekonomi kesejahteraan dalam bukunya on ethic and economic menjelaskan ilmu ekonomi itu memiliki dua asal usul yang keduanya terkait dengan politik, meskipun dengan cara yang berbeda, pertama etika, dan kedua berasal dari rekayasa. Asal usul yang kedua dari ilmu ekonomi adalah pendekatan rekayasa, pendekatan ini ditandai dengan usaha manusia dalam melakukan pencapaian untuk memodifikasi suatu model ekonomi demi tujuan mencapai kesejahteraan social. Baik bersifat teknis yang digunakan dalam policy Negara atau pun analisis matematika statistika ekonomi memiliki peran dalam perkembangan ilmu ekonomi itu sendiri. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah pendekatan etis dan rekayasa yang menjadi asal usul ilmu ekonomi tersebut dapat mencapai suatu masyarakat ideal.
Dalam hal ini etika yang menyangkut perilaku-perilaku rasional manusia akan berhadapan dengan kepentingan diri, apa yang didahulukan antara perilaku rasional etis atau kepentingan diri?
Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu melakukan pembenaran dengan jargon bahwa sumber daya alam terbatas (limited). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidak adilan sumber daya (ekonomi).
Secara teologis Islam memiliki tatacara muamalah, dimana muamalah didasarkan pada prinsip tauhid, bahwa kekayaan alam ini adalah anugrah dari sang pencipta dan bukanlah mutlak milik manusia, sehingga ada anjuran lain yang lebih penting yakni bermuamalah dengan moral etika yang diinterpretasikan dari teologi.
Tak terhitung banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan bahwa alam dan seluruh isinya disediakan untuk kepentingan manusia. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif juga untuk kehidupan manusia.
Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan (QS. 17:35) dan serakah adalah perilaku binatang. Karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya, harus efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang merugikan generasi mendatang. Misalnya mengeksploitir sumber minyak lalu meninggalkan sumurnya kering sepanjang satu generasi, atau menjadikan lahan kering kerontang dan menguras habis barang-barang tambang yang menjadi jatah generasi mendatang karena alasan kemakmuran saat ini atau mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perbuatan memutlakkan waktu sekarang, tanpa memikirkan masa depan, termasuk bentuk hubungan dominasi dan eksploitatif. Hal itu sama saja dengan melupakan prinsip bahwa setiap individu dan masyarakat adalah bagian dari keseluruhan umat manusia.
Tidak seorangpun, bahkan pemerintah sekalipun, berhak mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan satu generasi tertentu.
Kedua, Tauhid sebagai landasan ekonomi Islam bermakna bahwa semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Hanya Allah yang mengatur segala sesuatu, termasuk mekanisme hubungan antar manusia, sistem dan perolehan rezeki. Realitas kepemilikan mutlak tidak dapat dibenarkan oleh Islam, karena hal itu berarti menerima konsep kepemilikan absolut, yang jelas berlawanan dengan konsep tauhid.
Selanjutnya, konsep tauhid mengajarkan bahwa Allah itu Esa, Pencipta segala makhluk dan semua makhluk tunduk kepadanya. Salah satu makhluk yang diciptakannya adalah manusia yang berasal dari substansi yang sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama (musawat) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukkan oleh Allah bagi manusia sebagai sumber manfaat ekonomis (QS 6: 142-145), 16: 10-16).
Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia, yang merupakan implikasi dari tauhid. Konsep persamaan manusia, menunjukkan bahwa Islam mengutuk manusia yang berkelas-kelas. Maka, implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam ekonomi, yakni syirkah, qiradh, dan mudharabah (profit and lost sharing). Dokter egalitarian seperti itu, jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme yang individualistis.
Meskipun sumber daya yang tersedia untuk manusia adalah pemberian Tuhan dan manusia hanyalah sekedar pihak yang diberi amanah karena pemilik mutlak adalah Allah, hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan kepemilikan pribadi. Islam tetap mangakui kepemilikan pribadi, tetapi tidak bersifat absolut (hakiki), karena pemilik sebenarnya adalah Allah SWT. Manusia hanyalah pemilik relatif.
Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pertama, bahwa sumber daya di peruntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (QS. 2:29). Sumber-sumber itu harus digunakan dengan adil untuk kesejahteraan semua orang secara meenyeluruh. Penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada segelintir orang tertentu, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Dalam prinsip Islam, kesejahteraan bukan hanya milik seseorang atau keluarga tertentu, tetapi juga untuk orang lain secara menyeluruh. Dengan demikian, seseorang sebagai pengemban amanah, tidak akan menjadi egois, rakus, jahat, dan bekerja untuk kesejahteraan dirinya sendiri.
Kedua, setiap orang harus memperoleh sumber-sumber daya itu dengan cara yang sah dan halal, bukan hasil kolusi dan cara-cara curang lainnya. Bertindak secara tidak fair adalah melanggar fungsi kekhalifahan manusia.
Keempat, tidak seorang pun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber-sumber daya pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al Quran disamakan dengan fasad (kerakusan, kejahatan dan korupsi) yang dilarang Tuhan (QS. 2:205). Karena itu ketika Abu Bakar, mengirim Yazid bin Abi Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh-tumbuhan atau binatang sekalipun di daerah musuh. Wallahu ‘alam

TA’RIF EKONOMI ISLAM

1. Pada mulanya istilah ekonomi memiliki arti mengatur rumah tangga. Menurut etimologi, ia berasal dari oikonomeia (Greek atau Yunani). Kata oikonomeia berasal dari dua kata : oikos yang berarti rumah dan nomos yang berarti aturan. Kita kini dapat mengatakannya sebagai ilmu ekonomi, yang berarti ilmu mengatur rumah tangga, yang dalam bahasa Inggris disebutnya sebagai economics. Secara terminologi, oleh Samuelson (1973), ilmu ekonomi didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Pada uraian selanjutnya kita akan menggunakan kata rumah tangga dalam rumah tangga somah, rumah tangga masyarakat, dan rumah tangga negara. Ini berarti bahwa kegiatan itu melibatkan anggota keluarga yang mampu dalam menghasilkan barang dan jasa, pada gilirannya seluruh anggota keluarga yang ada ikut menikmati apa yang mereka peroleh. Kegiatan ini kemudiannya menyebar ke seluruh populasi rumah tangga yang kemudian menjadi suatu kelompok yang diperintah oleh pemerintahan suatu negara. Karena itu yang dimaksud kata “Ekonomi” di sini bukanlah makna bahasa yang berarti hemat. Juga bukan berarti kekayaan. Akan tetapi dimaksudkan sebagai makna istilah untuk suatu sebutan tertentu, yaitu kegiatan mengatur urusan harta kekayaan. Pengaturan urusan rumah tangga ini mencakup tiga sub sistem yang secara keseluruhannya disebut sistem ekonomi. Urusan memperbanyak kekayaan dan memelihara peng-adaannya disebut sub sistem produksi, tata cara mengkonsumsikannya disebut sub sistem konsumsi, dan yang berhubungan dengan tata cara pendistribusiannya tercakup dalam sub sistem distribusi.
2. Apa yang dapat dicermati apabila definisi (ta’rif) ekonomi tersebut di atas kita kaitkan dengan pengertian agama (dien; religion). Agama menurut Reville didefinisikan sebagai The determination of human life in accordance with a bond between the human soul and a mysterious Soul, whose domination over himself and the world man recognizes and to Whom he likes to feel attached. Sedangkan Michel Mayer mendefinisikan agama sebagai The set of beliefs and precepts which must guide us in our conduct toward God, other people and toward ourselves. Singkatnya, menurut M. Abdullah Draz agama dapat dikatakan sebagai a chart of conduct (peta aturan perbuatan).
Dari definisi tentang agama, kita kini dapat mencermati bahwa bidang-bidang pembahasan dalam ekonomi yang mencakup produksi, konsumsi dan distribusi merupakan sub-gugus dari agama (dien). Oleh karena itu kita dapat memaklumi apabila ada yang berpendapat bahwa setiap agama seharusnya mempunyai cara-cara tentang bagaimana manusia mengorganisasi kegiatan ekonominya.
3. Niat untuk memajukan ekonomi, memproduksi barang dan jasa dalam kegiatan produksi, dan mengkonsumsi hasil-hasil produksi serta mendistribusikannya, dengan demikian, seharusnyalah berpijak kepada ajaran agama. Artinya, apabila kita mengacu pada ajaran Islam, tujuan hidup mardatillah harus mendasari (mengilhami dan mengarahkan) konsistensi antara niat (li Allah ta ala) dan cara-cara untuk memperoleh tujuan berekonomi (kaifiat). Dalam kaitan ini, M.M. Metwally mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai, ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al-Quran, as-Sunnah, Qiyas dan Ijma.
Ia memberikan alasan bahwa dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat dikendalikan kearah bagaimana memenuhi kebutuhan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Dalam Islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan oleh karena itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia yang sekaligus sebagai amal ibadah setiap individu kepada Tuhannya. Ekonomi dengan demikian, merupakan ilmu dan sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan berkecukupan itu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks kemaslahatan bersama.
Tak jauh berbeda dengan M.M. Metwally, Muhammad Abdul Manan berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-nilai Islam. Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Dari uraian tersebut di atas, agaknya kita dapat merangkumkan ta’rif ilmu ekonomi Islam, juga di sini kami sebut dengan Ekonomika Islam (Islamic Economics), yang akan lebih sering digunakan dalam buku kecil ini, ialah bahwa Ekonomika Islam adalah ilmu yang mempelajari tata kehidupan kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridla Allah.
Tarif ini mencakup tiga domein, yakni domein tata kehidupan, domein pemenuhan kebutuhan, dan domein ridla Allah. Semuanya ini diilhami oleh nilai-nilai Islam yang bersumberkan al-Quran, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Tar’if ilmu ekonomi Islam yang memadukan tiga domein itu menunjukkan konsistensi antara niat (li Allah), kaifiat (cara-cara) dan ghayah (tujuan) dari setiap insan.